Dalam
berdakwah, nabi Muhamad SAW menerima berbagai gangguan, dan rintangan. Beliau
tidak hanya mendapat penolakan dari kafir Mekkah juga gangguan secara fisik.
Dan tidak hanya beliau yang menerimanya, keluarga besarnyapun mendapatkan
pembaikotan selama tiga tahun. Pembaikotan secara ekonomi, sosial tentu
menyengsarakan mereka, dan lebih khusus nabi SAW sendiri.
Sejarah menyebutkan, setiap kali nabi Mumahad SAW keluar dari rumah sering kali ia menemukan duri-duri yang menjebak beliau di sepanjang jalan yang dilalui. Ditulis oleh sejarah, Abu Lahab dan istri yang sengaja memasangnya untuk melukai sang nabi suci itu. Seringkali rasulullah SAW terluka terkena jebakan duri tersebut. Saat itu sang penjebak mentertawakan dari kejauhan. Beliau hanya tersemyum saat menyaksikan yang mengganggunya menertawakan.
Sejarah menyebutkan, setiap kali nabi Mumahad SAW keluar dari rumah sering kali ia menemukan duri-duri yang menjebak beliau di sepanjang jalan yang dilalui. Ditulis oleh sejarah, Abu Lahab dan istri yang sengaja memasangnya untuk melukai sang nabi suci itu. Seringkali rasulullah SAW terluka terkena jebakan duri tersebut. Saat itu sang penjebak mentertawakan dari kejauhan. Beliau hanya tersemyum saat menyaksikan yang mengganggunya menertawakan.
Di depan ka’bah, saat sujud rasulullah
SAW tak luput dari gangguan. Beliau dilempari dengan kotoran unta. Sambil
menertawakan, mengolok-olok seakan terpuaskan melihat penderitaan nabi SAW,
kafir Quraisy merasa dirinya yang paling benar, paling kuat, dan paling hebat.
Datanglah sayidah Fatimah Azzahrah ra sang putri kesayangan, membersihkan
kotoran dari badan ayahnya senantiasa menghibur baginda Nabi SAW.
Di bagian lain, rasulullah SAW seringkali
diludahi oleh seseorang yang tentu sangat membencinya. Setiap kali melewati
lorong di perkampungan Mekkah tanpa sepengetahuan sebelumnya air ludah kerap
kali mendarat di wajah suci rasulullah SAW. Orang itu bergegas melarikan diri
saat rasul berpaling, menengok, mencari sang pelaku. Satu waktu rasulullah
menyelusuri perkampungan seperti biasa yang dilaluinya tidak seperti biasanya
hari itu beliau tidak terludahi. Rasulullah SAW bertanya ke orang-orang yang
ada di tempat itu (dimana rasulullah sering diludahi seseorang) dimanakah orang
yang biasa meludahiku? Kenapa hari ini dia tak muncul seperti biasanya? Salah
satu menjawab, si fulan sakit wahai Muhamad. Dimanakah rumahnya? Kata nabi SAW.
Orang itu pun menunjukkan rumah pengganggu setia nabi itu. Rasulullah SAW
menghampirinya, menjenguknya, mendoakannya. Sang pengganggu itu tersipu-sipu,
malu saat orang yang setiap hari ia ludahi menjenguknya. Ia pun memohon ampun,
kemudian menyatakan masuk Islam. Subhanallah sungguh mulia akhlak baginda rasul
SAW.
Saat hijrah ke Taif, Rasulullah SAW
ditolak mentah-mentah oleh warga yang merupakan saudara beliau dari sisi ibu.
Mereka bahkan mengusir, mengolo-olok, dan melempari dengan batu. Mereka suruh
anak-anak menggiring rasulullah keluar dari Taif sambil meneriakan kata-kata
kotor persis seperti mengusir orang gila dari perkampungan. Rasulullah SAW tak
membalas walau sebagian anggota tubuhnya darah mengalir. Sang Nabi SAW berteduh
di sebuah kebun milik seorang Yahudi. Dari langit malaikat Jibril as turun ke
bumi seraya menawarkan ke beliau atas perintah Allah, kalau engkau izinkan
wahai sang nabi aku akan balik dua gunung yang berada di dua sisi Taif.
Rasulullah SAW justru menjawabnya, jangan kau lakukan itu. Mereka tidak
mengerti dan tidak mengetahui siapa aku. Seraya Rasulullah SAW mengangkat
tangan dan berdoa, Ya Allah berilah
mereka petunjuk, sesungguhnya mereka tak mengerti. Sang pemilik kebun
menyaksikan akhlak luhur beliau langsung besyahadat dan masuk Islam.
Pantas kalau Allau SWT menjadikannya
sebagai uswah hasanah buat umat
manusia seperti di tegaskan dalam firmannya:
“Sesungguhnya telah ada
pada diri Rasulullah contoh teladan yang sempurnah bagimu, dan bagi orang yang
mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banya menyebut Allah” (Al Ahzab:21)
BAGAIMANA
DENGAN KITA?
Penggalan-penggalan sejarah di atas
mengingatkan kita semua agar mendahulukan akhlak luhur saat berdakwah
meneruskan risalah agama yang dibawah oleh beliau SAW. Dalam Al Quran Allah SWT
berfirman:
“Serulah kepada jalan Tuhann-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
(An-Nahl:125)
Ayat
di atas sangat jelas bahwa dalam mengajak orang (berdakwah) itu harus dengan
cara-cara yang baik. Cara yang baik akan menentukan hasil yang baik. Al Quran
menyebutnya dengan 1) bilhikmah yakni
dengan hikmah. Hikmah diartikan dengan bijak. Bijak itu mendatangkan kebaikan
buat semua. Hikmah dilakukan dengan hati-hati, lembut, tak menyinggung perasaan
orang lain apalagi menyakiti. 2) mau’iddhoh hasanah diartikan dengan argumentasi yang baik,
logis, serta runtut. Sehingga orang yang mendengarkanya akan menikmati
pembicaraan (materi) yang disampaikan terlepas dia menerima atau menolaknya. 3. Mujadalah. Berdebat atau tepatnya aduh
argumentasi bila diperlukan dengan cara yang paling baik. Yaitu bertukar pendapat dan argumentasi
dengan tetap saling menghormati pendapat satu dengan yang lain, dan menghindari
saling menyalahkan, saling ejek, apalagi saling menyesatkan.
Karena cara-cara diatas (seperti
diajarkan Al Quran) tidak kita gunakan tak heran bila apa yang kita usahakan
tidak memperoleh hasil masksimal. Kita seakan berjalan di tempat. Coba tengok
dan amati kegiatan dakwah di antara kita umat Islam! Yang kita saksikan justru
jauh dari hikamah, jauh dari mau’idho hasanah. Kita menyaksikan debat kusir berkepanjangan,
polemik yang melahirkan konflik, belum lagi aktifitas takfir (mengkafirkan yang
lain) antar sesama. Sungguh sebuah
keprihatinan bersama.
Penyakit utamanya adalah merasa paling
benar, merasa paling Islam dengan mengesampingkan perbedaan. Padahal sudah
menjadi rahasia umum bahwa bangunan umat Islam ini terdiri dari berbagai macam
golongan, aliran, pandangan dan madzhab. Sikap diatas melahirkan intoleransi
yaitu sikap yang tidak menghargai keragaman dan perbedaan. Padahal dalam sebuah
hadist Rasulullah mengatakan, Perbedaan
(ikhtilaf) umatku adalah rahmat”.
Dari
intoleransi munculah berbagai konflik horizontal di tengah-tengah umat.
Benturan fisik antara sesama muslim tak bisa terelakan. Terakhir kita
dipertontonkan oleh konflik antara sesama dai, ustadz, kyai, cendikiawan, dan
lainnya di media sosial berkaitan dengan insiden kecil di masjid Az Dzikrah Bogor. Bermula dari
permintaan sekelompok orang untuk menurunkan spanduk seruan kewaspadaan
terhadap madzhab Syiah yang terpasang di area masjid yang ditolak oleh pihak
keamanan setempat. Perkelahian diantara mereka tak terelakan. Dan berakhir di
tangan kepolisian. Pimpinan Az Dzikroh, Ustadz Arifin Ilham menyebutnya sebagai
penyerangan. Secara sepihak beliau menuduh mereka penganut Syiah yang sesat, walau
di hadapan kepolisian mereka mengakui bukan penganut Syiah. Mereka hanya risih
dan merasa tidak nyaman dengan sepanduk provokatif itu. Lebih jauh kita
dikejutkan dengan pernyataan dan seruan jihad ustad Arifin Ilham terhadap
Syiah. Ustadz yang biasa terlihat teduh di layar kaca itu menjadi sangar, seram
dan menakutkan. Kenapa dengan sesama Islam?
Andai kita semua seperti Rasulullah
SAW yang mendahulukan kesabaran, mengutamakan persatuan dan kesatuan umat,
mengedepankan akal sehat dan nalar logis maka insiden kecil dan sederhana itu
tidak membesar yang bisa jadi mengancam kehidupan keberagamaan kita semua.
Saatnya kita semua bercermin kepada Nabi SAW. Semoga kita semua selalu mendapat petunjuk dan
hidayah-Nya. Wa Allahu ‘alam.