Senin, 11 April 2016

Intoleransi, Kenapa Dibiarkan?


          Belakangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat kita terusik dengan insiden dan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat. Mereka melakukan tindakan yang mengabaikan hak-hak warga negara lain. Atas nama mayoritas, mereka menekan kaum minoritas yang dianggap berbeda. Mereka merampas kemerdekaan berpendapat, berkumpul dan mengamalkan apa yang diyakini. Untuk tujuan itu, tindakan kekerasan dijadikan pilihan penyelesain masalah. Mereka memaksakan kehendak, membubarkan kegiatan. Kaum minoritas pun tak punya pilihan selian mengalah walau mereka mengantongi surat izin dari kepolisian. Dan sedihnya, tindakan intoleransi itu dilakukan oleh ormas keagamaan.
          Awal bulan ini, secara beruntun tindakan intoleransi mencoreng kedamain warga. Diawali dengan pembubaran peringatan kelahiran putri Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra oleh komunitas yang menamakan diri Aswaja di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Kegiatan diperingati  komunitas pencinta Ahlul Bait Nabi, atau yang dikenal dengan Syiah itu semula akan di digelar di Gedung Diponegero, Bangil, Jumat (1/4/2016). Karena alasan keamanan, berdasarkan hasil pertemuan antara panitia dan  pemerintah setempat acara dipindahkan  di salah satu rumah warga. Walau dengan jaminan keamanan dari aparat kepolisian, acara tersebut tetap dipaksa bubar oleh masa Aswaja.
          Di hari yang sama (1/4), Organisasi Front Pembela Islam (FPI) membubarkan secara paksa forum diskusi yang digelar kelompok diskusi Batas Arus Pekanbaru, Jaringan Filsafat Islam (Jakfi) Pekanbaru, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Pusat Kegiatan HMI di Jalan Melayu, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Pembubaran dilakukan dengan cara menjemput paksa pembicara asal Yogyakarta, AM Safwan saat tiba di Pekanbaru. Tindakan FPI dilakukan karena mereka mengira diskusi itu akan membahas soal aliran Syiah.
          Berikutnya (2/4), aparat kepolisian bersama sejumlah organisasi massa yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 di ruang komunitas seni Survive Garage, Bugisan, Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Pembubaran dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Fron Jihad Islam (FJI).
          Tindakan intoleransi di atas ironis terjadi. Kenapa? Karena sebelumnya Presiden Jokowi sudah memerintah Kepolisian untuk bertindak tegas pada kelompok intoleransi yang melarang aktivitas kelompok lain. Siapa pun yang melakukan tindakan intoleransi dalam konteks kenegaraan harus ditindak.
          Perintah tegas Presiden nampaknya tak dipahami jajaran kepolisian. Terbukti, mereka tak mampu menjalankan perintah tersebut. Aparat kepolisian lebih cenderung mengalah, mengikuti tuntutan kelompok intoleransi. Padahal pihak yang dibubarkan telah mengantongi izin dari mereka. Bukankah ini aneh? Memberi izin, tapi tak mampu mengamankan kegiatan.
Menurut Zuhairi Misrawi, intlektual muda NU,  masalah terbesar intoleransi adalah pembiaran negara terhadap pelaku intoleransi. Bahkan, cilakanya dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat keamanan justru terlibat dalam aksi intoleransi bersama-sama dengan kelompok intoleran.
Di samping itu, ormas keagamaan dan Majelis Ulama Indonesia dianggap menjadi pemicu intoleransi dengan fatwa-fatwanya yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban, yaitu Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.
Yang mutakhir, rencana Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan panduan fatwa sesat terhadap Syiah makin menciptakan kecemasan di antara warga penganut Syiah di negeri ini. Jika ini tidak diantisipasi dengan baik, maka konflik Sunni-Syiah yang mencabik-cabik Timur-Tengah akan merembes serius ke negeri ini.
Selain itu, belakangan muncul trend baru, yaitu kelompok yang diduga sebagai manifestasi komunisme menjadi sasaran pelaku intoleransi. Pembubaran festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, pembatalan pemutaran film Pulau Buru di Goethe Institute, dan pembubaran pentas monolog Tan Malaka di Bandung. Padahal untuk yang terakhir bisa digelar karena adanya jaminan keamanan dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Tapi, tetap saja dibubarkan.(http://nasional.kompas.com/)
Menurut hemat saya, intoleransi akan lenyap dari bumi pertiwi jika setiap dari kita  mengakui perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan. Apalagi, bagi kita bangsa Indonesia. Bangsa ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan dari leluhur itu menjelaskan, manusia  pasti berbeda-beda. Tapi perbedaan tak boleh memecah belah bangsa. Walau berbeda, kita tetap satu.
Bhineka Tunggal Ika telah menyatukan bangsa dan negara. Apa mungkin sebagian dari kita akan meruntuhkan dan merobohkannya? Sikap intoleransi akan mengoyak persatuan bangsa. Intoleransi bisa dimanfatkan oleh pihak asing  untuk mengadu domba antara anak bangsa. Terbukti, di Timur Tengah intoleransi menjadi pemicuh utama perang saudara berkepanjangan  sesama negara muslim.
Kemudian, saling menghormati dan menghargai. Bukankah itu ajaran setiap agama?  Tidak ada satu agama pun yang membolehkan saling menyerang, mencaci, menghina orang lain. Tidak aga agama memperbolehkan tindak kekerasan. Lebih-lebih Islam, manusia diumpamakan seperti bangunan yang saling menguatkan, membutuhkan.
Selanjutnya, mengedepankan dialog mencegah tindak kekerasan. Dialog diartikan sebagai adu argumentasi secara sehat dan rasional.  Masing-masing pihak yang berbeda dapat menguji  argumentasi masing-masing. Dialog tersebut dilakukan dengan senantiasa menjujung tinggi kesantunan. Sehingga dialaog dimaksud tidak berakhir pada tindak kekerasan. Dialog berakhir dengan saling mengormati, menghargai satu sama lain. Dialog berakhir dengan pengakuan atas perbedaan itu sendiri.
Seseorang menutup dialog dikarenakan sempit pandang dan dangkalnya ilmu. Kemudian muncul sikap berlebihan (baca:fanatik) terhadap yang dipahami dan diyakini. Fanatisme seperti itu menghadirkan peerasaan paling benar. Merasa paling benar melahirkan anggapan semua yang berbeda menjadi salah. Maka layak  disesatkan, dikafirkan, dilawan, dan dibubarkan. Berakhirlah pada pilhan tindak kekerasan.
Selain itu, menyadari pentingnya persatuan bangsa. Bangsa ini berdiri karena jasa para pendahulu. Mereka bersatu mengusir penjajah, mendirikan dan membangun negara. Walaupun suku, agama, bahasa, budaya serta lainnya berbeda, mereka tetap bersatu. Tak melihat perbedaan sebagai penghalang. Perbedaan dipahami sebagai kekayaan, potensi bangsa. Ini barangkali arti perbedaan sebagai rahmat yang diajarkan Islam. Bukankah Nabi Muhamad SAW pernah menyatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?
Akhir kata, mengutif Prof. M.Quraish Shihab (2014), perbedaan adalah keniscayaan, sedangkan persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama, manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu membantu dan topang menopang.
Maka tak ada pilihan lain selain mengembangkan sikap toleransi dan membuang intoleransi.  Sebab itu, setiap dari kita harus mengakui perbedaan-perbedaan yang ada, saling menghormati dan menghargai, mengedepankan dialog menghindari kekerasan, mengulurkan tangan dengan yang berbeda sembari mengedepankan persatuan di atas segala.
Kemudian Pemerintah terutama aparat kepolisian diminta lebih tegas lagi terhadap setiap tindakan, gerakan kelompok intoleran. Deretan insiden di awal bulan ini harus menjadi pelajaran penting bagi kepolisian RI. Polri harus patuh pada perintah Presiden. Mereka wajib menjalankan setiap perintah. Kelalaian dan pembiaran aparat keamanan dalam menindak setiap tindak intoleransi bisa menjadi preseden terburuk keamanan negeri ini.Wa Allahu Alam


          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar