Tidak
tepat lagi jika membayangkan seks bebas itu hanya ada di negara-negara barat.
Itu dulu. Seks bebas, pornografi dan prilaku seks menyimpang telah ada dalam
lingkungan terdekat kita sekalipun. Coba perhatikan beberapa data berikut. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Oktober 2013
memaparkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks
di luar nikah . 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di
luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21%
diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam
rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja. Itu
tiga tahun yang lalu, sekarang angkanya tentu lebih tinggi lagi.
Kemudian terkait pornografi, Ketua Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK) Peri Umar
Faruk seperti ditulis Kompas.com,
menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama 2010,
masyarakat Indonesia berada pada urutan keempat di dunia yang suka membuka
internet untuk situs pornografi. Pada tahun 2008 dan 2009, Indonesia berada
pada urutan ketiga setelah Vietnam, Kroasia, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Sekarang masyarakat Indonesia berada di peringkat pertama dalam hal membuka
situs pornografi.
Akibatnya,
penderita HIV/aids di Indonesia pun meningkat. Sejak ditemukan pertama kali
pada tahun 1987, jumlah penderita HIV/aids bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional
menunjukan, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus.
Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak
2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009
meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah
tersebut, yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang. Tahun 2010 jumlah
meningkat menjadi 21.591, tahun 2011 menjadi 21.031, tahun 2012 berjumlah
21.511, dan pada tahun 2013 menjadi 29.037.
(http://www.kemenpppa.go.id)
Fakta di atas membuat para orang tua
merasa waswas dan takut. Ancaman
menghadang pada anak-anak mereka. Ancaman berupa seks bebas, penyakit seks, kekerasan
seksual serta pornografi nyata ada di depan mata. Apa cukup sekadar merasa takut? Tentu tidak.
Harus ada upaya dan usah nyata dalam membentengi anak dari bahaya ancaman
seperti disebutkan. Dan saya melihat pendidikan seks adalah salah satu upaya
yang kudu dilakukan. Walau diakui, kaitan dengan hal ini para pakar pendidikan
masih berselisih pendapat. Sebab, ada sebagian yang bersikukuh bahwa hal itu
tak diperlukan apalagi jika dimasukan dalam kurikulum pendidikan.
Pendidikan Seks
Dr. A. Nasih Ulwan dalam (2008) mendefinisikan Pendidikan seks sebagai
upaya pengajaran penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks yang
diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan
seks, naluri, dan perkawinan, sehingga jika anak telah dewasa dan dapat
memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang
dihalalkan dan diharamkan bahkan mampu menerap kan tingkah laku islami sebagai
akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistic.
Kapan
pendidikan seks itu dimulai? Menurut Pakar Pendidikan Indonesia, Munif Chatib dalam
sebuah seminar dan peluncuran buku Menikah Itu Ibadah di Gramedia Cirebon
belum lama (12/2), pendidikan seks itu harus dilakukan sejak dini. Penulis buku
Gurunya Manusia itu menyebutkan ada
tiga pola dalam pendidikan seks. Pertama,
memberi informasi yang dibutuhkan secara benar dan tepat. Anak sebaiknya
memperoleh informasi dari orang tuannya sendiri prihal seks. Orang tua tak
boleh menutup-nutupi. Informasi yang disampaikan disesuaikan dengan kebutuhan
dan perkembangan anak. Informasi atau
ilmu terkait seks akan menjadi bekal anak dalam berprilaku. Informasi yang
diperoleh dari luar beresiko terselewengkan. Dan pastinya, orang tua tak dapat
mengontrolnya.
Kedua, menjawab pertanyaan anak tentang seks. Ada sebagian dari
kita yang tak mau menjawab pertanyaan anak terkait seks. Alasanya, karena hal
itu tabu dibicarakan. Tak pantas membahasnya, apalagi dengan anak. Padahal
pertanyaan itu muncul secara alami. Pertanyaan tersebut didorong oleh naluri
(baca:fitrah) dan rasa ingin tahu yang ada pada setiap anak. Kalau pun
menjawab, orang tua terkesan menghindar dari jawaban sesungguhnya. Saat orang
tua tak menjawab dikhawatirkan anak mencari jawaban secara liar. Ini berbahaya.
Sebab itu, jadilah teman diskusi bagi anak anda tentang apa saja, termasuk
terkait prilaku seks.
Ketiga,
terkait prilaku. Prilaku seks sehat kudu diajarkan ke anak. Selain itu,
orang tua diminta memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
Hubungan laki-laki- perempuan antara sesama anggota keluarga wajib dibangun secara sehat. Keteladanan sangat
penting. Anak sebaiknya didik sejak dini bagaimana kehidupan seks secara sehat
misalnya dengan memisahkan mereka (laki-perempuan) saat tidur.
Menyesuaikan Usia
Ketiga pola di atas dilakukan sesuai
perkembangan dan usia anak-anak. Menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan
dan mendidik prilaku seks sehat harus mengikuti usia sang anak. Fase anak
terbagi menjadi masa anak-anak, masa menjelang baligh, masa remaja atau masa dewasa. Di sini, orang tua dituntut mengerti materi apa yang disampaikan dan
kapan menyampaikannya.
Pada usia anak-anak informasi yang
dibutuhkan masih sebatas nama-nama
anggota tubuh beserta fungsinya. Kemudian anggota tubuh yang tak boleh disentuh
oleh orang lain. Menjelang baligh, mereka mulai dikenalkan fisik lawan jenis.
Diajarkan pengetahuan agama terkait kewajiban menurut aurat misalnya. Dan pada
masa remaja mereka sebaiknya sudah mulai mengerti hal-hal terkait reproduksi.
Demikian dengan menjawab pertanyaan,
orang tua sepantasnya menyesuaikan usia anak. Pada anak kecil berilah jawaban
secara global, secara umum. Sedangkan pada mereka yang menjelang baligh berilah
jawaban yang lebih rinci. Baru setelah dewasa atau menjadi remaja anak berhak
mengetahuinya secara mendetail prihal seksualitas. Saat itu, orang tua
sebaiknya menjadi sahabat sejati anak-anaknya. Mereka menjadi tempat curhat, teman
diskusi bagi para remaja. Pada usia ini, anak mulai bertanya soal pernikahan,
menilai pasangan dan lainnya.
Pendidikan terkait prilaku juga sama,
harus disesuaikan usia anak kita. Pada
masa anak-anak orang tua menamkan rasa malu. Mereka dilatih untuk menutup kamar
mandi, berganti pakaian dalam kamar. Untuk keamanan mereka, perlu dilatih
berteriak saat anggota tubuh vital seperti kelamin disentuh oleh orang lain
apalagi yang tak dikenal. Menjelang dewasa, kamar mereka (laki-perempuan)
dipisah. Laki-perempuan tak boleh tidur bersama. Berteman dengan lawan jenis
diarahkan pada pergaulan yang sehat. Kemudian saat dewasa, orang tua wajib
membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Tanamkan bahwa masa remaja sebaiknya
digunakan pada hal-hal bermanfaat.
Akhir kata, pendidikan seks memang
penting. Pendidikan seks dilakukan sejak dini. Dalam mendidik seks, orang tua
juga guru di sekolah wajib menyesuaikan dengan perkembangan dan usia anak.
Sehingga mereka matang sesuai dengan perkembangan dan usianya. Jika hal itu
dilakukan, harapanya ancaman dan rasa takut orang tua akan hilang. Dan anak-anak
kita menjalani hidup secara sehat. Wa
Allahu Alam
Dapat Dibaca di Harian Radar Cirebon, Selasa 14 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar