Sabtu, 27 Agustus 2016

Untuk Apa Sekolah Parlemen?



Seperti diketahui, kinerja DPR RI periode sekarang  sangat buruk. Mereka dinilai tak produktif terutama dalam hal legislasi. Buruknya kinerja oleh sebagian pihak diterjemahkan sebagai rendahnya kualitas, SDM anggota DPR. Namun demkian, faktor SDM tidaklah menjadi satu-satunya sebab. Ada sebab lain yang membuat kinerja legislatif lamban seperti faktor sosio politk, integritas anggota atau lainnya.
Menyaksikan hal di atas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ade Komarudin  mengutarakan gagasan dan wacana agar DPR membangun sekolah parlemen. Ia mengatakan sekolah parlemen dibutuhkan sebab selama ini banyak keluhan dari masyarakat mengenai kualitas orang-orang yang lolos menjadi anggota dewan. Politikus Partai Golkar tersebut meyakini, sekolah parlemen akan meningkatkan kualitas anggota dewan.
Akom memperkirakan biaya untuk sekolah parlemen  tidak banyak dan cukup dengan mengubah anggaran yang sudah ada. Dengan biaya yang minim, kualitas anggota dapat  ditingkatkan. Konsep sekolah parlemen tersebut direncanakan seperti universitas. Lokasi sekolah parlemen rencananya berada di Komplek Wisma DPR RI di Kopo, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Dalam sekolah parlemen akan diajarkan fungsi dan  tugas pokok seperti fungsi legislasilasi, anggaran dan pengawasan. Akan diajarkan juga bagaimana cara membahas dan merancang undang-undang. Diharapkan keberadaan sekolah parlemen bisa meningkatkan produktifitas dan kinerja anggota dewan.
Gagasan di atas mendapat tanggapan beragam. Polemik baru pun muncul di tengah masyarakat. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Anggota Komisi III, Arsul Sani, menilai pembangunan kapasitas anggota dewan memang diperlukan. Namun, nama dan formatnya perlu dikaji kembali apakah memang berbentuk Sekolah Parlemen atau bukan.
Berbeda dengan Asrul Sani, Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay menilai wacana pembentukan sekolah ini akan tumpang tindih dengan fungsi partai dalam proses rekrutmen dan pengkaderan. Dia mengambil contoh partainya telah memiliki sekolah kader politik yang memiliki substansi sama dengan sekolah parlemen. (http://www.merdeka.com/)
Untuk apa?
          Menurut hemat saya, sekolah parlemen bukan prioritas. Banyak masalah  bangsa yang lebih penting yang mesti disikapi dan diselesaikan anggota DPR. Sekolah parlemen tidak menjamin menjadi solusi jitu mendorong kinerja anggota dewan. Apa ada jaminan, setelah sekolah kinerja DPR membaik? Namun demikian,  bukan berarti kita tak peduli dengan merosotnya kinerja mereka. Sama sekali tidak. Bila demikian, untuk apa diselenggarakan? Berikut beberapa argumetasi, pertama, sekolah parlemen bukan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi ) DPR. Dalam Uundang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPD, DPR, DPRD Pasal 69 disebutkan fungsi DPR meliputi tiga hal yakni legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dijabarkan dalam Pasal 71 tentang tugas dan wewenang DPR.
          Saya berpikir sekolah parlemen itu mestinya dilakukan sebelum menjadi anggota dewan. Ini menjadi tugas partai politik.  Ketika masuk Senayan, mereka harus sudah siap menjalankan tugas pokok, fungsi dan wewenang yang diembanya sebagai wakil rakyat. Menjadi lucu, jika sudah berkantor di Senayan baru belajar (baca:sekolah) menjadi anggota parlamen.
          Untuk itu, di masa mendatang Parpol wajib menyikapinya. Bagaimanapun rendahnya kinerja DPR RI periode ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam melakukan pendidikan politik. Parpol kudu lebih selektif lagi dalam memilih calon legislatif yang akan dipilih menjadi wakil rakyat. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2014 yang lalu, persaingan menjadi calon legislatif bertumpuh pada kekuatan modal. Integritas, kualitas, dan SDM caleg menjadi nomor sekian, tak penting lagi.
Dan sedihnya lagi, masyarakat pun memilih wakil rakyat hanya berorientasi pada materi. Siapa yang memberi dipilih. Kualitas, SDM, integritas, pendidikan Caleg diabaikan. Prilaku pragmatis seperti ini bukan tanpa alasan. Rakyat nampaknya sudah skeptis, tak percaya lagi. Siapa pun yang terpilih tak ada pengaruhnya bagi mereka. Toh, para caleg (yang terhormat) itu tak akan memperjuangkan mereka setelah duduk di kursi dewan. Di sini, Parpol memikul tugas baru dan berat yaitu meyakinkan rakyat. Dan hanya kerja keras dan bukti nyata yang akan mengubah keyakinan rakyat terhadap partai politik. 
          Kedua, menghabiskan waktu dan anggaran. Sekolah parlemen rencananya diberlakukan pada tahun  ini bagi semua anggta dewan. Padahal tugas anggota DPR semakin menumpuk terutama prihal legislasi. Pada tahun 2016 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tersisa 40 RUU. Juni 2016 lalu ditambah 10 RUU lagi sehingga menjadi 50. Itu tugas berat yang ada di depan mata anggota dewan. Kenapa membuang-buang waktu dan energi dengan wacana sekolah parlemen? Bukan lebih baik fokus pada penyelesaian Prolegnas?
          Selain itu, sekolah parlemen hanya mengabiskan anggaran. Padahal Pemerintah sekarang sedang mengencangkan ikat pinggang dalam tanda petik. Artinya, gunakan dana yang ada untuk sesuatu yang lebih penting. Membuat prioritas program adalah solusinya. Bukankah masih banyak hal yang lebih penting daripada sekadar sekolah parlemen?
          Ketiga, solusi jangka pendek. Sekolah parlemen dinilai sebagai usaha mencari solusi yang bersifat jangka pendek. Gagasan dan wacana sekolah parlemen hanya untuk menyelamatkan muka anggota dewan sekarang dari rasa malu di depan penilaian rakyat yang memilih mereka. Gagasan dan wacana tersebut sangat instan.
          Singkat kata, mengutip saran Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, anggota DPR lebih baik fokus pada tugas utamanya yang selama ini belum maksimal. Bukankah Ketua DPR RI, Ade Komaruddin sendiri telah berjanji fokus dalam hal legislasi saat menjabat sebagai Ketua dewan menggantikan Setya Novanto.
          Dalam sambutan pada Penutupan Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2015-2016, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 17 Maret 2016 yang lalu, Ade Komaruddin mengingatkan anggotanya, terkait legislasi Pimpinan DPR mengingatkan kepada seluruh Anggota DPR, agar dapat mematuhi ketentuan kehadiran secara fisik, baik dalam rapat-rapat Alat Kelengkapan DPR maupun dalam Rapat Paripurna DPR. (http://www.dpr.go.id/)
          Nah, jika demikian, untuk apa lagi sekolah parlemen? Wa Allahu Alam




