Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
UN sekarang tidak lagi menjadi penentu satu-satunya kelulusan siswa. UN hanya
menjadi bagian penting kelulusan bersama faktor lainnya. Kelulusan akan
ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tapi kenapa masih ada juga kebocoran
soal? Diberitakan ada kebocoran soal saat pelaksanaan UN tingkat SLTA-MA.
Kebocoran soal di duga terjadi di dua propinsi Aceh dan Yogyakarta. Ada sekitar
30 paket soal yang terbocorkan kunci jawabanya. Diduga pihak percetakan yang
membocorkanya. Kasus ini pun sudah di tangan kepolisian.( http://news.okezone.com/read/2015/04/17/65/1135727/ujian-nasional-di-aceh-yogyakarta-berpotensi-diulang )
Orang itu akan melanggar hukum,
etika, adat istiadat, bahkan agama biasanya saat terdesak atau saat ada
kepentingan yang berkaitan dengan dirinya. Kalau dulu ada banyak kecurangan
yang dilakukan siswa, pihak sekolah, sampai pemda agak lumrah (walau tetap
salah) karena bisa jadi karena terdesak takut tidak lulus, takut nama baik
sekolahnya tercoreng, gengsi bila daerahnya angka kelulusanya rendah. Nah,
kalau sekarang dorongan itu sudah tidak. Lantas apa motifnya?
Untuk menemukan motif dibalik
kebocoran soal, mari kita mengkaji motivasi siswa-siswa kita dalam belajar.
Motivasi menurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar
Hamalik (2003:158) adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai
dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sedang motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin
kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasi-belajar/) Nah, sekarang bagaimana dengan
motivasi belajar siswa-siswa kita? Secara umum motivasi siswa-siswi kita
berorentasi pada nilai (value oriented). Nilia
menjadi target bahkan tujuan dalam belajar. Motivasi itu menguat dalam
diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai
keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru-guru atau sekolah-sekolah kita juga
dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran berotrientasi pada nilai
juga. Demikian pula orang tua kita, hal pertama yang ditanyakan pada
anak-anaknya adalah nilai. Nilai menjadi target mereka yang terpenting. Ranking
menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anaknya. Saat dalam buku
rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuat ranking.
Untuk tujuan itu orang tua siap mengeluarkan uang untuk biaya les atau
paket-paket kursus anaknya. Walhasil nilai menjadi tujuan belajar anak-anak
kita sekarang. Motivasi dan tujuan belajar seperti diatas hanya menghasilkan
siswa yang materealis yang megukur segala dengan angka, menciptakan generasi yang hanya pandai tapi tak bisa
berbuat apa-apa, genius tapi tak mampu menyelesaikan masalah.
Menurut
Munif Chatib, penulis buku sekolahnya
manusia siswa itu dalam belajar,
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, orang tua dalam membekali pendidikan
anak-anaknya seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan
hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi
3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Saya menambahkan satu lagi bahwa pembelajaran
harus bercorak penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini
penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg) dan skil atau
ketrampilan. Tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kementerian
Pendidikan Nasional (2011) menyebutkan 18 karakter dalam pendidikan karakter. Salah
satu karakter itu adalah kejujuran. Menanamkan kejujuran memang lumayan sulit.
Pengalaman saya menjadi guru, susah sekali anak-anak untuk jujur terutama saat
mereka mengerjakan soal atau tugas dalam KBM. Mereka terbiasa melihat buku,
mencontoh pekerjaan teman. Saya seringkali memberikan motivasi untuk tujuan
itu. Saya sering mengatakan bahwa percuma nilai tinggi bila diperoleh dengan
mencontek. Lebih baik nilai jeblok asal jujur, mengerjakan sendiri. Kesulitan penaman
kejujuran tersebut menurut pengamatan saya karena value
oriented (orientasi hanya ke nilai
semata) sudah tertanam kuat pada diri anak. Sehingga anak mengejar nilai dengan
cara apapun termasuk dengan menipu diri sendiri, mengabaikan kejujuran.
Untuk itu, kedepan tidak ada cara lain dalam
menanamkan karakter anak kita selain
terlebih dulu mencabut paradigma yang sudah mengakar itu. Oreintasi kepada
nilai harus dihilangkan dari dunuia pendidikan kita. Bila perlu penilaian
dengan angka normatif ditiadakan. Ke depan kita barangkali hanya cukup memberi
nilai dengan kualitas seperti Baik, Sedang, Kurang tanpa menyebut berapa kuantitatifnya.
UN, Uji Nyali
Tanggal
4-6 Mei mendatang giliran SMP-MTs yang akan di-UN-kan. Ini tantangan buat kita
semua baik lembaga sekolah, orang tua, pemerintah terutama siswa. Ini mirip
seperti uji nyali. Mampukah kita jujur? Toh, seperti disebutkan sebelumnya UN
tidak berpengaruh besar seperti sebelumnya. UN hanya untuk 1) pemetaan mutu
program dan/atau satuan pendidikan 2) dasar
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Tidak lebih dari itu. Tidak seram lagi seperti dulu. Dan saya yakin
tidak menghantui anak-anak kita lagi. Bagaimana sanggup menerima tanntangan
ini?
Semestinya
kita semua sanggup dan saya yakin bisa. Apalagi sebagai bangsa kita dikenal sebagai bangsa
yang memiliki karakter tinggi dan kuat. Itu sudah ditampilkan oleh pendahulu kita
ke pentas dunia. Kita harus belajar dari bung Karno, bung Hatta dan masih
banyak tokoh besar yang kita miliki. Mereka memiliki karakter kuat sehingga
mampu berperan membawa nama baik bangsa di kanca internasional.
Melakukan
perubahan memang tidak mudah, membutuhkan usaha keras dan kerja nyata serta
komitmen tinggi. Revolusi mental yang digagas pak Jokowi (2014) mungkin harus
dimulai dari sini, dari kejujuran pelaksanaan UN, atau lebih luas dari dunia
pendidikan kita. Dalam tulisan yang monumental, dimuat di Kompas 10 Mei 2014,
Jokowi prihatin dengan kondisi bangsa kita pasca reformasi yang belum mampu mereformasi
mentalitas dan karakter kita semua. Mental dan karakter bangsa kita tidak
membaik bahkan cenderung memburuk. Jokowi menyebut 8 hal, dimana mentalitas
bangsa kita merosot. Apa saja? Jokowi menyebut
korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri,
ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan
masalah, pelecehan hukum, dan sifat
oportunis. Delapan
tersebut menurut pengamatan saya bersumber pada rendahnya karakter bangsa kita.
Rendahnya karakter bisa diperbaiki melalui pendididikan. Disini relevansinya.
Nah, bagaimana? Siapkah nyali kita diuji di ujian nasional nanti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar