Pilkada 15 Februari lalu memberi
banyak pembelajaran. Saya menyaksikan Pilkada 2017 lebih pada Jakarta sentris.
Pilgub Jakarta mendapat perhatian dan sorotan publik luar biasa. Namun
demikian, Pilgub DKI Jakarta telah menggambarkan kematangan demokrasi Indonesia.
Walau harus diakui, suhu politik di Jakarta kadang membuat kita semua waswas,
khawatir. Pilkada Jakarta telah menguras
energi bangsa ini. Politik Pilkada Jakarta melebar ke banyak ranah. Masuk ke
wilayah hukum, juga agama. Begitulah politik, demokrasi.
Dalam Pilkada DKI Jakarta, ada dua hal
yang menarik perhatian saya. Pertama soal politik agama dan pemilih rasional.
Pertanyaannya apa kedua hal tersebut saling terkait? Menurut Sumanto Al
Qurtuby, relasi
antara agama dan politik memang sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu.
Keduanya kadang saling berseteru. Juga bisa menyatu. Kemudian apa politik agama
telah berhasil mempengaruhi pilihan rakyat? Apa masyarakat Jakarta cukup rasional
dalam menentukan pilihannya?
Sebelum lebih jauh, apa sebenarnya
politik agama itu? Politik sejatinya merebut kekuasaan dengan cara yang
demokratis, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian,
politik agama dapat dipahami sebagai berpolitik dengan menggunakan isu, simbol
dan dogma agama. Agama dimanfaatkan untuk meraih kepentingan politik. Sekarang
apa politik agama sah dilakukan? Tentu sah-sah saja. Di Indonesia, semua hal
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Penegakan hukum, pendidikan,
birokrasi bahkan agama sekalipun. Khusus prihal politik agama, Pilkada Jakarta
pada tahun ini menjelaskannya secara terang benderang.
Politik Aksi Damai
Berawal dari pernyataan Gubernur
Jakarta Basuki Tjahja Purnama terkait surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan
Seribu. Dimanfaatkan oleh pihak yang bersebrangan dengannya, Ahok menjadi
bulan-bulanan publik Jakarta, bahkan rakyat Indonesia. Ahok dicaci, dibenci
juga diancam. Isu agama berdalih
penistaan Al Quran dimanfaat dengan sangat cantik oleh segelintir aktor politik.
Hal itu yang tak disadari oleh umat Islam Indonesia. Padahal pernyataan Ahok
seputar Al Maidah 51 itu berada pada area multi tafsir. Banyak perbedaan
pendapat, para ulama berbeda dalam menafsirkan makna dan kandungan ayat
tersebut. Sebagian ulama besar di tanah air semisal Prof Quraish Shihab, KH.
Maimun Zubair, KH. Mustofa Bisri, KH Said Aqil Siradj, dan Prof Syafii Maarif
tak menemukan penistaan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkan Ahok. Kata auliya bagi mereka tak berartikan pemimpin seperti diyakini peserta aksi.
Rentetan aksi damai umat Islam (411, 212) mampu
menggiring suara publik. Terbukti, berdasarkan berbagai hasil survei suara Ahok-Djarot merosot tajam. Menurut
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, suara Ahok sempat terjun bebas ke
angka 10.6% setelah sebelumnya memimpin. AHY melesat tinggi. Bermodalkan 0% di
awal, dapat menyentuh 32. 30 persen mengungguli kedua calon lain. Sementara
Anies di posisi 31.10 %. Bahkan saat
itu, Burhanudin Muhtadi, direktur
Indikator merasa heran. Dia mengatakan, kita
sudah pengalaman survei ribuan kali, tetapi baru kali ini ada data kinerja dan
elektabilitas tidak berbanding lurus. Biasanya kalau puas akan memilih lagi.
Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok-Djarot tak berbanding lurus dengan
pilihan mereka, ada apa sebenarya? Tak lain karena kesuksesan menggiring isu
penistaan agama ke rana politik Pilkada. Warga DKI nampaknya terkesimak dengan
aksi-aksi tersebut.
Keadan berbalik setelah debat
kandididat digelar. Suara Ahok-Djarot berdasarkan berbagai survei perlahan tapi
pasti naik terus. Sampai pada akhirnya, 15 February 2017 lalu Pilkada DKI
Jakarta berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survei memenangkan pasangan
nomor urut 2, Ahok-Djarot. Apa yang diragukan oleh Burhanuddin Muhtadi soal
kepuasan dan pilihan warga tak terbukti. Ahok unggul karena kinerjanya dinilai
memuaskan. Pasangan yang diusung PDI-P dan lainnya tersebut memperoleh suara berkisar
43%, disusul Anis-Sandi 39% dan paling buncit AHY-Silvy 17%. Apa yang bisa disimpulkan dari fenomena ini?
Saya melihatnya sebagai pilihan masyarakat Jakarta yang rasional dan
cerdas. Isu agama tak terlalu
berpengaruh bagi mereka. Pemilih Jakarta dianggap masih rasional seperti
keyakinan banyak pihak. Melalui debat kandidat, warga Jakarta bisa menilai
setiap pasangan calon gubernur.
Pemilih Rasional
Siapa
sebenarnya mereka? Pemilih rasional adalah masyarakat pemilik hak pilih yang menggunakan
haknya dengan pertimbangan akal sehat (rasio). Mereka tak terpengaruh oleh
berbagai isu, termasuk money politik. Mereka teguh pendirian. Mereka memilih
setelah melakukan kajian. Mempelajari visi-misi, program juga latar belakang
pasangan calon.
Pemilih
rasional dalam menentukan pilihan
Pilkada memiliki karakterisktik tertentu. Ciri mereka antara lain adalah, pertama, memilih berdasarkan
pertimbangan rasional bukan emosional. Faktor kedekatan, pengaruh tokoh besar,
pertimbangan fisikal seperti tampan wajah atau jenis kelamin dan lainnya
diabaikan. Mereka tak mau mengikuti arus. Tak mudah percaya propaganda,
kampanye, juga pencitraan. Mereka tak sudi memilih kucing dalam karung. Apa
atau siapa yang dipilih harus bisa meyakinkan mereka.
Kedua, memilih berdasarkan kajian visi-misi
dan program kerja. Visi adalah pandangan jauh tentang masa depan. Sedangkan
misi terkait apa yang akan dilakukan. Keduanya dituangkan dalam program kerja
yang nayata. Visi-misi dan program kerja yang ditawarkan wajib rasional,
solutif serta terukur. Tak nagmbang. Apalagi kabur. Terlebih jika tak masuk
akal. Program kerja dituntut lengkap, menyentuh berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat. Program juga harus jelas, memperbaiki keadaan, memastikan
solusi yang cepat dan tepat.
Ketiga, melihat rekam jejak, latar
belakang. Bahwa calon kepala daerah kudu berintegritas tinggi, beraklak mulia, menguasai
persoalan, berpengalaman, dan meyakinkan menawarkan solusi. Juga terpenting
anti korupsi. Sebab, bagi mereka
negeri ini hancur karena ulah para koruptor.
Singkat kata,
Pilkada sangat menarik diikuti. Dalam Pilkada banyak pembelajaran. Pilkada
mematangkan kedewasaan masyarkat dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sehingga
mereka menjadi pemilih rasional. Cerdas menetukan pilihan. Tepat memilih
pemimpin. Wa Allahu Alam