Pendidikan
nasional dipandang seperti berjalan di tempat. Tak mengalami kemajuan yang
berarti. Pendidikan nasional menghadapi banyak persoalan yang memerlukan
penyelesaian secara cepat, tepat dan terukur. Diantara persoalan pendidikan
kita yang menonjol antara lain tentang belum meratanya akses pendidikan,
rendahnya input dan output pendidikan, intervensi Pemerintah secara berlebihan
dengan mengeluarkan kebijakan yang berganti-ganti, kesejahteraan guru honorer
yang jauh dari hidup layak, angka putus sekolah yang masih cukup tinggi serta
rendahnya kualitas guru atau tenaga pendidik.
Berbagai
permasalahan di atas sebaiknya segera diselesaikan. Sehingga mutu dan kualitas
pendidikan nasional menjadi membaik. Kita wajib mengejar ketertinggalan dari
bangsa lain di sektor pendidikan. Diantara yang perlu disikapi oleh kita semua,
terutama Pemerintah adalah tentang mutu dan kualitas guru yang dinilai masih
rendah. Pendidikan berkulitas meniscayakan keberadaan guru bermutu tinggi.
Sebab guru berada pada garda terdepan dalam mendidik anak bangsa.
Pendidikan
nasional disamping membutuhkan guru profesional, berkompetensi tinggi juga
butuh gurunya manusia. Yakni guru yang mendidik peserta didik secara manusiawi.
Jika dalam kajian Filsafat mendidik itu adalah memanusiakan manusia, maka
sepantasnya dilakukan secara manusiawi. Tak mungkin memanusiakan manusia secara
tak manusiawi.
Munif
Chatib (2011) menjelaskan Gurunya Manusia sebagai guru yang punya keikhlasan dalam
mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya
adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru
yang ikhlash akan berintropeksi diri apabila ada siswa yang tidak memahami
materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka
sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya
kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.
Gurunya Manusia
Menurut
hemat saya, Gurunya Manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dirinya
dengan guru pada umumnya. Pertama, mengajar
dan mendidik dengan kasih sayang. Guru melakukan pekerjaan dan profesinya
dengan ikhlash. Mereka mendidik peserta didik dengan sepenuh hati. Gurunya
manusia bekerja bukan untuk mengejar materi belaka. Mereka merasa memikul
amanat besar mengantarkan anak didik menjadi manusia seutuhnya. Sehingga bagi
mereka waktu, pikiran dan tenaga terfokus hanya untuk anak-anak didik. Gurunya
manusia menyadari pentingnya kehadiran
mereka dalam kehidupan nyata peserta didik. Karenanya, menjadi teladan dengan
memberi contoh yang baik ke anak menjadi kewajiban yang harus diusahakan sekuat
tenaga.
Kedua, mendidik secara manusiawi. Seperti disinggung
sebelumnya, tak mungkin mendidik manusia dengan mengabaikan prinsip-prinsip
kemanuisan. Guru dalam mendidik tak boleh mengabaikannya. Guru diminta bisa
menghargai pendapat dan perasaan siswa. Gurunya manusia tak menggunakan
kekerasan. Mereka tak memperlakukan peserta didik seperti robot. Tak boleh
membentak, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan. Gurunya manusia tak pernah
marah. Mendekati anak dengan pendekatan
rasional, perasaan dan kasih sayang.
Mereka senantiasa memberi motivasi tak memerintah secara kaku. Mereka tak hanya
bisa melarang dengan kejam tapi memberi pandangan atas mudharatnya sesuatu.
Ketiga, mengajar dengan cara menyenangkan. Konsep ini sebenarnya
sudah lama diajarkan. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sudah lama
menyampaikannya. Bahwa mendidik, mengajar anak didik itu wajib menyenangkan.
Untuk itu, materi dikemas secara apik, sisitematis sehingga mudah dipahami.
Disampaikan dengan berbagai motode pembelajaran yang tidak menjenuhkan. Kelas
didesain secara baik sehingga dapat mendukung jalanya proses belajar mengajar.
Lingkungan sekolahpun ditata dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Semuanya
menjadi tugas dan tanggung jawab gurunya manusia. Jadikan sekolah anda layaknya
sebuah taman. Pasti siswa akan betah, nyaman dan senang.
Keempat, menjelajah kemampuan peserta didik. Guru beperan
menggali, mengembangkan pootensi yang dimiliki peserta didik. Gurunya manusia
meyakini bahwa bakat, potensi dan kecerdasan manusia itu mejemuk dan beragam.
Tak ada siswa yang bodoh. Semua peserta didik berpotensi menjadi juara di
bidang yang dikuasainya. Karenanya, tak ada alasan menyalahkan peserta didik.
Gurunya manusia senantiasa mengevaluasi terkait apa yang telah disampaikan,
metode menyampaikannya serta kesiapan peserta didik. Kemudian bertekad
memperbaikinya di waktu mendatang.
Kelima, memposisikan
diri sebagai fasilitator. Fasilitator itu seperti tukang kebun yang tiap hari
menyirami tanaman. Siswa ibarat tanaman jika diberi air akan tumbuh dan
berkembang. Fasilitator hanya mengarahkan, memandu kegiatan, membimbing peserta
didik dalam memahami materi. Tidak menggurui, apalagi menjadi sumber belajar
tunggal. Guru yang bukan fasilitator biasanya lehernya sering membengkak karena
setiap hari ia berceramah dari kelas ke kelas.
Guru fasilitator meyakini bahwa peserta didik sudah menguasai (walau
sedikit) tentang materi yang menjadi bahan ajar. Guru fasilitator hanya
membangkitkan semangat dan minat serta memantik pengalaman-pengalaman belajar
siswa sebelumnya. Kemudian dikembangkan sesuai yang diinginkan.
Keenam, pembelajar abadi. Belajar bagi gurunya manusia adalah
kebutuhan dan tuntutan. Belajar itu sepanjang hidup, tak mengenal usia. Belajar
tak boleh berhenti saat menjadi guru misalnya. Justru guru diminta menjadi
teladan bagi peserta didiknya dalam menebar semangat belajar. Perkembangan ilmu
pengetahuan tekhnologi dan kemajuan informasi yang sangat cepat kudu diimbangi
oleh guru. Guru tak boleh tertinggal informasi. Mereka harus dapat mengikuti
zaman.
Belakangan,
Kemeterian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) membangun gerakan guru pembelajar.
Ini wajib disambut baik oleh setiap guru di Indonesia. Dengan gerakan guru
pembelajar diharapkan menghadirkan guru-guru berualitas yang mampu meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan nasional di masa mendatang.
Akhir
kata, saat ini Indonesia membutuhkan gurunya manusia. Yakni mereka yang ikhlas
mendidik anak negeri. Menghadirkan kelas-kelas yang menyenangkan. Menciptakan
sekolah laksana taman. Ya, guru yang mengajar dengan penuh kasih sayang dalam
mengantarkan peserta didik pada potensi terbaik yang dimilikinya. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Crebon, Senin 20 February 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar