Dalam
kamus bahasa Indonesia, diksi diartikan pilihan kata yang
tepat sesuai dengan struktur kalimat. Diksi merupakan istilah yang digunakan
oleh seseorang baik dalam bahasa tulisan maupun bahasa lisan. Akhir-akhir ini diksi yang sangat populer
bagi kita semua adalah “Petugas Partai”. Sebuah ungkapan kata yang menjadi
perbincangan nasional, yang telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Dari petinggi negeri, politisi, akdemisi,
sampai rakyat biasa di sudut-sudut kehidupan, mereka sedang disibukan
mengotak-atik, berdiskusi bahkan berdebat seputar “petugas partai”. Mereka
mencari makna, sampai filosofi diksi itu.
Kenapa “Petugas Partai” cepat populer?
Paling tidak berikut beberapa alasan yang bisa saya sebutkan. Pertama, karena kalimat itu disampaikan
orang tersohor di negara ini. Siapa lagi kalau bukan Megawati Sukarno Putri.
Mantan presiden yang satu ini dikenal pendiam, berbeda dengan politisi lainnya
yang gemar mengumbar statemen di media baik cetak maupun elektronik. Seorang
yang pendiam pembicaraanya lebih disimak dan didengar. Terlebih Megawati adalah
ketua umum PDI-P yang sangat disegani oleh keluarga besar PDI-P bukan sekedar
karena kepimimpinanya di partai tetapi lebih dari itu karena kedudukannya sebagai
putri Bung Karno. Dan ini yang sering ditonjolkan oleh oleh PDI-P. Ketokohan
Bung Karno menjadi icon dan simbol partai. Dan pada akhirnya ketokohan Megawati
pun sangat dominan mewarnai setiap garis kebijakan partai. PDI-P sama dengan
Megawati. Megawati sama dengan Bung Karno. Demikian kesimpulan cepatnya.
Walaupun kesimpulan seperti itu tidak sepenuhnya benar.
“Petugas Partai” menjadi sangat
populer sejak istilah itu berulang-ulang disebut oleh Megawati dalam pidato
penutupan kongres PDI-P di Bali beberapa waktu lalu walau sebelumnya sudah
sering diungkapkan oleh Puan Maharani saat menyebut posisi Pak Jokowi. Sontak
masyarakat luas merespon ungkapan Bu Mega itu secara beragam. Pro kontra
mewarnai perdebatan publik. Ungkapan “Petugas Partai” yang menurut sekjen PDI-P
Hasto Kristianto sebagai diksi yang dipilih Bu Mega untuk internal partai itu
menjadi konsumsi khalayak. Maklum, karena pidato itu disiarkan secara langsung
oleh beberapa TV nasional.
Kedua,
karena seperti dipahami oleh khalayak bahwa “Petugas Partai” yang dimaksud
adalah presiden Jokowi. Dan saat “petugas partai” diulang-ulang oleh Bu Mega, Pak Jokowi
duduk di barisan depan berhadapan langsung. Ini peristiwa yang tidak biasa.
Seorang presiden yang notabenya kepala negara dan kepala pemerintah disebut
sebagai petugas partai secara langsung oleh seorang warga negara biasa. Tentu
ini menyulut kemarahan sebagian rakyat. Tak pantas seorang warga negara (siapapun dia) berucap seperti itu di
hadapan orang nomor satu di negeri ini. Karena “petugas partai” saat
disandangkan kepada Jokowi itu sama saja telah mereduksi kewenangan, tugas,
kedudukan, bahkan kehormatan seorang presiden.
Ketiga,
“petugas partai” cepat populer tak lepas dari hiruk pikuk pilpres lalu.
Presiden Jokowi dituduh oleh lawan-lawanya sebagai “capres boneka”. Waktu itu
PDI-P dan partai pengusung lainnya serta relawan setengah mati menolak dan
membuktikan ke pemilih bahwa Jokowi bukan bonekanya Megawati. Tapi aneh,
sekarang justru bu Mega sendiri yang meresmikan “presiden boneka” seperti yang
dituduhkan lawan-lawan politiknya. Bukankah “Petugas Partai” itu berarti
presiden seperti boneka?
“Petugas Partai”
atau ”Presiden Boneka”
Baik “Petugas Partai” maupun “Presiden
Boneka” sebenarnya sama-sama berkonotasi negatif. Petugas itu berarti orang
suruhan yang ditugasi melakukan suatu pekerjaan. Petugas pasti memiliki atasan
atau BOS. Atasan atau bos memiliki kedudukan yang lebih dari orang yang
ditugasi (petugas). Petugas partai berarti orang yang diberi tugas tertentu
oleh partai. Dalam partai, kewenangan tertinggi berada di tangan ketua umum.
Petugas partai bisa diartikan negatif sebagai jongosnya ketua partai.
Waduh,,ini lebih ngerih mendengarnya. Apa pengertian seperti ini yang dimaksud
oleh Bu Mega dan PDI-P? Semoga tidak.
Sama halnya dengan “Presiden Boneka”,
boneka itu adalah mainan anak-anak, yang jelas tidak bisa apa-apa. Boneka
ibarat robot yang dikendalikan oleh operatornya. Boneka hanya bisa menghibur
pemiliknya dan menemaninya tidur. Bagimana kalau boneka itu adalah seorang
presiden? Tentu kacau balau negara. Bagaiman tidak? Presidenya tidak bisa
apa-apa, hanya menjalankan intruksi atau menunggu perintah dari seseorang.
Tentu PDI-P dan Bu Mega juga tidak setuju bila Jokowi disebut “Presiden
Boneka”. Tapi kenapa mereka mau menjadikannya sebatas petugas partai yang harus
taat terhadap semua intruksi partai? Tak boleh membantah. Bila berani membantah
keluar dari partai, demikian tegas Megawati. Dalam konteks ini Megawati
terlihat sangat arogan pada Jokowi seakan dialah yang menjadikan Jokowi sebagai
presiden. Bu Mega lupa bahwa presiden itu dipilih langsung oleh rakyat. Kalau
rakyat menghendaki bisa saja Jokowi menjadi presiden tanpa dukungan PDI-P pun,
toh saat itu sudah banyak partai yang menggadang-gadangnya sebagai capres.
Kaitan dengan “Petugas Partai” pak
Jokowi sendiri tidak mau ambil pusing. Beliau tidak pernah menanggapinya secara
khusus mengenai hal itu. Jokowi tetap berjalan sesuai keyakinan dan
pendiriannya. Sebenarnya sebagai seorang presiden bisa saja beliau melawan,
atau sekedar klarifikasi terhadap isu petugas partai itu. Namun nampaknya
beliau lebih memilih menjawab dengan fakta misalnya dengan melantik Badrudin
Haiti sebagai kapolri mengesampingkan Budi Gunawan usulan PDI-P. Tapi itu tidak
cukup pak presiden. Karena masih banyak hal yang memerlukan ketegasan dari
bapak sebagai presiden yang independen dan mandiri bukan boneka siapapun. Bukan
begitu pak presiden?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar