Mengawali tulisan, saya akan menceritakan
satu riwayat. Dalam sebuah kesempatan di sore Ramadhan, Rasulullah SAW
mengelilingi kota Madinah. Beliau berjalan di perkampungan pinggir kota.
Rasulullah ingin memantau, melihat secara langsung kehidupan masyarakat yang
dipimpinya.
Sampailah Rasulullah SAW di depan
sebuah rumah. Rasulullah SAW memperhatikan seorang wanita dari jauh. Wanita,
penghuni rumah tersebut terlihat sedang marah besar. Dia memaki, mengumpat
seseorang. Penasaran, Rasulullah SAW pun mendekat. Diamati sang wanita itu
lebih sekama lagi.
Ternyata, wanita itu sedang mencaci
maki pembantunya. Rasulullah SAW terkejut melihatnya. Rasulullah SAW berbalik
badan, kembali ke rumahnya. Sampai rumah, Rasulullah langsung mengambil apa
yang dibutuhkannya. Beliau pun kembali menuju kediaman wanita yang sedang
melampiaskan amarahnya tersebut.
Wahai ibu, ini saya bawakan makanan.
Makanlah! Rasulullah SAW menyapa. Wanita itu kaget. Selama ini ia tak memperhatikan
kehadiran sang Rasul. Saya berpuasa, jawabnya. Benar Anda berpuasa? Ya, wahai utusan Allah. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, betapa sedikit orang yang berpuasa hari ini. Sungguh banyak sekali
orang yang hanya merasakan lapar dan dahaga.
Hadist di atas, menjelaskan bahwa
berpuasa itu tidak cukup hanya menahan lapar dan dahaga. Puasa tidak berarti
tidak boleh makan di siang hari. Tapi, makanlah sebanyak dan sepuasnya pada
malam hari. Sekali lagi, tidak demikian. Itu pemahaman keliru. Kemudian
bagaimana puasa yang benar itu?
Dalam Al Quran, kata puasa dengan
berbagai derivasinya disebut sebanyak 13 kali. Tapi kata shaum hanya disebut
satu kali. Shaum berbeda dengan shiam. Shiam merujuk pada pada pemahaman puasa
yang lazim dipahami khalayak. Shiam adalah puasa seperti yang kita lakukan.
Sedangkan shaum lebih dekat pada pemahman tarekat atau hakekat puasa.
Jalaluddin Rakhmat (2001)
mengatakan satu-satunya kata shaum dalam
Al quran berkaitan dengan kisah Maryam, ibunda nabi Isa as. Allah SWT
berfirman, “Maka makan, minum dan
tenangkan hatimu. Jika kamu berjumpa dengan manusia, katakan saja: “Aku
berjanji kepada Tuhan Yang Maha
Kasih untuk mrlakukan shaum. Aku tidak
akan berbicara kepada seorang manusia pun
pada hari ini” (Q.S. Maryam:26)
Makna shaum dalam ayat di atas
menjelaskan, ada cara puasa yang lain selain menahan lapar dan dahaga. Berikut
cara puasa tersebut. Pertama, puasa
berbicara sesperti kisah ibunda nabi Isa, Maryam. Maryam diperintahkan Allah
SWT berpuasa untuk tidak berbicara. Maryam berdiam diri ketika ditanya prihal
bayi yang dilahirkannya. Sehingga sang bayi yang menjawab berbagai tuduhan dan
fitnah tersebut.
Puasa berbicara adalah menahan lidah
untuk tidak berdusta, menggunjing, menghina orang lain, mencaci maki, menghujat, mengeluarkan kata
kotor dan lainnya. Dalam berpuasa bicara kita hanya diperbolehkan mengatakan
yang benar, seperlunya dan yang bermanfaat. Puasa bicara berarti banyak
mendengar. Dalam ungkapan, diam itu emas. Sebab, diam itu berarti banyak mendengar. Dan itu menjadi
manfaat terbesar puasa bicara. Dengan mendengar, berbagai informasi bisa diterima.
Diam melahirkan kejernihan berpikir sehingga selamat dari kesesatan.
Manfaat lainya ialah terselamatkanya
orang lain dari gangguan lisan kita. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW
bersabda, orang Islam adalah orang yang orang lain terselamatkan dari gangguan
lidah dan tangannya. Banyak diam memperkecil kemungkinan mengganggu yang lain
dengan lidah kita.
Kedua,
puasa mendengarkan. Maksudnya mendengarkan hal yang dilarang oleh agama
seperti fitnah, hasud, gosip, isu, gunjingan dan lainnya. Selama berpuasa
telinga kudu dijaga. Dengarkan apa yang bermanfaat. Tutup telinga pada hal yang
tak bermanfaat apalagi mendatangkan mudharat. Saat berpuasa, pendengaran
diminta selektif memilih pembicaraan.
Dalam kajian Psikologi, terlalu banyak mendengar akan
mengakibatkan oveload pada chanel.
Bila otak harus mengolah informasi yang berlebihan, ia akan mengalami gangguan
mental. Sistem pengelolaan informasi seorang
akan kolaps. Dia akan kelelahan baik secara fisik maupun mental. Dia tak
sanggup memberi makna berbagai peristiwa. Orang tersebut akan tersiksa.
Karena tekanan memberi makna,
seseorang menjadi muda tersinggung, pemarah, agresif. Sebab itu, di era modern
seperti sekarang penyembuhan stres dapat dilakukan dengan menghindari televisi, radio, atau media lainnya.
Puasa mendengarkan akan mengantarkan
pada ketenangan hati dan kesejukan jiwa. Maka dengarkan saja ayat-ayat Quran,
sabda nabi Muhamad SAW, nasehat ulama atau pembicaraan orang baik. Dalam Al
Quran Allah SWT berfirman, “Gembiralah
hamba-hamba-Ku yang mendengarkan pembicaraan (yang bagus) dan hanya mengikuti
yang paling bagusnya saja. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk
Allah dan mereka itulah orang-orang bijak. (Q.S Al Zumar:17-18)
Ketiga,
puasa melihat. Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk menundukan
pandangan dan menjaga kehormatan.(QS. Al Nuur:30). Dan Nabi Muhammad SAW telah
bersabda, barang siapa yang memelihara pandangannya, ia akan merasakan lezatya
keimanan dalam hati.
Puasa meihat tidak sekadar melihat hal
yang tak boleh dilihat, tapi tidak melihat hal-hal yang tak perlu. Lebih jauh
mengurangi melihat apa saja yang sebenarnya boleh dilihat. Tidak ada salahnya
melihat-lihat pusat perbelanjaan seperti mall atau lainnya. Tapi ingat, terlalu
banyak melihat akan menimbulkan keinginan-keinginan yang tidak semua dapat
terpenuhi.
Para
psikolog mengukur kekecewaan dengan cara membandinghkan antara want dan get yaitu antara keinginan
dengan yang diperoleh. Bila keinginan lebih banyak dari yang diperoleh, hal
tersebut akan mendatangkan kekecewaan. Makin banyak keinginan, makin tinggi
kemungkinan mengalami stres dan frustasi. Sebagian besar sumber keinginan
adalah berasal dari apa yang dilihat. Sungguh, jika di bulan Ramadhan ini lebih
sering menundukkan dan menjaga pandangan dan penglihatan kita akan memperoleh
kebahagian, ketenangan bathin dalam beribadah.
Sekarang
harus disadari, puasa itu ibadah multi
dimensi. Kaya makna dan arti. Puasa tak cukup sekadar menahan lapar dan dahaga
di siang hari. Menurut Syeikh Al Agazali, puasa seperti itu adalah puasa
terendah derazatnya. Yaitu puasanya orang awam. Puasa yang paling kecil
nilainya.
Maka
tak ada alasan bagi kita untuk tidak mengevaluasi dan memperbaiki puasa yang
dilakukan. Masih banyak kesempatan. Di awal Ramadhan seperti sekarang
sepantasnya membulatkan tekad untuk berpuasa lebih baik dari tahun-tahun
sebelumnya. Bila itu dilakukan, anda akan bisa menjawab pertanyaan judul
tulisan di atas dengan yakin dan mantap. Semoga. Wa Allahu Alam