Secara umum, puasa didefinisikan oleh
ulama Fiqhi sebagai menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa dari
terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Kewajiban puasa berdasarkan firman
Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S Al Baqarah:183)
Tujuan akhir puasa seperti tersurat
dalam ayat di atas adalah membentuk manusia yang bertakwa. Takwa menjadi tujuan utama dalam
berpuasa. Tujuan puasa tersebut
merupakan bagian dari tujuan
pendidikan nasional. Dalam pendidikan nasional, takwa menjadi salah satu tujuan
yang ingin dibentuk dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Menurut berbagai literatur Islam,
takwa diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh
dalam melaksanakan, menaati semua
perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Manusia bertakwa adalah
contoh manusia sempurna, insan kamil.
Dalam kajian filsafat pendidikan, insan
kamil atau manusia sempurna
merupakan tujuan akhir pendidikan. Sebab, pendidikan senyatanya adalah upaya
atau proses memanusiakan manusia.
Selama satu bulan, kita umat Islam
mengikuti pendidikan dan latihan berdasarkan kurikulum dari Allah SWT melalui
ibadah puasa. Karena itu, bulan puasa disebut juga sebagai madrasah ruhaniyah yaitu sekolah pengembangan spritual. Dalam
berpuasa, Allah SWT mendidik, melatih kita semua agar menjadi manusia bertakwa.
Menurut Imam al Gazali, puasa itu
terdiri dari tiga tingkatan atau kelas. Tingkatan atau kelas tersebut akan
menentukan hasil berpuasa setiap dari kita. Kelas terendah disebut shaumul awam, puasanya masyarakat umum
(orang awam). Mereka hanya menahan lapar dan dahaga. Mereka hanya tidak makan
dan tidak minum pada siang hari. Mereka menggantinya makan sepuas-puasnya di
malam hari. Orang awam hanya memindahkan jam makan-minum.
Kelas menengah disebut oleh al Gazali
sebagai shaumul khoash, puasanya
orang pilihan. Mereka tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tidak makan dan
tidak minum selama siang hari. Selain itu, mereka berusaha meninggalkan segala
perbuatan dosa. Tangan, kaki, mulut, mata, telinga serta seluruh anggota tubuh
diupayakan tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Ini merupakan
arti imsak,
menahan diri dalam ibadah puasa.
Kelas tinggi dalam istilah al Gazali
disebut shaumul khoashul khoash,
puasanya orang super pilihan. Mereka tidak saja menahan lapar dan dahaga. Tidak
sebatas menahan anggota tubuh untuk tidak bermaksiat. Lebih dari itu, mereka
menjaga hati, perasaan, pikiran dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Mereka menjaga hati dari hasud, iri, prasangka buruk, riya’, dengki dan penyakit
hati lainnya.
Nilai
Edukatif
Dalam
kewajiban puasa terkandung banyak nilai. Diantaranya adalah nilai edukatif.
Yakni nilai-nilai yang ada dalan kewajiban berpuasa yang bersifat
mendidik. Nilai-nilai itu, pertama, kedisiplinan. Puasa melatih
hidup disiplin. Penerapan disiplin dalam puasa tercermin dalam pengaturan pola
makan selama berpuasa. Puasa mengajarkan ketepatan dan keteraturan waktu. Baik imsak maupun takjil memiliki pelajaran penting bila diamati dan dihayati lebih
jauh. Imsak artinya saat mulai menahan diri dari makan dan minum. Kita tak
boleh melanggar sedikit pun. Bila dilanggar puasa akan batal. Saat imsak tiba
makan minum harus berhenti. Demikian juga takjil. Takjil adalah menyegerakan
berbuka saat datang waktu maghrib.
Baik
imsak ataupun takjil melatih orang tepat waktu. Waktu merupakan sesuatu yang penting
dalam hidup seseorang. Waktu seyogyanya mendapat perhatian khusus. Menjadi
aneh, jika dalam Ramadhan hidup kita tidak teratur. Tidur larut malam. Bangun
menjadi kesiangan. Bahkan sebagian dari kita menghabiskan siang hari untuk tidur saja. Juga malas bekerja.
Kedua, kejujuran. Dalam berpuasa, kejujuran
seorang muslim diuji. Ia dapat mengaku
berpuasa kepada siapa saja walau sesungguhnya tidak berpuasa. Karena hanya Allah
SWT yang mengetahui apakah berpuasa atau tidak. Kapan pun, dimana pun seorang
bisa berdusta terkait puasanya. Hal ini
menjadi latihan kejujuran yang nyata. Dalam kehidupan sosial masyarakat Islam,
kejujuran tentang hal itu akan teruji sepanjang bulan
Ramadhan.
Ketiga, merangsang rasa simpati dan empati. Smpati merupakan proses ketika seorang merasa tertarik kepada
orang lain. Merasakan apa yang dirasakan, dialami, diderita oleh orang
tersebut. Sedangkan empati adalah respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres
emosional orang lain. Empati
termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa
simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Berpuasa
dengan menahan lapar dan dahaga sepanjang hari selama satu bulan melatih
pribadi muslim untuk senantiasa peduli dengan penderitaan sesama manusia. Puasa
menghadirkan kepedulian sosial. Puasa mengasa ketajaman jiwa sosial seseorang.
Dengan puasa diharapkan jiwa sosial kita lebih tajam. Sehingga kita menjadi
lebih responsif terhadap apa yang menimpa orang lain.
Keempat, hidup sederhana. Berpuasa makan hanya
dua kali yaitu ketika sahur dan berbuka. Berbeda dengan hari biasanya, berpuasa
mendidik hidup lebih hemat dan
sederhana. Berpuasa itu sejatinya bukan memindahkan waktu makan dari siang ke
malam hari. Harusnya, selama berpuasa
pengeluaran kebutuhan sehari-hari lebih sedikit.
Tapi,
faktanya bulan puasa adalah bulan termahal dalam hitungan keuangan keluarga
masyarakat Indonesia. Ini tak selaras dengan semangat latihan hidup hemat
nan sederhana dalam kewajiban berpuasa.
Biaya hidup di bulan suci ini lebih besar. Kenapa? Karena ternyata dalam
berpuasa konsumsi kita dalam segala hal justru meningkat. Tak heran, harga
sembako juga lainnya mengalami kenaikan tajam sebab tingginya permintaan.
Kelima, mendidik
sabar. Betapapun rasa haus mencekik tenggorokkan dan lapar melilit perut,
ketika waktu magrib belum tiba, kita tidak diperbolehkan bersentuhan
dengan makan dan minuman. Meskipun itu halal, kita harus bersabar menunggu hingga
waktu berbuka tiba...Satu bulan berpuasa seperti itu kudu membekas dalam diri kita.
Sehingga setelah berpuasa kesabaran diri jadi meningkat.
Akhir
kata, puasa sebagai ibadah ritual tahunan sungguh kaya makna, nilai dan arti.
Dari berpuasa dapat digali nilai-nilai pendidikan. Berpuasa diharapkan
meningkatkan disiplin, membentuk pribadi jujur, hidup sederhana, jiwa sosial
yang kuat, pribadi sabar, serta membangun kepedulian sosial yang tinggi.
Nilai-nilai tersebut bila tertanam kuat akan melahirkan manusia yang bertakwa.
Puasa akhirnya lebih bermakna. Tidak sebatas merasa lapar serta dahaga saja. Wa Allahu Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar