Kamis, 16 Maret 2017

Korupsi Sulit Diberantas, Kenapa?


          Rakyat Indonesia dikejutkan dengan mencuatnya sejumlah nama besar dalam dakwaan Jaksa  KPK dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi mega proyek e-KTP dengan tersangka mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta.  Mereka berasal dari politisi, birokrat juga pengusaha. Diantara nama yang disebut, ada Ketua DPR RI Setya Novanto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Mantan Ketua DPR RI Marzuki Ali, Mantan Ketua DPR Ade Komarudin, Anas Urbaningrum dan sederet nama lainnya. Mereka diduga telah menerima uang dari proyek bernila 5,9 triliun  tersebut. Uang negara dijadikan “bacakan” oleh para koruptor secara berjamaah. Program e-KTP pun terbengkalai. Rakyat kembali menjadi tumbal.
          Dalam hitungan KPK, kerugian negara akibat kasus e-KTP mencapai 2,3 triliun lebih. Sungguh luar biasa. Tak bisa dipungkiri, prilaku korupsi  menjadi penyakit kronis bangsa ini. Kehadiran lembaga sekuat KPK belum mampu menghadirkan efek jera bagi koruptor. Nyatanya, korupsi makin merajalela. Korupsi dilakukan secara masif dan sistemik. Korupsi telah menyentuh hampir seluruh lembaga negara. DPR, DPD, Kementerian, Peradilan, MK, Kepolisian dan lainnya. Barangkali, hanya lembaga kepresidenan yang belum terjebak dalam lingkaran setan kasus korupsi. Kenapa korupsi marak dilakukan?
          Menurut hemat saya, ada beberapa hal kenapa korupsi sulit dibrantas.  Pertama, faktor mentalitas. Mental korup telah mendarahdaging bangsa kita. Hal tersebut menandakan kegagalan pendidikan selama ini dalam mencetak generasi beriman yang berakhlak mulia, berintegritas tinggi. Pendidikan belum berhasil mengantarkan manusia Indonesia menjadi pribadi yang jujur dan bertanggungjawab. Pendidikan kita hanya baru mampu menjadikan mereka cerdas, pintar dan trampil. Orang jujur sangat langka di negeri ini. Orang pintar banyak, tapi sayang tak sedikit dari mereka yang “keblinger.”
Apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Pendidikan memang hal sangat penting dalam membangun dan  mengisi kemerdekaan. Sejarah mencatat, setelah dibombardir pasukan sekutu saat perang dunia kedua, Kaisar Jepang mempertanyakan tentang guru. Kaisar sangat yakin membangun kudu dimulai dari pendidikan. Dengan modal pendidikan Jepang dapat mengejar ketertinggalan. Sekarang, Jepang menjadi salah satu negara maju. Maka tak ada pilihan lain, kedepan sistem dan paradigma pendidikan kita wajib direvolusi. Sebenarnya dari waktu ke waktu pendidikan mengalami perubahan. Malahan, perubahan seringkali dilakukan walau kadang terlihat terburu-buru dan asal. Pendidikan kita sekarang sudah mulai diarahkan pada penanaman, penguatan karakter.
          Pendidikan karakter menjadi mutlak dibutuhkan. Pendidikan karakter dipahami sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Menurut Thomas Lickona pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Kemendikbud sendiri telah menetapkan 18 hal sebagai karkter yang wajib ditanamkan dalam mendidik peserta didik. Yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri dan lainnya.
Kemudian, pendidikan jangan lagi terjebak pada nilai oriented. Pendidikan tak boleh lagi berkutat pada pencapaian angka-angka. Menurut Munif Chatib, pendidikan itu sebaiknya berorientasi pada cara memenuhi kebutuhan hidup, menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi serta mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.  Saya menambahkan satu lagi bahwa pendidikan selayaknya memotivasi peserta didik dalam penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg), skil atau ketrampilan, tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kedua, korupsi menjadi budaya. Budaya korupsi telah mengakar. Sebab, praktek prilaku korup telah berlangsung dalam waktu cukup lama. Berawal di jaman orde lama, menguat di orde baru sehingga  sekarang kesulitan mencabutnya. Kehadiran KPK di  era reformasi tak otomatis membendung praktek korupsi. Korupsi sudah menyatuh dengan birokrasi dalam pemerintahan secara masif dan sistematis. Mencabut budaya korupsi memang sulit dilakukan. Tapi bisa, asal ada itikad kuat dan komitmen tinggi dari semua elemen masyarakat. Dalam melawan korupsi diperlukan revolusi mental, perlawanan bersama secara berkesinambungan. Semua dari kita tak boleh diam.
Korupsi tak akan hilang jika hanya mengandalkan pemberantasan  oleh KPK. KPK hanya mengupayakan efek jerah bagi pelaku korupsi dan masyarakat umum. Kerja keras KPK sebaiknya dibarengi dengan perlawanan setiap dari kita. Jangan diam melihat praktek korupsi. Tolak jika diajak. Laporkan  ke pihak penegak hukum jika menyaksikan. Saatnya orang jujur bicara, bertindak. Diamnya mereka akan menyuburkan praktek  korupsi.
Ketiga, sistem birokrasi membuka peluang prilaku korupsi. Regulasi dan peraturan perundang-undangan tak sedikit yang membuka cela penyelewengan. Cela itu dimanfaatkan oleh pejabat bermental korup guna memperkaya diri dengan cara ilegal. Sebab itu, setiap regulasi, kebijakan dan peraturan selayaknya tidak membuka cela penyelewengan. Di sini ketelitian dalam mengeluarkan regulasi dan membuat peraturan  dibutuhkan. Hindari dan tutup cela, potensi praktek pungutan liar. Pungli sejatinya tangga pertama menuju tindak pidana korupsi. Kaitan dengan pungli Pemerintah telah membentuk Saber Pungli. Ini kudu didukung oleh masyarakat. Sekali lagi, jangan diam. Mendiamkan penyelewengan sama saja sedang melakukannya.
          Singka kata, korupsi e-KTP bukan satu-satunya kasus mega korupsi yang telah dan sedang ditangani KPK. Sebelumnya sudah ada kasus pembangunan wisma atlet Hambalang, Bank Century dan lainnya. Korupsi telah menggurita. Maka kewajiban kita semua melawannya. Tolak jika diajak. Laporkan jika menyaksikan. Saatnya mengubah serta memperbaiki regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi disalahgunakan. Dan paling penting, menyiapkan generasi Indoenesia yang jujur, berkarakter tinggi. Ini PR bagi para pendidik. Anak didik anda sekarang akan menentukan siapa bangsa Indonesia 10 atau 20 tahun ke depan. Saya yakin upaya penanaman pendidikan karakter yang dilakukan sekarang akan memetik hasil di waktu mendatang. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar