Kalau
dulu yang ditakuti oleh banyak negara dan bangsa adalah komunis, sekarang tidak
lagi. Komunis seperti macan kertas, karena sudah tak laku lagi. Sekarang yang
menjadi ancaman baru bagi stabilitas di setiap negara adalah radikalisme. Radikal
dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti secara menyeluruh, habis-habisan, amat
keras menuntut perubahan, amat jauh dalam berpikir dan bertindak. Radikalisme
adalah pemahaman yang ektrim (baca:keras dan dangkal) terhadap sesuatu yang
dibarengi dengan tindak kekerasan secara membabibuta dalam mewujudkan dan
memperjuangkan apa yang dipahami dan diyakini. Radikalisme ada di ranah
politik, agama, idielogi juga lainnya. Radikalisme dalam politik di sebuah
negara dulu disebut ektrimis (bisa ekstrim kiri kalau dari kalangan nasionalis
atau ektrim kanan dari kalangan agama) termasuk Komunis (baca:PKI untuk di
Indonesia). Sekarang radkalisme telah diidentikan dengan Islam. Maka munculah
istilah Islam radikal atau radikalisme dalam Islam
Sekilas sejarah radikalisme dalam
Islam
Melihat
dari sisi istilah secara ilmiah radikalisme awalnya tidak berkonotasi negatif.
Radikalisme itu pemahaman dan upaya yang mendalam dan menyeluruh untuk memahami
dan memperoleh secara total (all out). Kata lain upaya yang total dan mendalam
dalam melakukan sebuah perubahan. Radikalisme dalam Islam berubah arti dan
berkonotasi negatif sejak peristiwa serangan 11 September 2001. Sejak saat itu
istilah redakalisme, fundamentalisme, dan terorisme maknanya menjadi bercampur
aduk, dan diartikan sebagai upaya umat Islam melakukan perubahan secara kasar
dan arogan dengan tindakan-tindakan brutal. Pemaknaan semacam ini dikuatkan
dengan prilaku sebagian kaum muslimin termasuk di Indonesia yang berbuat
anarkis atas nama agama dalam hal ini Islam. Misalnya saat ingin membrantas
kemaksiatan semisal perjudian, pelacuran atau lainnya beberapa ormas Islam
melakukannya dengan penuh anarki tanpa mengedepankan dialog, atau teguran halus
dan mengabaikan proses hukum. Tak ayal banyak tempat-tempat maksiat bahkan
kantor dan instansi pemerintah yang menjadi sasaran pengrusakan karena dianggap
melindungi kemaksiatan. Sampai pengrusakan masjid tak terelakan karena
perbedaan pemahaman antara golongan sesama Islam. Masih teringat jelas di benak
kita beberapa masjid ahmadiyah di berbagai kota dihajar habis massa yang
notaben sesama Islam. Jadilah radikalisme berarti negatif, galak, sangar,
kejam, menakutkan setiap orang yang
mendengarnya.
Gerakan
radikal seperti di atas sebenarnya bukan hal baru dalam Islam. Coba tarik
ingatan kita ke sejarah permulaan Islam. Sejak awal gerakan semacam itu sudah
ada. Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita seluruh khalifah Rasyidin
(keecuali Abu Bakar) meninggal terbunuh. Dan pembunuhan pada mereka dilakukan
oleh kelompok radikal dalam tubuh Islam sendiri.
Khalifah Umar Ibnu Khattab dibunuh
oleh seorang bernama Abu Lu’ lu’ah, seorang hamba sahaya asal Persia. Sejarah
menyebutkan bahwa pembunuhan itu berlatar belakang dendam yang bersangkutan
terhadap sang khalifah.
Sedang khalifah Ustman Ibnu Affan meninggal akibat
terbunuh dari kelompok pemberontak yang mengepung rumahnya selama 40 hari. Hal
ini disebabkan oleh adanya kebencian dari kelompok pemeberontak terhadap
sahabat Utsman Ibnu Affan yang mengganti beberapa pejabat (gubernurt/bupati)
yang dianggap kurang cakap, kurang adil dan kurang jujur yang berasal dari
keluarga dekat . Orang orang yang diganti oleh sahabat Utsman ibnu affan
tersebut menganggap pengangkatan teresebut beraroma KKN. Mereka tidak legowo
menghadapi pergantian tersebut, akhirnya bersengkongkol untuk merobohkan
kekuasaan Utsman ibnu Affan dengan cara membunuh. Ustman bin affan terbunuh di dalam rumuanya
sendiri.
Dan Ali Bin Abi Thalib ra adalah sahabat sekaligus
menantu kesayangan Rasulullah SAW. Kedudukannya sangat dekat dengan beliau,
nabi pernah memberi perumpamaan seperti kedekatan Harun dengan Musa
alaihimasalam. Dalam satu riwayat hadist nabi SAW menyebutnya sebagai pintu
ilmunya karena keluasan dan penguasaannya pada Islam. Meskipun demikian,
sahabat Ali Bin Abu Thalib ra wafat terbunuh ditangan seorang ulama besar
bernama Abdurrahman ibnu mulzam. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa
Abdurrahaman Ibnu Mulzam adalah seorang ulama yang rajin sholat tahajut (sholat
malam), selalu puasa sunah senin-kamis, bahkan seorang hafal alqur’an (hafidz).
Abdurrahaman ibnu mulzam berhasil membunuh Ali Ibnu Abu Tholib ra pada tanggal 17
ramadhan pada saat menunaikan sholat subuh, Abdurrahman Ibnu Mulzam berhasil
menebas pedang ke dahi Ali Ibnu Abnu Tholib ra. Pembunuhan itu terjadi, karena
Ali Ibnu Abu Tholib ra tidak melaksanakan kaidah Laa hukmu illa lillah (tidak
ada hukum selain hukum Allah/al-qur’an) Ali Ibnu Abu Tholib dianggap telah
melaksanakan hukum selain al-qur’an karena melakukan musyawarah dengan kelompok
lain (baca:Muawiya cs) dalam pemerintahannya, oleh sebab itu dianggap
kafir oleh Abdurrahman Ibnu Mulzam.
Abdurahman
Ibnu Mulzam adalah salah satu tokoh sentral kaum khawarij yang keluar dari barisan Ali Bin Abi
Thalib pada peristiwa tahkim dengan Muawiyah yang mereka anggap sebagai
kesalahan besar yang mengeluarkan Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya dari
Islam. Lebih ektrim khawarij pun menghalalkan darah orang-orang yang tak
sependapat dengan mereka. Pembunuhan dan tindak anarkisme mereka mencoreng
wajah Islam pada masa permulaan.
ISIS, neo Khawarij
Saat
ini radikalisme yang paling mengerihkan sedang dipraktekan oleh ISIS. ISIS
kepanjangan dari Islamic staate of Iraq and Syiriah pimpinan Abu Bakar
Albaghdadi yang secara sepihak
mengumumkan kekhalifaan Islam Juni 2014 di Bagdad Iraq. Dalam Ensklopedia Bebas, disebutkan kelompok
ini dalam bentuk aslinya terdiri dan didukung oleh berbagai kelompok
pemberontak Sunni, termasuk organisasi-organisasi pendahulunya seperti Dewan
Syuro Mujahidin dan Al Qaeda di Iraq (AQI), termasuk pembrontak Jaysh al
Fateen, Jund al Sahaba, Katibiyan Ansar al Tawhid wal Sunnah dan Jeish al Taifa
am Mansuroh dan sejumlah suku Irak yang mengaku Sunni. (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam)
Sejak itu sebagian wilayah Iraq dan Syiriah
dikuasai dan direbut oleh mereka dengan mengobarkan perang dengan siapapun yang
menghalangi. Perang saudara pun tak terelakan. Sesama muslim saling membunuh.
PBB melansir tak kurang 2.400 warga muslim Iraq dan Syiriah tewas, 30.000 warga
sipil harus mengungsi akibat pertempuran ini. Mereka telah menghalalkan segala
cara dalam meraih tujuannya seperti merampok di pusat-pusat perbelanjaan sampai
aset-aset pemerintah.
Praktek
radikalisme ISIS banyak memiliki kesamaan dengan Khawarij. Karenanya sebagian
ahli menyebut ISIS sebagai neo Khawarij. Mereka sama-sama
mengedepankan kekerasan, mengesampingkan dialog, meninggalkan tasamuh (saling
menghargai dan menghormati pendapat orang lain). Kekerasan mereka di luar batas
kemanusiaan seperti menyiksa tahanan kaum wanita dan anak-anak secara kejam.
Kekejaman dan kebengisan mereka sungguh melampaui akal sehat seperti pemenggalan
kepala. Mereka melakukannya tanpa ragu apalagi menyesal. Mereka sangat yakin
dengan kebenaran yang dilakukan.
Baik
ISIS maupun Khawarij gemar mengkafirkan yang lain yang tak sepaham dengan
mereka. Takfir yang mereka lakukan bersandar pada pemahaman agama yang sangat
sempit dan dangkal. Mereka memahami Alquran hanya sebatas teksnya saja, tidak
melihat lainnya. Misalnya dalam memahami ayat man lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun ditegaskan semua
yang tidak menggunakan hukum Allah maka mereka KAFIR. Dengan pemahaman ayat
seperti ini Ali Bin Abi Thalib ra dianggap kafir oleh Khawarij.
Lebih
jauh mereka telah salah kaprah memahami konsep jihad. Ayat-ayat jihad
seringkali ditafsirkan secara dangkal. Ayat-ayat yang seharusnya diterapkan
kepada kaum kafir justru diterapkan kepada saudara mereka sesama Islam. Tentu
setelah mereka mengkafirkan terlebih dahulu saudara-saudaranya tersebut. Karena
kafir maka darahnya menjadi halal, boleh dibunuh. Pemahaman yang salah ini tak
terlepas dari kedangkalan pemaham mereka terhadap ajaran Islam. Namun demikian
mereka beranggapan dan meyakini merekalah yang paling benar serta paling Islam
kemudian menganggap selainya salah dan
sesat.
Pemahaman
ala ISIS telah menyebar ke polosok dunia sekaligus menjadi ancaman di berbagai
negara termasuk di Indonesia. Perkembangan radikalisme ala ISIS di tanah air
bisa dilihat dengan semakin diminatinya kegiatan takfir (mengkafirkan yang
lain) antara sesama. Coba anda amati, di berbagai daerah pemasangan spanduk
propokatif, ajakan menyesatkan kelompok lain dipasang di tempat-tempat
strategis. Dan anehnya, pemerintah membiarkan begitu saja. Entah kenapa?
Padahal spanduk-spanduk itu bisa memicuh konflik horisontal. Contoh nyatanya
adalah insiden pada masjid Adzikroh Bogor beberapa waktu lalu. Padahal hampir
di setiap polsek, kepolisian telah memasang spanduk kewaspadaan dan penolakan
terhadap semua gerakan ISIS. Tapi kenapa
spanduk yang berlawanan dibiarkan terpasang?
Termasuk acara-acara
yang dikemas ilmiah seperti diskusi, seminar yang diselenggarakan kelompok
takfiri, ternyata hanya berupa pelaknatan, penyesatan, pengkafiran terhadap kelompok
Islam yang dianggap tidak sepaham. Kegiatan dan gerakan semacam ini yang
seringkali mengundang konflik. Konflik horisontal itu sebenarnya telah terjadi
secara massif walau masih di media sosial seperti facebook. Sesama Islam, anak
bangsa saling mencaci, menghina, menyesatkan, mengkafirkan, bahkan ancaman
pembunuhan. Belum lagi dengan hadirnya situs-situs online yang beraroma ISIS
baik yang terang-terangan maupun yang sedikit malu-malu sangat berpengaruh
besar menggiring kita semua menjadi radikal.
Dan
nampaknya situs-situs itu telah berhasil mencuci otak saudara-saudara kita,
terbukti saat 22 situs radikal telah diblokir oleh pemerintah tidak sedikit
diantara kita yang menolak dan memprotes sikap tegas pemerintah itu. Dan ngga
nyangka diantara mereka adalah tokoh-tokoh nasional seperti ustadz Arifin
Ilham, AA Gim, dan masih banyak lagi. Saatnya kita semua berpikir jernih dan
menyadari bahaya dan ancaman radikalisme agar negeri kita tercinta tetap damai,
sejahtera. SEMOGA. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar