Radikalisme sebenarnya sangat tidak
relevan bila dikaitkan dengan agama. Pasalnya tidak ada agama yang mengajarkan
cara-cara kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan para terorisme berpaham radikalisme
itu lebih dimaknai sebagai sebuah pencatutan. Artinya nilai-nilai agama yang
suci telah digunakan untuk sebuah kepentingan kelompok tertentu.
Kenapa memilih agama? Karena agama
merupakan bagian terpenting dalam
kehidupan manusia. Sehingga dengan memilihnya sebagai alat, tujuan yang ingin
dicapai dapat terwujud dengan cepat.
Mengatasnamakan agama mempermudah kelompok-kelompok radikal meraih
tujuan sejatinya. Jadi bohong besar bila radikalisme dengan segala aksi
kekerasannya itu dilakukan untuk tujuan membela, memperjuangkan agama. Agama
sekadar dimanfaatkan kekuatan massifnya yang bisa diarahkan sesuai tujuan yang
diinginkan.
Lalu apa motiif para terorisme
sebenarnya, yang telah melakukan kekerasan dan menebar rasa takut itu? Saya
melihatnya dua hal yang paling menonjol. Pertama, motif politik. Kedua, motif
ekonomi. Terkait poliitik misalya, belakangan Hearly Clinton mengakui bahwa Al
Qaida diciptakan Amerika untuk mengikis dominasi pengaruh Uni Soviet di
Afganistan saat itu. Bagaimana dengan
ISIS? Sama saja. Buktinya gerakan mereka sangat beraroma ambisi kekuasaan.
Mereka merebut paksa wilayah negeri berdaulat Irak dan Syiria.
Politik tentu terkait dengan ekonomi. Hubungan
itu tercermin pada kenyataan bahwa kekuasaan akan mendatangkan kemapanan
ekonomi atau kesejahteraan. Bahrun Naim, yang diduga sebagai otak pengeboman
Sarinah bisa jadi sedang menikmati berbagai kemewaan hidup di Syiria saat anak
buahnya harus ikhlas melepas nyawa mereka dengan iming-iming surga. Sembari
menikmati roti, mereguk anggur, didampingi para wanita cantik dia menyaksikan Jakarta panik, polisi dituduh
kecolongan, masyarakat luas cemas dan takut.
Kemudian radikalisme juga akan cepat
tumbuh subur saat ketimpangan ekonomi sangat mencolok, korupsi menggurita,
hukum tidak berdiri tegak menjungjung keadilan dan pemerintah telah menyimpang
dari tujuan bernegara. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, saat mengomentari
peristiwa sarinah menegaskan bila negara
dijalankan sesuai tujuan bernegara dan bermasyarakat dan sejalan dengan
cita-cita para pendiri bangsa ini, tentu terorisme tak akan muncul. Mereka akan
layu sebelum berkembang.(http://www.dpp.pkb.or.id/)
Berpendidikan
rendah
Para elit teroris seperti Bahrun
Naim terlebih tokoh utamanya Abu Bakar
Al Bagdadi telah menggapai apa yang dicita-citaakan berupa kekuasaan dan
kemapanan ekonomi. Tapi sebaliknya, para pengantin jihad hanya menjadi tumbal.
Mereka korban penipuan bertopeng agama. Dijanjikan surga, mereka rela megakhiri
hidupnya. Menjadi martir bom bunuh diri,
mereka meyakini seluruh dosanya terhapus. Sambil meneriakan “Allahu Akbar”
menebar teror, mereka meyakini mengakhiri hiidup dengan jihad di jalan Allah.
Dan sedihnya, berdasarkan fakta yang
ada mereka yang menjadi tumbal adalah mereka yang berpendidikan rendah,
berekomian tak mapan, dan tak bahagia karena berbagai kesulitan hidup. Dalam
kasus Sarinah misalnya, mereka rata-rata berpendidkan SLTP, bekerja serabutan.
Mereka cerminan masyarakat ekonomi kelas bawah. Keterbatasan pendidikan yang
dienyam, membuat mereka miskin nalar. Mereka dengan mudah termakan bujuk rayu,
terbius oleh seorang yang dianggap sebagai ustadz yang ahli agama. Selanjutnya
proses cuci otak menjadikan tekad mereka meraih surga mengkristal.
Tantangan
dunia pendidikan
Latar belakang di atas, menjadi
tantangan serius bagi pemerintah terlebih khusus dunia pendidikan kita. Dunia
pendidikan selayaknya menekan angka putus sekolah. Pemerintah harus
merencanakan lebih cepat meningkatkan wajib belajar menjadi 12 tahun. Berdasarkan
data yang disampaikan oleh Deputi Sumber
Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani dalam Seminar Daya Tawar
Pemuda dalam Dunia Kerja, Rabu lali (20/1), rata-rata tingkat pendidikan
penduduk Indonesia masih berada di kisaran yang sangat rendah, yaitu baru
tingkat pertama SMP. Ukuran pendidikan pada tingkat populasi dengan ukuran
rata-rata lama sekolah usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,2 tahun. Jadi,
artinya penduduk Indonesia baru kelas 1 SMP. Ini yang mustinya segera disikapi
oleh dunia pendidikan kita.(http://edukasi.kompas.com/)
Selain
itu, dunia pendidikan juga hendaknya mewaspadai masuknya pemahaman radikalisme
di sekolah. Kehati-hatian ini tak berlebihan. Sudah terbukti pedidikan kita
telah kecolongan. Masih segar dalam
ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud mengaku kecolongan dengan masuknya materi beraroma
radikalisme pada buku pegangan siswa
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dan Budi Pekerti SLTA di beberapa daerah Jawa Timur. Buku untuk SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum
2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim, penelaah
Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang
Kemdndikbud itu akhirnya ditarik dari peredaran.
Paling mutakhir, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan
buku-buku untuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
yang mengandung kalimat-kalimat berisi bentuk-bentuk terorisme dan radikalisme.
Dalam buku berjudul Anak Islam Suka
Membaca, ditemukan pemggalan kata dalam kalimat bermuatan ajaran
radikalisme. Seperti pada jilid lima, ada kata-kata "sa-hid di me-dan
ji-had" serta "se-le-sai ra-ih ban-tai ki-yai". Pada jilid
empat, ada kata-kata, "mu-na-fik", "bom", dan "ha-ti
ha-ti man-haj ba-til". Pada jilid ketiga ada kalimat "ge-ga-na a-da
di-ma-na", "re-la ma-ti de-mi a-ga-ma", "ki-ta se-mu-a
be-la a-ga-ma", "ba-zo-ka di-ba-wa la-ri", dan "ha-ti ha-ti
zo-na ba-ha-ya". (http://news.okezone.com/)
Ini harus diwaspadai bersama. Ke
depan sekolah harus bisa mengantisipasi masuknya radikalisme lebih dini. Untuk
itu menurut hemat saya, sekolah harus lebih selektif menentukan buku bacaan
peserta didik, melakukan sosialisasi bahaya radikalisme, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat
kegiatan ke-Islaman, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis
(Rohani Islam), mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural, dan
menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya paham radikalisme dengan
bekerja sama Kepolisian, MUI, dan wali siswa.
Akhir kata, redikalisme jelas bukan
untuk memperjuangkan agama. Radikalisme hanya memperlat agama. Radikaliseme
sebatas idiologi kekerasan bertopeng agama. Tidak ada agama yang mengajarkan
cara-cara kekerasan seperti diajarkan radikalisme. Dan salah satu sebab tumbuh
kembangnya radikalisme adalah rendahnya pendidikan sebagian masyarakat sehingga
mereka menjadi miskin nalar. Dan pada akhirnya mudah terpengaruh terhadap ajakan bergabung pada ajaran radikal.
Dan itu semua menjadi tantangan nyata dunia pendidikan kita. Wa Allhu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar