Kamis, 16 Maret 2017

Apakah Anda Seorang Ayah?





            Setiap laki-laki beristri dan memilki seorang anak dapat mengklaim, mengaku dirinya sebagai ayah. Sebab dalam bahasa Indonesia ayah diartikan sebagai orang tua laki-laki dari seorang anak. Tergantung hubungannya dengan sang anak, seorang "ayah" dapat merupakan ayah kandung (ayah secara biologis) atau ayah angkat. Panggilan "ayah" juga dapat diberikan kepada seseorang yang secara de facto bertanggung jawab memelihara seorang anak meskipun antara keduanya tidak terdapat hubungan resmi.
          Apa betul seperti itu? Rasanya tak sesimpel itu. Jika memahami ayah sebatas definisi di atas, semua orang dapat berbangga hati mengaku sebagai ayah ketika anaknya sukses. Seorang dapat membusungkan dada saat anaknya jadi milyarder, pejabat  atau lainnya walaupun sepanjang hayatnya ia tak pernah mendidik anak tersebut. Saat kecil, hanya ibunya yang mengajarinya mengenal huruf dan membaca. Ibunya dengan penuh kasih sayang membimbing, melatih dan membantunya setiap menghadapi kesulitan dalam belajar. Gurunya di sekolah yang lebih memperhatikan dan menyayanginya. Sang ayah sibuk bekerja, dan bekerja. Menurutnya, tugas seorang ayah adalah mencari uang sebanyak-banyaknya guna biaya hidup keluarga dan sekolah anak. Seoarang yang mengaku ayah karena memilki anak seperti orang yang mengaku pemain bola hanya sekedar karena memilki bola. Ayah  itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak bukan sekedar 'membuat' anak.
          Persepsi yang keliru soal peran ayah seperti di atas berpotensi terhadap kegagalan para orang tua dalam mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan. Lebih lagi, tak sedikit orang tua yang tak mau belajar. Pemain bola profesional menjadi mahir bermain bola bukan karena memiliki bola saja. Namun, ia mau belajar sungguh-sungguh dan berlatih keras secara terus menerus. Sekarang, kita apa pernah belajar untuk menjadi seorang ayah? Elly Risman Musa, seorang Psikolog ketika mengapresiasi bukunya Munif Chatib berjudul Orangtuanya  Manusia  mengatakan kita semua ternyata tidak siap menjadi orang tua. Kita bersekolah untuk menjadi ahli di bidang masing-masing, tetapi tidak untuk menjadi ayah atau ibu. Ilmu dan tekhnologi berkembang, kita tetap menggunakan “cara lama” dalam mengasuh anak kita yang kini disebut Gen Z. Karenanya, kita hanyut dalam “tren” bagaimana anak orang, begitula anak kita. 
          Sekarang, “ayah sibuk”  menjadi trend para orang tua. Kesibukan ayah menjadi alasan mereka tak memperhatikan anak-anaknya. Seorang anak di era global harus menerima nasib, jauh dari ayah. Banyak anak yang merasa menjadi yatim karena kesibukan ayahnya. Ayah tak memilki banyak waktu dengan anak-anak. Terlebih yang hidup di lingkungan masyarakat perkotaan. Mobilitas yang tinggi di perkotaan memacuh semua orang bergerak cepat. Siapa cepat dapat. Lambat tak dapat. Hal demikian,  menjadikan para ayah melupakan tugas dan kewajibannya dalam keluarga terutama terkait pendidikan anak mereka. Ayah super sibuk tak hanya ada di kota. Dalam masyarakat pedesaan pun fenomena tersebut mulai muncul dan berkembang.
          Guna menjadi ayah yang baik, menurut hemat saya ada beberapa tips yang bisa dilakukan. Pertama, tetaplah meluangkan waktu untuk keluarga. Sesibuk apa pun kita, sebagai ayah sebaiknya tetap berkomunikasi, memantau perkembangan anak dari waktu ke waktu. Luangkan waktu walau untuk sekadar menanyakan prihal makan apa belum? Sedang apa di rumah? Bersama siapa? Baik juga bermain dengan anak. Keterlibatan ayah dalam mendidik anak diantaranya bisa dilakukan dengan bermain atau belajar bersama. Betapa senang anak-anak apabila ayah mau bermain, bergembira bersama mereka. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bagaimana Nabi Muhamad SAW bermain dan bercanda ria dengan cucu kesayangan beliau Al-Hasan dan Al- Husein. Rasulullah SAW pernah menjulurkan lidahnya dalam bercanda dengan keduanya.
Dalam hadist lain, Anas bin Malik ra menuturkan, bahwa Rasulullah  SAW senang bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah ra. Beliau memanggilnya dengan: Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali”. Zuwainab artinya  Zainab kecil. Nabi SAW rela menggendong putrinya sambil shalat. Beliau shalat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah Saw. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya.
Kedua, belajar terus. Menjadi orang tua yang baik perlu belajar seperti peran yang lain. Memang tak ada sekolah untuk jadi orang tua. Namun demikian tak menggugurkan kewajiban belajar seorang ayah. Menjadi ayah dalam mendidik anak membutuhkan ilmu, pengalaman, dan pelatihan. Sekarang sudah mulai banyak seminar parenther terkait pendidikan. Ikutilah. Banyak manfaat yang dapat dipetik. Kemudian bacalah buku. Jangan berhenti membaca karena alasan usia. Membaca sangat bermanfaat membekali pengetahuan yang dibutuhkan.
Ketiga, jadilah pendidik yang diteladani. Keluarga sejatinya adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Dalam keluarga, ayah bertindak sebagai kepala sekolah yang bertanggungjawab penuh prihal anak didik mereka. Ibu berperan sebagai guru bagi anak mereka. Sebagai kepala sekolah dalam keluarga, ayah membuat kurikulum yang dibutuhkan oleh anak sesuai  yang diinginkan. Ayah dan ibu harus sinergis. Saling mendukung, saling menopang. Tidak bergerak dan bertindak sendiri-sendiri. Sebagai kepala sekolah dalam keluarga, ayah juga sepantasnya menjadi seorang pendidik yang diteladani baik oleh anak maupun oleh anggota keluarga yang lain.
Keempat, sekolah hanya mitra dalam mendidik.  Sebab itu, tak sepatutnya menyerahkan urusan pendidikan anak sepenuhnya ke sekolah. Tak sedikit dari kita yang mengandalkan sekolah dalam mengantarkan kesuksesan hidup anak. Sebagai mitra, jalinlah komunikasi dengan sekolah. Jangan datang ke sekolah saat ada rapat saja. Kebanyakan dari kita, mau datang ketika diundang oleh pihak sekolah. Itu pun biasanya membahas prihal biaya pendidikan. Soal yang lain, hampir tak pernah. Ini kesalahan dan kebiasaan kita selama ini.  Ke depan wajib diubah.
Walhasil, ayah tak sekedar orang tua biologis bagi anak. Ayah adalah kepala sekolah kehidupan bagi mereka. Ayah merupakan pendidik sejati sekaligus teladan bagi anak-anak. Kehadiran dan sentuhan kasih sayang mereka sangat dibutuhkan. Jangan biarkan anak-anak kita merasa menjadi yatim karena kesibukan kita. Wa Allahu ‘Alam








Tidak ada komentar:

Posting Komentar