Haji Ilegal Akibat Antrian Panjang


          Negeri ini tak pernah sepi dari masalah. Terakhir, terkait pelaksanaan haji. Jumat (19/8) yang lalu, aparat Filipina menangkap 177 jemaah haji Indonesia yang menggunakan dokumen palsu untuk menggunakan kuota haji Filipina. Cerita haji ilegal sebenarnya bukan barang baru. Ini menjadi rahasia umum. Diakui pula oleh oleh Kementerian Agama RI. Dalam konfrensi pers di Kantor Kemenag, Inspektur Jenderal Kementerian Agama Mochammad Jasin mengatakan selama ini sebagian orang Indonesia memang sering mencari jalan ilegal untuk naik haji. Penjelasan beliau mengisyaratktan, Kemenag sudah lama mengetahui prihal praktek haji ilegal, menjadi tanya kenapa dibiarkan? Mengapa tak ada upaya pelarangan atau pencegahan?
          Praktek haji ilegal biasanya menggunakan beberapa cara. Pertama, dengan menjadi pekerja musiman. Pada musim haji,  beberapa orang Indonesia menjadi pekerja musiman di tanah suci. Misalnya,  menjadi pekerja katering.  Selaku pekerja musiman, mereka tak memiliki izin menunaikan ibadah haji. Mereka menjalankan  ibadah haji secara sembunyi-sembunyi mengindari petugas keamanan Arab Saudi.
          Kedua,  pergi ke tanah suci dengan niat umrah beberapa pekan sebelum musim haji tiba. Setelah selesai umrah, mereka tidak langsung pulang ke Indonesia. Mereka kemudian tinggal di rumah kerabatnya yang bekerja di Arab Saudi. Saat musim haji tiba, mereka menyusup untuk ikut melaksanakan ibadah haji dengan jemaah haji lain.
Ketiga, seperti kasus Filipina..  Berhaji melalui negara lain dan menggunakan paspor asal negara lain. Beberapa negara tetangga seperti Malaysia juga Brunai Darussalam disinyalir menjadi perantara jamaah haji ilegal Indonesia.
Haji itu kegiatan ibadah. Beribadah mestinya dilakukan dengan cara yang baik. Tapi kenapa sebagian dari kita melakukan cara ilegal, yang melanggar hukum? Apa sebenarnya motif jamaah haji ilegal? Paling tidak ada dua hal. Pertama, terkait biaya perjalanan. Haji resmi dianggap lebih mahal. Orang mengambil jalan pintas dengan cara ilegal. Niat suci mereka berkunjung ke baitullah dikotori  oleh mereka sendiri dengan menempuh cara ilegal.
Kedua, antrian haji yang tidak hanya panjang tapi sangat panjang. Kuota yang diberikan Kerajaan Arab Saudi tak sebanding dengan peminat haji yang demikian tinggi di tanah air. Di Sulawesi utara saja dimana Islam bukan mayoritas masa tunggunya berskisar 9 tahun.  Di Jawa,  antrian haji rata-rata sekitar 16 tahun. Antrian ada yang mencapai 20 tahun lebih seperti di Kalimantan Selatan. Antrian terpanjang adalah Propinsi Sulawesi Selatan yakni 35 tahun.
Antrian panjang
          Antrian panjang adalah fakta yang harus dihadapi calon jamaah haji Indonesia. Antrian menjadi persoalan pelik pengelolaan pelaksanaan haji di tanah air. Namun demikian tak menurunkan minat masyarakat untuk berhaji. Sebab haji tak soal ibadah melulu. Haji  terkait persoalan sosial dan ekonomi. Motif haji tak sebatas ibadah semata tapi melebar ke persoalan status sosial. Terlebih kemampuan ekonomi masyarakat pun membaik dari waktu ke waktu.
          Untuk mengatasi antrian panjang, menurut hemat saya ada beberapa langkah yang kudu dilakukan pemerintah. Diantaranya adalah melakukan morotorium yakni menghentikan sementara pendaftaran haji. Moratorium pendaftaran haji penting untuk menata kembali seluruh jamaah haji yang telah terdaftar dan memperbaiki pengelolaan dana haji yang sudah masuk atas nama rekening Menteri Agama. Selama pemberhentian, akan dilakukan perbaikan sistem pelaksanaan haji secara menyeluruh. Wacana ini sebenarnya sudah lama disampaikan oleh berbagai pihak tapi belum dilakukan pemerintah.
          Kemudian, membatasi haji cukup satu kali. Kewajiban haji itu hanya satu kali dalam seumur hidup. Tidak dianjurkan seorang mengulang-ulang haji. Apalagi saat kondisi antrian panjang seperti ini. Mengulang haji sama saja menutup kesempatan atau mempersulit saudara kita yang belum melaksanakannya. Rasulullah SAW saja selama hidup hanya melakukan haji satu kali.
          Mendahulukan yang lebih tua. Untuk hal ini sudah ada trobosan dari Menteri Agama Lukman Saifuddin Zuhri dengan sistem pendaftaran jalur khusus bagi mereka yang berusia 70 tahun ke atas. Tapi cara ini tak cukup. Faktanya banyak pendaftar yang berusia belia diberangkatkan karena lebih dahulu mendaftar. Ke depan calon haji yang belum baligh tidak boleh mendaftar apalagi diberangkatkan.
          Pilihan selanjutnya, meminta tambahan kuota haji. Untuk ini butuh lobi politk kelas tinggi. Indonesia pantas mengajukan tambahan kuota karena panjangnya antrian, juga tingginya minat masyarakat disamping karena sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak. Bila perlu, Indonesia sedikit berani dengan mengancam baikot misalnya.
Butuh Komitmen
          Selain mengatasi soal antrian panjang, sistem pelaksanaan haji wajib diperbaiki secara secara menyeluruh. Dan ini butuh komitmen yang kuat dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama. Soal haji ilegal di Filipina misalnya, pemerintah wajib serius mengusut, menyelesaikannya. Bila ada oknum aparat negara yang terlibat, pemerintah harus berani menindak. Seperti dilaporkan jurnalindonesia.id, PT Aulad Amin, salah satu travel yang memberangkatkan jamaah, adalah milik Nasir Amin. Nasir ternyata adalah adik dari Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin. Sekarang Kemenag kudu membuktikan komitmenya dalam membersihkan pelaksanaan haji dari praktek-praktek menyimpang.
          Kemenag diminta melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang haji resmi. Untuk transparansi, Kemenag bisa mengumumkan pihak ketiga yang bekerja sama dengan pemerintah dalam pengelolaan haji. Sehingga masyarakat bisa membedakan mana yang legal dan ilegal. Sehingga di masa mendatang masyarakat tak menjadi korban penipuan seperti yang dialami 177 jamaah haji  Indonesia di Filipina.
          Tentang komitmen dan tranparansi itu mutlak dibutuhkan. Dalam ibadah haji dana yang dikelola pemerintah dari setoran calon jamaah haji cukup besar. Sistem daftar tunggu menumpuk dana miliaran rupiah dari masyarakat . Belum lagi soal dana abadi umat (DAU).
          Walhasil, Kemenag RI saatnya menunjukkan itikad dan komitmen kuat dalam memperbaiki pelaksanaan dan pengelolaan haji.  Tak hanya persoalan haji ilegal dan antrian panjang, berbagai masalah menanti seperti soal visa, pemondokan, katering, dan DAU. Kemenag diminta segera menemukan konsep dan formulasi yang tepat dalam mengurus berbagai persoalan tersebut. Jika tak ada itikad dan komitmen kuat, rasanya pelaksanaan haji sulit akan lebih baik di waktu mendatang. Wa Allahu Alam


Selasa, 23 Agustus 2016

Merangkul Diaspora, Perlukah?


            Kasus Arcandra dan Gloria Hamel menyadarkan bangsa ini pada dua hal. Pertama, perlunya merevisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Kedua, keberadaan diaspora Indonesia di luar negeri. RUU revisi tentang kewarganegaraan  sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI walaupun belum menjadi prioritas tahun 2016.  Dan mengenai diaspora, pemerintah sedang menggagas untuk merangkul mereka.
          Bagi  banyak orang,  diaspora bisa jadi sesuatu yang baru. Apa diaspora itu? Diaspora adalah orang-orang Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap ataupun menetap sementara di negara asing. Sebagai aset bangsa yang potensial, kaum diaspora merupakan golongan yang mempunyai karakteristik tersendiri karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa dalam kompetisi global.  (Wikipidia Bahasa Indonesia)
          Kasus Arcandra menyadarkan kita semua bahwa banyak orang Indonesia yang berkualitas, berprestasi  yang tinggal di luar negeri. Pada tahun 2012, Dubes RI di Amerika Serikat pernah berinisiatif mengumpulkan diaspora Indonesia di Amerika dalam kongres Diaspora Indonesia.  Kegiatan tersebut, seperti dikatakan Dubes RI Dino Pati Jalal saat itu  bertujuan untuk menghubungkan komunitas diaspora Indonesia di seluruh dunia. Dengan koneksi ini maka akan muncul pemberdayaam dan kesempatan yang menciptakan keuntungan untuk semua. Ribuan orang datang.
Dari kongres diaspora pertama tersebut terungkap fakta bahwa ada sekitar 150 ribu orang Indonesia yang tinggal di Amerika.  Diperkirakan dari  250 juta total penduduk Indonesia, 8 juta orang tinggal di luar negeri tersebar 35 negara. Angka ini cukup fantastis, betapa besar potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang ada di luar negeri. Kongres Diaspora Indonesia Ke-3 dilaksanakan di Jakarta pada Agustus 2015 lalu.
Fakta di atas mendorong pemerintah untuk merangkul diaspora. SDM Indonesia  di luar negeri tersebut diminta berpartisipasi dalam membangun negeri. Pemerintah berencana memulangkan para diaspora tersebut ke Tanah Air. Dengan pemulangan aset-aset bangsa tersebut, daya saing Indonesia di tengah persaingan global diharapkan bisa meningkat.
Seperti ditegaskan Presiden Jokowi,  banyak putra-putri terbaik bangsa Indonesia yang memiliki karier cemerlang di berbagai belahan dunia. Di 'Negeri Paman Sam', misalnya, terdapat 74 profesor yang berkecimpung di universitas-universitas terkemuka. Jumlah tersebut belum termasuk yang tersebar di negara lain, seperti di Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Belum lagi doktornya ada berapa ratus. Di Silicon Valley, ada ratusan WNI yang bekerja di sana. Kenapa  mereka tidak bekerja di Indonesia?  (mediaindonesia.com)
Terkait rencana pemerintah, Ketua DPR RI, Ade Komarudin, mengapresiasi rencana tersebut secara positif. Menurutnya, kasihan negeri ini. Banyak putra-putri terbaik  yang mengabdikan diri bukan kepada bangsanya tapi kepada negeri orang. Kita jangan terlalu picik dalam membaca dan memahami permasalahan. Nasionalisme dalam era globalisasi berbeda definisi dengan nasionalisme pada jaman penjajahan dulu. Jangankan yang dididik oleh bangsa kita, dididik oleh bangsa lain pun kalau bagus kenapa tidak jadi warga negara Indonesia, daripada mengisi negara ini oleh orang-orang yang tidak berkualitas. (www.antaranews.com)
Perlukah?
         Merangkul atau mengembalikan diaspora Indonesia ke tanah air telah digagas oleh pemerintah seperti disinggung sebelumnya Pertanyaan kita, apa itu perlu? Menurut hemat saya, mengembalikan mereka tidak sekadar perlu tapi sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, diaspora adalah aset dan potensi bangsa yang wajib digali. Kita tak boleh mengabaikan. Tak boleh merasa tak membutuhkan. Dalam membangun negeri, semua potensi kudu bisa berpartisipasi. Belum lagi, berdasarkan fakta para diaspora Indonesia mayoritas adalah orang-orang sukses secara ekonomi.  Potensi ekonomi yang berada di luar negeri tersebut dapat dikembalikan ke tanah air. Kepala BKPM Franky Sibrani pernah menegaskan, nilai remitansi dari diaspora telah mencapai 8 miliar dolar AS pertahun.
         Potensi lain dapat dilihat pada diaspora Indonesia di Amerika misalnya. Berdasarkan data yang dipublikasikan mediaindonesia.com, 48 persen warga diapora berpendidikan di atas sarjana. Pendapatan rata-rata mereka US59 ribu dolar di atas rata-rata pendapatan pendapatan warga Amerika sendiri yakni US45 ribu pertahun. Ini potensi besar, sekaligus menggiurkan. Tak logis jika kita mengabaikannya.
         Kedua, alasan nasionalisme. Banyak diantara para diaspora yang ingin kembali ke tanah air. Mereka ingin berkarya, berinvestasi, bekerja di tanah air. Mereka ingin berbaigi dengan anak bangsa lainnya. Sayang, rasa nasionalisme yang masih tertanam kuat dalam jiwa para diaspora tersebut selama ini tak mendapat respon atau tanggapan yang baik dari pemerintah, kita semua yang ada di tanah air.
         Saya pernah menyaksikan keluhan seorang doktor dalam sebuah acara salah satu TV swasta nasional. Doktor diaspora itu telah mengajukan lamaran kerja ke 30 lebih perusahaan/intansi di Indonesia. Tak satu pun yang menerimanya. Kalau mereka memilki nasionalisme seperti itu kenapa kita tak merangkulnya. Bukankah mereka adalah anak bangsa seperti kita?
         Ketiga, Indonesia butuh dana besar. Dalam membangun ekonomi, saat ini Indonesia membutuhan suntikan dana besar. Apalagi komitmen Jokowi-JK dalam mengejar ketertinggalan dalam infrastruktur. Kebijakan Tax Ammnesty merupakan salah satu upaya menggali dana tersebut. Dan diaspora merupaka  potensi sumber dana lain yang dapat ditarik dari luar, masuk ke Indonesia.
         Walhasil, diapora adalah potensi. Mereka anak bangsa layaknya yang lain. Merangkul mereka adalah hal wajar dan logis. Menjadi tugas pemerintah bagaimana cara merangkul mereka. Pemerintah bisa memberikan hak kewarganegaraan bagi mereka yang berwarga negara asing. Bisa juga memberlakukan dwikewarganegaraan seperti yang ditempuh banyak negara menyikapi kaum diaspora.  Atau menarik mereka dalam berinvestasi di tanah air.
         Langka-langka tersebut melibatkan banyak pihak, kementerian, instansi. Kerja sama di antara mereka dibutuhkan untuk sukses merangkul diaspora. Kasus Arcandara mesti jadi pelajaran bagi semua. Sepantasnya kita semua mengulurkan tangan, menyambut saudara sebangsa setanah air, para diaspora. Wa Allahu Alam


Kenapa Harus Mengorbankan Madrasah?


Membicarkan pendidikan di Indonesia tak mungkin lepas dari keberadaan madrasah. Dalam bahasa Arab,  madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Di negeri asalnya, madrasah diratikan sebagai sekolah baik sekolah umum atau sekolah keagamaan. Dalam bahasa Indonesia madrasah diartikan lebih khusus untuk sekolah yang  mengajarkan keilmuan agama Islam. Madrasah merupakan perpanjangan dari sistem pesantren di tanah air.
Dalam dunia Islam madrasah berkembang sejak abad ke 5 Hijriyah, sekitar abad ke 10 atau 11 Masehi. Lahirnya madrasah seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Madrasah lahir sejalan dengan perkembangan pemikiran  dalam Islam yang melahirkan madzhab-madzhab.  Saat itu keilmuan keislaman berada pada masa keemasan. Berbagai disiplin ilmu telah lahir seperti ilmu kalam, ilmu fiqhi, ilmu ushul fiqhi,  ulumul hadist, tafsir, kedokteran, matematika bahkan tasawuf.  Pada masa tersebut lahir madrasah-madrasah. Ada madrasah Safi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Ja’fariyah dan masih banyak lagi. Madrasah-madrasah tersebut masih sebatas halaqoh ilmiah (pertemuan ilmiah). Dalam halaqoh ilmiah terebut para tokoh madzhab seperti Syafi’i menyampaikan pemikiran atau ajaranya.
Di Indonesia, madrasah bukan sesuatu yang baru. Madrasah ada sejak sebelum kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatera yaitu madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1908.  Pada tahun 1910, Syekh M Taib Umar mendirikan Madrasah Schoel di Batusangkar. Kemudian pada tahun 1918, Prof Mahmud Yunus mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan Madrasah Schoel. Di padang panjang, Syekh Abdul Karim Amrullah medirikan Madrasah Tawalib pada tahun 1907. Kemudian Madrasah Nurul Iman didirikan H. Abdul Samad di Jambi.
Di Jawa, perkembangan madrasah tercatat sejak 1912. NU mendirikan model madrasah pesantren dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustho dan Mualimin Ulya pada tahun 1919. Tahun 1912 Muhamadiyah mendirikan madrasah dengan mengapropriasi sistem pendidian Belanda Plus. Al Irsyad (1913) mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin dan Tahasus. Kemudian di Jawa Barat PUI mendirikan model madrasah pertanian.
Setelah kemerdekaan, pada 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus keberagamaan di Indonesia termasuk pendidikan Islam, khususnya madrasah. Secara instansional departemen agama diserahi kewajiban dan bertangung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut.
Dalam upaya meningkatkan madrasah, pemerintah melalui Kementerian Agama memberikan bantuan dalam bentuk material dan bimbingan. Untuk itu,  Kementerian Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No 1 Tahun 1946 dan disempurnakan dengan peraturan Menteri Agama No 7 Tahun 1952. Di dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan jenjang pendidikan pada madrasah yang terdiri dari : Madrasah Rendah ( Madrasah Ibtidaiyah), Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah), Madrasah Lanjutan Atas ( Madrasah Aliyah). Sejak itu madrasah dijadikan sebagai sekolah formal oleh pemerintah.
Haidar Daulay (2009) dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, pemerintah mengeluarkan SKB 3 Mentri (menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan) pada tanggal 24 Maret 1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream  pendidikan nasional. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum yang setingkat lebih tinggi. Ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
 Namun tak semua madrasah beralih fungsi sebagai sekolah formal. Ada madrasah yang bertahan sebagai madrash diniyah yang dalam masyarakat dikenal dengan sebutan sekolah sore. Madrasah-madrasah Diniyah masih eksis hingga saat ini. Di berbagai daerah bahkan belajar di sekolah sore (baca:madrasah diniyah) diwajibkan. Di madrasah-madrasah tersebut peserta didik diajarkan pendidikan Al Quran dan ilmu agama lainnya. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) diharapkan mampu mencetak karakter anak didik. Di madrasah akhlak mulia ditanamkan sejak dini.
Menurut data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2015), jumlah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang. Sementara Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) berjumlah 76.566 dengan jumlah santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ tempat anak-anak pra sekolah dan sekolah dasar berjumlah 123.271 lembaga memiliki santri berjumlah 7.121.304 orang.
FDS membubarkan madrasah
          Perjalanan panjang madrasah menjadi tak bermakna ketika beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muhadjir Efendy berencana menerapkan sistem Ful Day School (FDS). Sebab itu, tak heran ketika gagasan dan wacana itu ditolak banyak pihak. Kemedikbud seakan buta sejarah. Sang Menteri baru itu seakan menutup mata atau tak membaca keberadaan ribuan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT). Padahal MDT telah memberi kontribusi besar dalam mencetak siswa-siswi berakhlak mulia. Kalau Pak Muhadjir Efendy mengkawatirkan peserta didik sepulang sekolah, MDT sudah menjadi solusinya. Mustinya, Kemendibud memberi perhatian lebih kepada MDT seperti yang dilakukan oleh banyak pemerintah daerah sehingga di waktu mendatang peran MDT lebih dapat dirasakan.
          Menurut Ruchman Basori (2016), gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi masyarakat perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi jalan yang macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter, moral dan akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren, MDT dan TPA. Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia utamanya pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku menyeluruh di semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif. (http://www.nu.or.id/)
          Tapi faktanya, di perkotaan MDT bermunculan bak jamur di musim hujan. Masyarakat perkotaan menyadari kebutuhan pada MDT. Tantangan mendidik anak di perkotaan terutama dalam menghadapi derasnya arus globalisasi membuat para orangtua melirik MDT. MDT dipilih sebagai tempat yang tepat pada sore hari untuk anak. Di MDT anak kita belajar Alquran, salat, dan memperdalam pengetahuan dan pengamalan agama.
          Di samping itu, sekolah di perkotaan juga tak semuanya siap. Banyak sekolah yang secara tegas menolak FDS karena fasilitas yang tak memungkinkan. Sekolah yang ruang kelasnya terbatas sehingga melaksanakan pembelajaran menjadi dua tahap (pagi-sore) apa mungkin memberlakukan FDS? Jelas, tak bisa. Belum lagi terkait keterbatasan tenaga pendidik, sarana dan lainnya.
          Akhir kata, gagasan FDS masih terlalu dini untuk diterapkan. Indonesia belum siap menjalankan sistem FDS. Masih seabreg permasalahan yang wajib diselesaikan terlebih dulu seperti prasarana, keterbatasan tenaga pendidik juga lainya. Dan yang paling penting, pemberlakuan FDS akan membubarkan Madrasah Diniyah Takmiliyah. Apa kita rela mengorbankan MDT yang telah berjasa membekali anak didik dengan akhlak mulia? Wa Allahu Alam






Selasa, 16 Agustus 2016

Aku Siap Menjadi Hamba Bagimu, Guru


                Satu tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air diwarnai berbagai kasus menyedihkan juga memilukan. Para pendidik atau guru yang mustinya mendapat perlakuan baik, penghormatan justru menjadi obyek tindak kekerasan.  Dan ironisnya, kekerasan itu dilakukan peserta didik yang sedang dididiknya. Guru tidak dipandang sebagai orang yang wajib dimuliakan. Guru tidak lagi dihargai, dihormati. Justru sebaliknya mereka kerap menerima perlakuan yang tak pantas.
          Kasus kekerasan terhadap guru bermunculan. Belum lama, seorang dosen  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bernama  Nur Ain Lubis (63), tewas setelah ditikam mahasiswanya, Roymardo Sah Siregar (20), pada Senin (2/5/2016) sekitar pukul 15.00 WIB. Nur Aini Lubis dibunuh di lingkungan kampus. Ketika ke kamar mandi, ia dibuntuti oleh pelaku. Saat hendak mengambil air wudhu, sang dosen ditikam dengan pisau oleh mahasiswa semester akhir tersebut.
          Di Sidoarjo, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan polisi karena dituduh mencubit siswanya, SS. Guru SMP Raden Rahmad Balongbendo itu mencubit karena yang bersangkutan tidak mengkuti kegiatan shalat duha bersama. SS memilih bermain di tepi sungai. Tidak terima perlakuan sang guru, orang tua SS Yuni Kurniawan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Yuni Kuriniawan yang merupakan anggota Kodim 0817 Gresik berpangkat Serka dari satuan intel itu menilai tindakan Sambudi sudah keluar dari konteks mendidik.
          Paling mutahir, Dasrul, guru di SMK Negeri 2 Makasar dianiaya oleh murid bersama orangtuanya. Berawal ketika  Dasrul diduga menampar muridnya,  Muh Alif (15), karena tidak membawa perlengkapan menggambar dan buku. Muh Alif kemudian menelpon ayahnya dan menceritakan kejadian tersebut. Setelah itu, orang tuanya,  Adnan  Achmad datang ke sekolah dan langsung memukul sang guru karena tidak terima anaknya dianiaya dan disuruh keluar. Dan lebih sedih lagi, sang murid  ikut memukuli gurunya.
Saya teringat ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib ra, aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf. Ungkapan tersebut menjelaskan betapa tinggi kedudukan seorang guru. Guru tidak sekadar wajib dihormati, dihargai dan dimuliakan. Lebih jauh,  guru pantas menerima pelayanan layaknya seorang tuan. Apa yang ditegaskan Imam Ali Bin Abi Thalib jauh dari prilaku peserta didik kita sekarang.
 Budaya hormat kepada guru telah terkikis habis seiring berputarnya sang waktu. Murid sekarang berbeda dengan zaman saya belajar. Dulu anak didik tidak sekadar menghormati guru, sebagian mereka bahkan hanya untuk bertemu saja merasa takut, malu. Guru dianggap segalanya.  Sekarang siswa saya tidak sekadar tak takut, tak malu tapi kelewat berani dalam perkataan dan prilaku. Kedudukan guru sudah tak sakral seperti dulu lagi.
Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa para sahabat selalu menundukkan wajah ketika berjumpa Rasulullah SAW. Mereka tak berani menatap wajah sang rasul secara berlebihan. Saat Rasulullah SAW melakukan pembelajaran (baca:menyampaikan ajaran agama) di masjid, semua sahabat duduk menunduk seakan di atas pundak mereka ada burung.  Mereka diam, khusu’ dan fokus mendengarkan semua yang disampaikan Rasulullah SAW. Demikian sakral kedudukan seorang rasul yang tak lain adalah maha guru umat manusia
          Kedudukan guru yang mulia nan tinggi tersebut tak lepas dari peran dan jasa mereka. Mengibaratkan dengan bahasa agama, guru itu membawa manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya (ilmu). Dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, sang maha guru Alquran menyebutnya, minadhulumati ilannur.
          Konon, setelah mendapat laporan bahwa Jepang takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom, Kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Dengan sekitar 250.000 guru yang masih hidup, Kaisar Jepang menyatakan tekad, dalam satu generasi, Jepang akan lebih maju dari kondisi sewaktu ditaklukan. Pada 1960-an, Jepang membuktikan dapat lebih unggul dalam teknologi dan ekonomi daribanyak negara Barat penakluknya. .Jepang menjadi negara maju. Demikan gambaran peran guru dalam membangun peradaban manusia.
          Sekarang kenapa berubah?Kenapa guru tak dimuliakan lagi? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Pertama, pergeseran nilai akibat kebebasan informasi. Arus globalisasi di segala bidang membawa berbagai budaya asing dalam kehidupan kita. Serangan budaya asing tersebut memporakporandakan pondasi budaya setempat. Persoalannya adalah ketika kita tak siap membentengi budaya  sendiri. Maka tak bisa dihindari pergesearan nilai pun terjadi. Apa yang dulu dinilai baik menjadi tak baik lagi. Apa yang dulu diharuskan tak perlu dilakukan lagi. Begitu seterusnya. Budaya hormat guru mengalami pergeseran tajam. Guru dinilai  sejajar dengan siswa.
          Kedua, guru tak lagi diguguh dan  ditiru. Filosofi Jawa itu sangat tepat, selaras dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan, Sesungguhnya telah ada pada  Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu  bagi orang yang mengharap  Allah dan  hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Guru itu idealnya adalah teladan. Guru kudu menjadi contoh bagi peserta didik  dalam segala hal. Akhlak guru menentukan wibawa dirinya di depan peserta didik. Ketika guru tak diguguh dan ditiru, maka kedudukan, wibawa, kehormatannya akan menghilang. Poin ini kudu menjadi bahan interopeksi diri bagi para guru.
          Ketiga, salah memahami HAM. Di era modern Hak Asasi Manusia (HAM) dijadikan sebagai sesuatu yang harus dijungjungtinggi. HAM menjadi tolak ukur semua tindakan manusia. HAM  laksana agama baru. Melanggar HAM sama seperti melanggar agama. Semua harus tunduk pada HAM. Melawan HAM akan digugat oleh semua pihak. HAM betul-betul menjadi istemewa.
          Terkait dengan pendidikan, pemahaman HAM sering disalahartikan. HAM dijadikan alat legimitasi untuk memojokkan sikap dan tindakan guru dalam mendidik anak di sekolah. Tindakan guru terhadap peserta didik dalam beberapa kasus dianggap telah melanggar HAM. Atas nama HAM, peserta didik juga orang tua mengadukan guru ke aparat hukum. Padahal, ada solusi lain yang lebih bijak daripada proses hukum, jalur kekeluargaan atau musyawarah misalnya.
          Walhasil, ungkapan aku siap menjadi hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf kudu ditanamkan kembali ke peserta  didik. Ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib tersebut sepantasnya menjadi pandangan hidup anak didik kita guna meraih keberkahan ilmu yang diperoleh dari guru mereka. Kemudian guru dituntut untuk menyadari posisinya sebagai teladan bagi semua, peserta didik atau masyarakat luas. Dan masyarakat luas diminta arif dan bijak dalam menerapkan pemahaman HAM di dunia pendidikan. Sehingga di waktu mendatang kasus-kasus kekerasan tidak akan terjadi lagi di sekolah. Guru menjadi mulia karena jasa dan karyanya. Wa Allahu Alam



Pilkada DKI dan Pilpres 2019


Pilkada serentak tahap kedua akan dilaksanakan 2017 mendatang. Gegap gempita pesta politik  sudah terasa di berbagai daerah. Pilkada 2017 akan menentukan 7 gubernur, 76 Bupati dan 18 Walikota. Diantara banyak daerah, DKI Jakarta menjadi primadona dalam pemberitaan di media massa. Berbeda dengan pemilihan gubernur sebelumnya, Pilkada DKI tahun depan sungguh luar biasa. Suhu politik memanas sejak dua tahun yang lalu saat daerah lain masih sunyi senyap.
DKI Jakarta menjadi sangat spesial, berbeda jauh dengan daerah lain. Sebabnya tak lain karena faktor Ahok, saya menyebutnya Ahok efek. Ahok menjadi daya tarik yang luar biasa di pentas politik DKI Jakarta. Ahok menjadi icon pemimpin jujur, tegas, berani yang didambahkan rakyat Indonesia.  Ahok efek telah meluas secara nasional. Ahok menjadi topik pemberitaan di berbagai media baik cetak atau online tidak hanya di DKI Jakarta juga di daerah-daerah lain dua tahun terakhir. Ahok efek menjadi sempurna ketika muncul gerakan Teman Ahok. Teman Ahok dengan tema sejuta KTP tersebut telah mengukuhkan fenomena Ahok sebagai sesuatu yang luar biasa.
Kemudian faktor Jokowi. Membicarakan Ahok rasanya tak mungkin mengabaikan Jokowi. Paling tidak untuk dua alasan. Pertama, karena keduanya pernah berduet sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Hubungan Jokowi-Ahok sangat dekat. Keduanya merasakan  banyak kecocokan dalam  berbagai hal. Kecocokan itu tetap terbina walau Jokowi telah menjadi Presiden, Ahok menduduki jabatan yang ditinggal Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kedua, kepentingan Jokowi pada gubernur  DKI Jakarta mendatang. Jokowi menginginkan gubernur Jakarta yang akan datang adalah orang yang memiliki banyak kecocokan dengan dirinya. Sebab bagaimanapun Jakarta adalah ibu kota negara. Dalam banyak urusan, pemerintah pusat harus bersinggungan dengan Pemprop Jakarta.
Selanjutnya faktor PDI-P atau lebih khusus Ibu Megawati. Tak dapat disangkal sebagai partai  pemenang, pemilik kursi terbanyak di DPRD Jakata keberadaan PDI-P menjadi pusat perhatian. PDI-P yang memiliki 28 kursi di DPRD merupakan satu-satunya partai yang bisa mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi. Belum lagi  PDI-P memilki kader terbaik yang tak dimiliki partai lain seperti Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini, gubernur Jateng dan Walikota Surabaya. Keduanya sudah lama digadang-gadang oleh banyak pihak untuk jadi gubernur Jakarta. Hubungang PDI-P Ahok yang mengalami pasang surut menguras perhatian publik dalam waktu yang tak singkat.
Sepertihalnya Jokowi, PDI-P memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan tersebut pernah ditegaskan oleh Hasto Kristianto dalam sebuah acara di salah satu TV swasta. Sekjen PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa PDIP menginginkan keselarasan antara Pemerintah pusat dan Pemprop Jakarta.
Terakhir,  faktor Pilpres 2019 mendatang. Perjalanan Jokowi dari Solo ke Jakarta kemudian berakhir menjadi Presiden RI ke 7 itu menjadi catatan khusus bagi sejarah poliitik Indonesia.  Pilkada Jakarta akan dijadikan pintu masuk ke istana merdeka. Artinya, Gubernur Jakarta mendatang diprediksi dan disiapkan untuk calon Presiden atau Wakil Presiden. Maka pertarungan partai politik memeperbutkan DKI-1 semakin panas yang menentukan peta konstelasi Pilpres yang akan datang.
Pilpres 2019
          Faktor terakhir ini yang menurut hemat saya sangat menarik. Ini fenomena baru dalam sejarah politik nasional. Fenomena ini muncul setelah Jokowi sukses menjadi Presiden setelah sebelumnya merebut kursi Gubernur DKI Jakarta dari Fouzi Bowo. Apa rumus politik yang diyakini partai-partai sekarang itu rasional? Apa logis Jakarta menjadi pintu masuk istana negara?
          Untuk sekarang adigium politik di atas menjadi nyata dan rasional. Faktanya adalah Pilkada DKI Jakarta sekarang. Suhu politik yang panas di Jakarta belakangan menunjukan hal tersebut. Ditambah lagi banyak tokoh nasional yang turun gunung di Pilkada Jakarta. Sebut saja Yusril Ihza Mahendra, Adiyaksa Daud, Belakangan juga muncul nama Rizal Ramli dan Anies Baswedan, dua menteri yang baru saja direshufle Jokowi.
Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi tolak ukur Pilpres 2019. Alasannya Jakarta merupakan miniatur Indonesia, sehingga bakal calon gubernur DKI bisa menentukan calon presiden ke depan. Hal senada diungkapkan Ketua Pemenangan Pemilu PKS Agung Sutiarso Menurutnya, jabatan Gubernur DKI Jakarta menjadi posisi yang seksi dan banyak diperebutkan. Ia menganggap, gubernur yang berhasil memimpin Ibu Kota berpeluang maju dalam kontes pilres nanti. (http://www.republika.co.id/)
Kemudian dari segi anggaran Jakarta yang sangat besar sekaligus pusat pemerintahan. Keberhasilan seseorang memimpin dan membangun Jakarta dinilai layak memimpin Indonesia. Mengukur keberhasilan dari besar anggaran juga dipahami sebagai kemampuan seorang mengemban amanat dalam mengelola uang negara. Akhirnya, Jakarta dianggap sebagai tangga terakhir menuju kepemimpinan nasional.
Maka tak heran jika Pilkada DKI dijadikan pintu masuk persaiangan Pilpres 2019. Deal-deal politik dalam pentas DKI dihubungkan dengan kepentingan Pilpres yang akan datang. Partai besar seperti PDI-P dan Golkar berebut pengaruh dan simpati publik. Pilkada Jakarta yang akan menjadi perhatian rakyat Indonesia itu akan menjadi panggung politik maha dahsyat. Setiap partai politik akan memerankan, mempertontonkan permainan politiknya.
Coba diamati, bagaimana cepatnya Golkar menyatakan dukungan pada Jokowi untuk Pilpres 2019? Selangkah setelah itu, Golkar merangkul dan mendukung Ahok saat  hubunganya dengan  PDI-P sedikit bermasalah. Para pengamat menilai itu merupakan kepiawaian  Partai Beringin dalam mengambil (baca:merebut) Jokowi dari PDI-P. Dan Ahok disiapkan sebagai cawapres besutan Golkar. Tentu ini masih pridiksi. Tapi pridiksi politik tersebut menggambarkan apa yang terjadi dalam pentas politik DKI Jakarta. Sekarang kecepatan Golkar membaca situasi itu sedang dipelajari, diantisipasi oleh PDI-P. Kabar terkini, PDI-P bersediah mendukung Ahok dengan mengajukan Djarot Saeful Hidayat sebagai cawagub. Peta politik DKI dan arah Pilpres mendatangpun mulai terbaca.
Terlepas itu semua, rakyat awam seperti saya hanya bisa berharap Pilkada Jakarta berjalan lancar, berkualitas serta menghasilkan kepemimpinan yang ideal bagi warga Jakarta. DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia kudu mampu mempertontonkan pesta demokrasi yang jujur, bersih dan adil. Sehingga Jakarta menjadi contoh bagi daerah lain. Soal adagium politik, Jakarta pintu masuk istana negara biarkan rakyat yang menentukan kebenarannya. Bagi rakyat, apapun istilahnya, kepemimpinan daerah maupun nasional kedepan harus lebih berkualitas lagi.  Wa Allahu Alam














Menyoal Full Day School




            Menjadi tradisi, pejabat baru menawarkan sesuatu yang baru. Terlebih sekelas menteri, rasanya tak hebat kalau tidak segera menggagas, menciptakan gebrakan dengan mengeluarkan kebijakan baru. Di antara menteri baru hasil rushufle mutakhir yang sedang melakukan gebrakan adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Muhadjir Effendy menggagas sistem "full day school" untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Alasannya sangat sederhana agar anak tidak sendiri ketika orang tua mereka masih bekerja. Dengan sistem full day school  ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja.
Menurut Muhadjir Effendy, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga  ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua.
Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.
Menyinggung penerapan full day school dalam pendidikan dasar tersebut, mantan Rektor UMM itu mengatakan bahwa  saat ini masih terus disosialisasikan di sekolah-sekolah, mulai di pusat hingga ke daerah. Dan kedepan akan dipersiapkan payung hukumnya, yakni peraturan menteri (Permen).
Bersekolah sepanjang hari alias full day school sebenarnya sudah dijalankan banyak sekolah, terutama sekolah swasta. Seperti diakui oleh Muhadjir gagasan itu juga  diilhami sekolah-sekolah tersebut. Selain itu, program itu diharapkan dapat  menghindari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di luar jam sekolah.
Gagasan full day school  telah disampaikan sang Menteri ke Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Dalam keterangan pers usai menghadap, Menteri Muhadjir menegaskan bahwa Wakil Presiden menyetujui dan mengamini gagasannya. Hanya, Jusuf Kalla memita untuk dikaji lebih jauh sebelum diberlakukan.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah. Dia meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kajian mendalam sebelum memperpanjang jam sekolah bagi para siswa hingga sehari penuh. Kalau tidak dikaji secara mendalam bisa muncul ekses. Menurut Ferdi, ada sejumlah hal yang perlu dikaji sebelum penerapan wacana tersebut. Kemendikbud harus mengkaji apa saja aktivitas yang akan dilakukan oleh para siswa jika sekolah hingga pukul 17.00 WIB. Sekolah tak boleh hanya melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa karena akan mengganggu psikologis anak.
Selain itu, Mendikbud juga harus memikirkan kegiatan anak-anak yang biasanya dilakukan sepulang sekolah. Ada anak-anak yang membantu orangtuanya sepulang sekolah. Sebab itu, Mendikbud harus berkomunikasi dengan orangtua murid terkait hal ini. (http://nasional.kompas.com/)
Apa Full day school itu?
Full day school, berasal dari bahasa Inggris, berarti sekolah sepanjang waktu. Full day school menurut istilah adalah sebuah sekolah yang membeiakukan jam belajar sehari penuh antara jam 07.00- 16.00. Full day school merupakan  program sekolah dimana proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah daripada di rumah.
Full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran agama secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman agama siswa. Dengan jam tambahan dilaksanakan pada jam setelah sholat dhuhur sampai sholat ashar, praktisnya sekolah model ini akan masuk pagi  dan pulang sore hari.
Menurut Sismanto, full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat Dhuhur sampai sholat Ashar. (www.referensimakalah.com)
Tak Terukur
Sebagai sebuah gagasan, Full day school merupakan wacana yang menarik. Hanya persoalannya, apa gagasan itu tepat untuk sekarang? Menjawab pertanyaan ini memerlukan kajian dan pemikiran mendalam. Kemudian gagasan tersebut dinilai tak terukur jika diterapkan saat ini. Ada beberapa hal yang kudu diperhatikan. Ada banyak masalah yang menjadi persoalan baru sekaligus ganjalan. Sebelum lebih jauh, saya ingin berbagi pengalaman. Sebagai guru di salah satu sekolah dasar, saya kerap kali mendengarkan keluhan peserta didik. Di antara keluhan mereka yang paling risih didengar adalah saat mereka merintih minta pulang. Jam terakhir menjadi waktu yang tidak menarik bagi guru dalam mengajar karena kondisi fisik anak yang sudah lelah,  tak fresh lagi, berbeda di pagi hari.
Analisa saya sementara, mereka minta pulang itu karena  merasa tak betah berlama-lama di sekolah (baca:di kelas). Tak betah di sekolah disebabkan lingkungan sekolah yang tak menarik. Di tambah lagi jika proses belajar mengajar disajikan secara asal oleh guru. Maka lengkaplah penderitaan peserta didik. Sekolah seperti penjara. Apalagi bila proses pendidikan dan pembelajaran jauh dari prinsip memanusiakan manusia. Ruang kelas tak layak huni, guru killer, sekolah tak mengakui perbedaan dan keragaman potensi dan bakat  peserta didik dan lainnya.
Karena itu, menurut saya sebelum full day school diberlakukan ada banyak hal yang wajib disiapkan terlebih dulu. Pertama, faktor guru. Guru harus menarik dan menyenangkan. Untuk menjadi  seperti itu, guru dituntut untuk selalu mengembangkan potensi dan kompetensi. Guru harus menjadi pembelajar abadi. Guru pembelajar sudah digagas oleh Anies Baswedan, menteri Pendidikan sebelumnya. Sekarang sedang diupayakan dengan berbagai cara, kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan juga lainnya. Termasuk di dalamnya program Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan tindak lanjutnya.
Disamping itu, kebutuhan guru sekarang masih cukup tinggi. Banyak sekolah yang kekurangan tenaga pendidik. Ini menjadi problematika tersendiri ketika full day scholl diterapkan. Menutup kekurangan guru, sekolah mengangkat tenaga honorer. Ini pula persoalan, mereka akan dibayar berapa dalam sistem full day scholl? Apa sekolah mampu membayarnya?
Kedua, sarana. Sarana pendidikan meliputi ruang kelas, media pembelajaran serta sarana lain seperti mushollah, WC/kamar mandi. Faktanya banyak sekolah yang belum (baca:tidak) memenuhi standar terkait dengan prasarana pendidikan. Di kota besar semisal Jakarta mungkin tak ada masalah. Tapi sebaliknya, di daerah masih banyak sarana sekolah yang jauh dari layak.
Ketiga, kurikulum. Maksudnya adalah rencana kegiatan mengisi waktu sampai sore hari. Saya yakin sepanjang hari itu peserta didik  tidak hanya belajar di kelas. Sebab itu akan merampas hak bermain anak, juga melelahkan. Maka, idealnya perlu dibuat kurikulum pembelajaran yang bemuatan permainan. Atau bisa juga berbentuk kegiatan ektra kurikuler.
Keempat, sistem full day school akan bertabrakan dengan keberadaan madrasah diniyah.  Apa madrasah akan ditutup? Padahal hampir di semua wilayah keberadaan madrasah diniyah mulai diperhatikan pemerintah daerah. Point ini menjadi sangat serius yang harus dikaji ulang terkait sistem full day school.
Walhasil, masih banyak yang wajib disiapkan sebelum full day school diberlakukan. Maka, selayaknya jika menteri baru ini tidak gegabah. Jangan hanya karena ambisi membuat gebrakan, gagasan bagus seperti itu dipaksakan pada waktu yang tak tepat. Sehingga hal tersebut tidak dapat memperbaiki pendidikan nasional, justru sebaliknya hanya akan menambah persoalan.Wa Allahu Alam