Keadaan
politik di negeri kita sedang kacau.
Kekacaun disebabkan tidak atau tepatnya belum dilantiknya Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai kapolri oleh presiden Jokowi setelah DPR meloloskannya.
Presiden saat menjelang keberangkatan ke luar negeri menegaskan akan
menyelesaikan masalah itu sepulang kunjungannya ke beberapa negara di ASEAN.
Masalah berawal saat KPK menetapkan tersangka pada Komjen Pol. Budi Gunawan
sementara yang bersangkutan adalah calon tunggal kapolri yang diusulkan oleh
Presiden. Penetapan ini disusul dengan penangkapan wakil ketua KPK, Bambang
Wijayanto oleh Bareskrim Polri. Ini menjadi babak baru konflik KPK-POLRI.
Polemik berkepanjangan dan meluas tak terkendali. Seluruh pimpinan KPK diadukan
ke polisi dengan berbagai kasus. Disusul mangkirnya perwira tinggi atas
pemanggilan KPK sebagai saksi untuk kasus Budi Gunawan. Maka kesan konflik
POLRI-KPK menjadi nyata dan sulit diartikan lain.Akhirnya bola panas berakhir
di tangan sang presiden. Presiden nampaknya berat mengambil keputusan entah karena
tekanan atau lainnya. Kemudian lahir team sembilan bertugas memberi masukan ke
presiden, walau kehadiran team ini dipermasalahkan banyak kalangan karena
dianggap tumpang tindih dengan watimpres. Tetap presiden tak bergeming dari
posisinya, permasalahan tak kunjung selesai.
Sebenarnya
apa yang terjadi pada diri presiden?
Presiden Jokowi yang terlihat tegas pada kapal-kapal asing yang mencuri ikan di
perairan kita kini terkesan ragu-ragu, bahkan takut. Apa yang ditakuti? Siapa
yang menakuti-nakuti? Untuk menjawabnya, mari kita menariknya ke belakang.
Bahwa pak Jokowi adalah presiden yang berlatar belakang berbeda dengan
presiden-presiden sebelumnya. Ia muncul dari rakyat biasa bermula dari kota Solo
sebagai wali kota dua periode yang dicintai rakyatnya. Jokowi bukan ketua apalagi pendiri partai. Bermodalkan
kesederhanaan, kejujuran ditarik oleh PDI-P menjadi gubernur DKI. Dan pada
akhirnya PDI-P pun tak kuasa menolak dorongan rakyat untuk mencalonkannya
menjadi presiden. Saat pencalonan inilah banyak pihak yang bergabung,
menawarkan jasa bahkan bisa jadi finansial untuk mendukung dan menjadikannya
presiden. Maka hadirlah berbagai kalangan mulai dari pengusaha, mantan pejabat,
purnawirawan dan unsur penting lain di negeri ini. Mereka masuk di lingkaran
utama Jokowi. Nah nampaknya kepentingan mereka kini (setelah Jokowi presiden)
menjadi beragam, juga bisa saling bertentangan dan tarik menarik. Mereka
terbaca oleh rakyat menekan presiden dari berbagai kepentingan. Salah satunya terlihat
dalam kasus pencalonan Budi Gunawan ini.
Kepentingan
itu mulai bermunculan saat penyusunan kabinet. Kabinet yang dijanjikan ramping
tak terbukti. Kabinet gemuk ala presiden-presiden sebelumnya ditafsirkan oleh
khalayak sebagai pemenuhan dan akomodasi atas berbagai kepentingan baik dari
partai politik pengusung, maupun lainnya. Koalisi tanpa transaksi terlihat
bias, dan mirip dengan koalisi-koalisi sebelumnya. Di sisi lain rangkap jabatan
yang semula ingin dihindari di dalam kabinet tak sepenuhnya terwujud karena
sampai hari ini mbak Puan Maharani, menko pengembangan manusia dan kebudayaan tetap merangkap sebagai ketua DPP PDI-P.
Jokowi seperti menabrak batu karang yang kokoh saat berhadapan putri Megawati
itu.
Ibarat
gunung es kasus Budi Gunawan yang menyeret konflik KPK-POLRI menjadi konflik
nyata internal istana. Dan ironisnya KPK yang harus menjadi taruhan. Lembaga
anti ruswah yang terlanjur menjadi harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi
itu kini harus siap diserang dari berbagai arah. Pertama, PDI-P yang notaben pengusung Jokowi melancarkan serangan
ke ketua KPK sejak calon kapolri BG yang disinyalir orang dekat Megawati
ditetapkan sebagai tersangka. Penyerangan cukup brutal diperlihatkan Hasto
Kristianto, Plt Sekjen PDI-P sampai rela buka-bukaan aib partai saat proses
pemilihan calon wakil presiden. Serangan di arahkan ke Abraham Samad, ketua KPK
yang dituduhnya berambisi menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Publik sebenarnya bertanya siapa yang menggandang-gandang Abraham Samad?
Bukankah PDI-P sendiri? Kedua, Polri
kita. Entah karena kebetulan (tapi di dunia ini tidak ada yang kebetulan) pengaduan pidana dari
masyarakat berdatangan di Bareskrim dan diproses cepat (tidak seperti biasanya)
yang mengadukan para pemimpin KPK. Ini memunculkan keraguan dan kecurigaan
masyarakat luas. Dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tak terbantahkan.
Puncaknya penangkapan Bambang Wijayanto oleh Breskrim polri.
Sekarang
rakyat menanti sikap presiden. Langka apa yang akan diambli? Team sembilan
melalui ketuanya, Syafii Maarif mengisyaratkan bahwa persiden tak akan melantik
BG. Bahkan Syafiia Maarif menyampaikannya secara terbuka ke publik. Harapan
kita semua persdiden bisa mengambil keputusan tegas secepatnya, memilih calon
kapolri yang bersih dan mengembalikan POLRI dan KPK berwibawa. Pak presiden
harus mendengar panggilan nurani rakyat. Pak presiden jangan hanya menjadi
petugas partai seperti yang sering diucapkan Puan Maharani, tapi menjadi abdi
negara dan rakyat. Ditunggu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar