Hari ini 1 Mei diperingati sebagai
hari buruh dunia, sebutan lainya May Day.
Yaitu sebuah hari libur di beberapa negara, termasuk Indonesia biasa
diperingati oleh para buruh untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka
kepada pemerintah dan pengusaha. Untuk di Indonesia beberapa persoalan yang
sering dijadikan isu aksi seperti kenaikan UMR (upah minimum regional),
penghapusan sitem kerja kontrak (outsourching)., pesangon dan persoalan lainnya. Untuk tahun ini nampaknya
asksi buruh juga masih berkisar pada isu-isu tersebut. Yaitu tuntutan akan
berfokus pada upah layak nasional, pemberantasan korupsi yang dinilai masih
sangat lamban dan revisi
Peraturan Kementerian nomor 19/2013 tentang outsourching. (http://kabar24.bisnis.com/read/20150427/15/427105/may-day-2015-ini-tuntutan-buruh-tahun-ini)
Pemerintah sendiri mengapresiasi hari
buruh dari tahun ke tahun dengan baik. Kritik, saran, serta masukan para buruh
menjadi acuhan pengambilan kebijakan pemerintah berkaitan permasalahan buruh.
Untuk tahun ini, presiden Jokowi menganggap hari buruh sebagai perayaan kaum
buruh yang tak perlu menjadi momok apalagi ditakuti oleh pemerintah baik di
pusat maupun di daerah.
Yang menggelitik di pikiran saya
tentang hari buruh besok, siapa sebenarnya buruh itu? Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga
kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia
yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa
pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha
atau majikan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh) Dari pengertian di atas paling
tidak dapat ditarik beberapa garis besar pertama,
orang yang dipekerjakan. Kedua, yang
mempekerjakan seperti para pengusaha atau selainya. Ketiga, upah atau balasan dari pemberi pekerjaan atas kerjaan yang dikerjakan para
pekerja. Hanya saja buruh ini lebih berkonotasi pada karyawan atau para pekerja
rendahan yang hanya mengandalkan tenaga dan otot dalam bekerja atau yang sering
disebut buruh kasar. Sedang kaum profesional kerap kali keluar dari lingkaran
buruh. Kaum profesional adalah para pekerja yang menggunakan tenaga otak dalam
bekerja.
Buruh
dan Guru
Di antara kaum prosfesional adalah guru. Pertanyaanya apakah guru bagian
dari buruh? Tanpa maksud merendahkan dan mereduksi kedudukan guru bila ditarik
pada ketiga kesimpulan di atas mengenai buruh maka menurut hemat saya guru juga
termasuk buruh. Sayangnya dalam setiap hari buruh mereka tidak melibatkan diri
atau memang tidak dilibatkan sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
para guru tidak tersentuh dalam aksi hari buruh. Entah, apa mungkin karena
mereka memiliki moment tersendiiri yaitu hari guru setiap tanggal 25 September.
Berbicara kehidupan guru tidak
sedikit yang kondisi dan keadaanya hampir sama dengan para buruh bahkan mungkin
lebih memprihatinkan terutama mereka yang masih honor. Untuk guru yang
berstatus PNS tentu berbeda. Mereka sudah hidup berkecukupan apalagi yang sudah
bersertifikasi. Mereka bisa dibilang sudah mapan. Tapi bagi honorer? Bisa
dibayangkan honor mereka jauh dari UMR daerah manapun. Masih banyak dari mereka
yang honornya di bawah lima ratus ribu. Uang segitu tentu jauh dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup di daerah manapun. Honor lima ratus ribu bila dihitung
berapa perharinya? Tidak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Sungguh jauh dari
kata cukup. Sungguh memprihatinkan, dan tak manusiawi. Padahal bila dilihat
dari peran dan fungsi mereka dalam pembangunan bangsa terutama dalam menyiapkan
generasi muda sangat luar biasa. Nampaknya cerita dalam lagu Umar Bakri masih
sangat relevan sekali. Para guru honorer harus cukup puas dengan gelar pahlawan
tanpa tanda jasa.
Setiap momentum hari buruh, yang
senantiasa dituntut adalah kenaikan UMR. Mereka kerapkali mengancam mogok
kerja. Bagi pengusaha dan pemerintah sering kali tak punya pilihan, disamping
karena tuntutan mereka juga logis. Kebutuhan hidup meningkat seiring dengan
kenaikan harga segala kebutuhan. Bukankah hal itu harus diimbangi dengan peningkatan
pendapatan?
Bagi buruh diberlakukan UMR bagaimana
dengan guru? Guru (baca non PNS) tidak menggunakan dan tidak mengacuh pada UMR.
Mereka dibayar sesuai dengan kemampuan sekolah. Satu sekolah berbedah dengan
sekolah yang lain. Dan satu lagi yang membedakan mereka dengan buruh, guru tak
pernah mengancam mogok kerja. Padahal kalau mereka mogok kerja sekolah-sekolah
bisa lumpuh. Dan tentu siswa atau anak didik yang menjadi korban. Alasan itu
yang menahan para guru untuk tidak
melakukannya.
Yang juga berbedah, guru kerapkali
diimingi-imingi bisa diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Ini secercah
harapan yang barang kali tak dimiliki oleh kaum buruh. Tapi janji-janji
pemerintah tentang hal itu pada pelaksanaanya meminta kesabaran lebih. Tidak
semudah yang dibayangkan perubahan status ke PNS itu. Jalan panjang serta
berliku harus sabar mereka lalui. Bila tidak, kesempatan akan berlalu. Belum
lagi adanya praktek-praktek kotor dan permaianan curang sepanjang proses
perubahan nasib itu. Kesusksesan (menjadi PNS) bergantung pada ketebalan uang
yang bersangkutan. Wah,,,lebih ngerih lagi. Juga prihatin. Mimpi semakin jauh
dari kenyataan bagi mereka yang bermodal pas-pasan. Ditambah lagi persaingan sangat ketat sesama mereka. Semakin banyak orang tak sabar,
untuk tak frustasi.
Mencernah poin-poin pemikiran di
atas, selayaknya para buruh selalu bersyukur atas apa yang mereka terima. Tentu
hal ini tidak berarti mereka pasrah nerimo
saja. Sekali lagi tidak. Berjuang harus, dan terus untuk perubahan yang lebih
baik lagi. Paling tidak keadaan mereka
lebih baik bila dibandingkan dengan komponen anak bangsa lainnya semisal guru
honorer, atau tenaga honorer lainnya.
Besok, 2
Mei adalah hari pendidikan nasional. Pemerintah semestinya harus lebih konsen
dan serius berpihak kepada guru. Bukankah guru adalah pilar utama dan pertama
dalam pendidikan? Bukankah di tangan mereka SDM Indonesia ditentukan? Dalam
sambutan tertulis (saya download dari goegle) menteri pendidikan dan kebudayaan
mengingatkan,
mari
kita jawab, tahukah kita berapa jumlah sekolah, jumlah guru, jumlah siswa,jumlah
perguruan tinggi di daerah kita? Tahukah kita berapa banyak anak-anak di wilayah
kita yang terpaksa putus sekolah? Tahukah
kita tentang kondisi guru-guru di sekolah yang mengajar anak-anak kita?
Tahukah kita tentang tantangan yang dihadapi oleh kepala sekolah dan guru untuk
memajukan sekolahnya? Walaupun sang menteri tak menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut (bisa jadi karena keterbatasan ruang dan waktu) paling tidak
pemerintah masih ingat akan nasib dan keadaan para guru. Dan kita tunggu kerja,
kerja, dan kerja (bukankah nama
kabinetnya, kabinet kerja) dari pemerintah
agar perubahan nasib para guru dan pendidikan secara umum cepat dirasakan oleh
rakyat. Dan akhirnya saya ucapkan
SELAMAT HARI BURU DAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian RADAR Cirebon, Sabtu 2 Mei 2015/13 Rajab 1436 H)