Rabu, 16 Desember 2015

Membaca Peta Kekuatan Kasus Freeport


          Kasus perpanjangan kontrak PT Freeport atau yang dikenal papa minta saham belum menunjukkan tanda akan berakhir. Konflik semakin memanas, melebar. Kasus yang membuat Presiden Jokowi marah besar itu sudah masuk ke ranah hukum. Kejagung telah menyelidiki dugaan adanya mufakat jahat. Sementara Setya Novanto melaporkan menteri Sudirmana Said ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik, fitnah. Dan yang mengejutkan, politisi muda Partai Golkar melaporkan Setya Novanto ke KPK. Mereka menilai ada pemufakatan jahat yang mengarah pada tindak korupsi.
          Yang menarik, jauh sebelum persoalan melebar dan menjadi rumit,  Menteri Kordinator Kemaritiman Rizal Ramli menilai bahwa kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait kontrak PT Freepot Indonesia ibarat sebuah senetron. Kasus tersebut menggambarkan pertentangan antara geng yang berebut saham, daging, kue atau apalah namanya. Karenanya, masyarakat jangan terjebak dengan permainan mereka. Masyarakat harus fokus memantau. Jangan sampai pertarungan geng tersebut mengaburkan kepentingan Indonesia memperoleh manfaat besar dari pengelolaan tambang Freeport. Rizal menyampaikan, Presiden telah memberikan sejumlah syarat jika Freeport ingin memperpanajng kontrak karya. Syarat tersebut adalah pembaharuan pembagian royalti, pembangunan smelter, disvestasi, dan pembangunan Papua termasuk memperbaiki pengelolaan limbah.  (http://nasional.kompas.com/)
          Sayangnya Rizal Ramli tak menyebut lebih jauh, siapa mereka? Dina Y Sulaiman (2015), pengamat politik Timur Tengah dalam blog pribadinya menulis dan menjelaskan lebih jauh tentang peta kekuatan dalam kasus Freeport yang menggemparkan itu.  Menurutnya, dalam kasus papa minta saham itu ada  pertarungan kaum elit. Yakni antara kaum Kapitalisme rente,  kaum Neolib,  dan tentu Jokowi yang dianggap sebagai kubu borjuasi nasional, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi di republik ini. (https://dinasulaeman.wordpress.com)
          Adelia Putri Wibowo (2015) mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan perekonomian. Seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar besarnya. Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Istilah kapitalisme dalam arti modern sering dikaitan dengan Karlmarx, Marx menulis tentang”cara produksi kapitalis” dengan metode pemahaman yang sekarang dikenal sebagai Marxisme. (http://www.kompasiana.com)
Kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kemudian Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsidan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif.  Paham ini memfokuskan pada pasar bebas danperdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensiperdagangan dan mengalirnya investasi. (https://id.wikipedia.org)  
Kaum kapitalisme, kerapkali menggunakan kesempatan dan wewenang, memanfaatkan posisi dan kedudukan  untuk meminta jatah, memalak.  Mereka memiliki modal besar, tapi tak mau kerja keras. Dalam kasus di atas kaum kapitalisme tercermin pada Reza Chalid, Setya Novanto. Sementara Sudirman Said, Ma’ruf Syamsuddin  atau Freeport menggambarkan kaum neolib. Dalam analisanya, Dina Y Sulaiman memaparkan kedekatan kaum neolib dengan Jokowi itu bukan karena Jokowi berpaham neoliberalisme. Tapi,  karena Jokowi lebih bisa diharapkan kejujurannya.  Jokowi diprediksi tidak akan korup dan memalak. Dia adalah generasi baru pengusaha Indonesia yang bekerja keras dan profesional. Tokoh seperti inilah yang disukai kalangan bisnis neolib. Namun harus diingat, hal itu bukan berarti kaum neoliberalisme memperhatikan nasib bangsa Indonesia. Sekali lagi tidak. Baik kaum Kapitalisme maupun kaum Neolib, mereka hanya berorentasi pada bagaimana mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari bumi pertiwi.
Yang menjadi persoalan, sebagai kaum borjuasi nasional, ideologi Jokowi masih kosong. Jokowi bukan neolib, tapi dia tak memiliki kepercayaan terhadap Nawacita, karena memang dia bukan sosialis. Tapi Nawacita dipakai dalam kampanye. Dan  rakyat menyukainya. Jokowi sendiri dikenal sebagai tokoh sedrhana, populis, pebisnis tulen. Karenanya, Jokowi sebenarnya rentan ditarik ke arah kubu Neolib yang saat ini ada di sekelilingnya. Di sinilah perjuangan civil society seperti Rizal Ramli untuk terus menerus menarik dan mengingatkan Jokowi agar tetap memegang janji Nawacita-nya.  Kalau Jokowi dibiarkan sendirian, kubu Neoliblah yang akan menang. Jokowi sendiri harusnya terus konsisten dengan Nawacita yang digagasnya. Jokowi bisa memanfaatkan segala kesempatan yang diberikan kaum Neolib, tapi tidak boleh terjebak. Jokowi harus mengamankan Nawacita-nya.
Akhir kata, konflik, kegaduhan politik dalam kasus papa minta saham menyadarkan kita semua, rakyat kecil. Bahwa pengelolaan negara, termasuk sumber daya alamnya, tak lepas dari tarik menarik berbagai kepentingan baik dari dalam maupun luar. Ini harus kita pahami. Tugas kita, ke depan adalah mengawal agar Jokowi tetap konsisten dengan Nawacita yang dijanjikannya saat kampanye. Baik kaum Kapitalisme maupun Neolib, kepentingan mereka hanya satu yakni mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam yang kita miliki  Mereka tak akam peduli dengan nasib, dan kesejahteraan bangsa ini. Wa Allahu Alam
Penulis adalah alumni IAIN Walisongo Semarang, tinggal di Indramayu.

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar