Kementerian Dalam Negeri akhirnya
mengurungkan kenaikan dana partai politik. Berkaitan dengan ini menteri dalam
negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa di samping disebabkan banyaknya pihak
yang menentang juga karena sebagian partai politk tidak mau menerima bantuan
dana dari pemerintah dan ada beberapa anggota DPR yang tidak menghendaki, walau
sudah 10 tahun belum pernah mengalami kenaikan. Pemberian dana bantuan partai selama ini didasarkan pada
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada partai
politik. Penghitungannya, partai yang memperoleh kursi di Senayan akan mendapat
bantuan Rp 108 per suara, yang diperoleh pada pemilihan umum terakhir. Bantuan
dana tersebut diberikan setiap tahun.
Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 Pasal 9, dana tersebt digunakan
sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai
Politik. Namun, prakteknya dana itu sangat jauh untuk mencukupi operasional
partai secara keseluruhan. Partai biasanya menarik iuran dari anggota, atau
mencari sumber lain. Untuk alasan ini, beberapa partai dan politisi mengusulkan
kenaikan. Namun rakyat nampaknya belum bisa mamahami dan menerimanya. Mereka
kembali menolak.
Respon
Negatif
Bila kita mengamati, kenapa publik
(baca: masyarakat) selalu merespon negatif apa yang terkait dengan partai
politik atau para politisi? Sebelumnya mengenai dana aspirasi khalayak ramai
juga menolak dan menentang. Rasa-rasanya apa yang datang dari para poltisi itu
buruk yang harus dilawan. Saya sebagai orang awam melihatnya sebagai berikut, pertama, berkaitan dangan hilangnya kepercayaan
rakyat. Rakyat sudah tak percaya lagi
pada partai politik atau politisi. Hilangnya kepercayaan tersebut bukan tanpa
sabab. Tetapi semata-mata merupakan buah atau hasil dari apa yang dilakukan
oleh partai atau politisi selama ini. Mereka seringkali membohongi rakyat.
Partai kerapkali tidak konsisten. Inkonsistensi itu berkait dengan kepentingan
kelompok atau pribadi yang setiap saat berubah. Menjadi bohong besar kalau
mereka melakukan sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara. Rakyat pun telah
memahami dan menyadarinya. Mereka berada pada kewaspadaan untuk tidak tertipu
kembali oleh janji-janji saat kampanye.
Merosotnya kepercayaan ini sudah
berlangsung cukup lama. Di awal tahun 2014 saja hasil survei Political
Communication Institute (Polcomm Institute) menyebutkan bahwa mayoritas publik
tidak mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya
parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen,
dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen.(http://nasional.kompas.com/read/2014/02/09/1551505/Survei.Mayoritas.Publik.Tak.Percaya.Partai.Politik)
Kedua,
banyak kader partai atau para politsi yang tersangkut kasus korupsi. Kasus
berdatangan silih berganti, dan menimpa seluruh partai. Hampir tak ada partai yang bersih. Korupsi tak hanya di
pusat. Di daerah banyak kepala daerah, kepala instansi atau kepala dinas yang
terjerat tindak pidana korupsi. Dari ketua umum, para petinggi sampai anggota
biasa. Sederet nama besar politisi menjalani tahanan karena korupsi seperti
Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaq, Andi Malarangeng, Surya Darma Ali dan
masih banyak lagi. Rakyat menilainya sebagai kejahatan dan pengkhianatan pada
mereka, juga pada bangsa dan negara.
Ketiga, konflik internal partai.
Konflik mengisyaratkan banyaknya kepentingan. Konflik menandakan ego kuat para
poltisi terhadap kepentingan masing-masing. Kepentingan-kepentingan kelompok
dan golongan itu lebih mereka perjuangkan dibandingkan kepentingan bangsa dan
negara.
Keempat,
partai jauh dari etika politik atau biasa disebut politik santun.Politik
menghalalkan segala cara menjadi gaya para poltisi dalam merebut semua
kepentingan. Yang paling mutakhir kita dipaksa menyaksikan dagelan para
politisi mengusung isu resafle kabinet. Mereka terlihat memaksa, walau resafle
merupakan hak perogatif presiden. Mereka tak malu meminta kusrsi atau menuntut
tambahan jatah. Untuk tujuan itu bahkan mereka sanggup saling menyalahkan,
saling menuduh, saling memfitnah, saling menjatuhkan di depan presiden
semata-mata untuk mencari muka, atau menjatuhkan lawan. Sungguh keji. Sungguh
ironi, mamalukan, dan kampungan. Kabinet kerja yang semestinya bekerja dan
bekerja menjadi medan pertarungan sesama anggota kabinet.
Mengembalikan
kepercayaan
Kondisi dan permasalahan di atas
seharusnya segera disadari oleh politisi, mengembalikan kembali kepercayaan
rakyat. Bila tidak, jangan salahkan rakyat menghukumnya dalam pemilu mendatang.
Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, tunjukkan komitmen yang kuat
dalam memberantas korupsi. Niat yang sungguh-sungguh, tidak kamuflase. Komitmen
tulus memudahkan kita semua dalam memberantas korupsi. Komitmen dibarengi
dengan tekad bersama. Korupsi harus dilawan secara sama-sama, oleh semua pihak.
Dan sampai hari ini saya belum melihat keseriusan partai politik dalam
memberantas korupsi. Itu terlihat dari sepak terjang para politisi dalam
mengebiri KPKL misalnya. Bila demikian rasanya sulit mengembalikan kepercayaan
rakyat. Pengamat Politik
dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Cecep Effendy (2011) menegaskan bagaimana
masyarakat bisa percaya sama Parpol atau elit-elitnya yang mengatakan ingin
memberantas korupsi, sementara perilaku para elit Parpol tidak menggambarkan
hal yang demikian dan Parpol sendiri sampai saat ini tidak ada satupun yang bisa
membuktikan bersih dari segala permainan penyalahgunaan anggaran negara.
Akhirnya politisi berkomentar mengenai isu pemberantasan korupsi pun tidak
dianggap dan dipercaya lagi oleh rakyat.
Kedua,
merealisasikan janji. Janji adalah hutang yang harus dibayar. Politisi setelah
berhasil meraih apa yang diinginkan menjadi anggota dewan, kepala daerah,
menteri atau lainnya, segera mewujudkan apa yang telah dijanjikan saat
kampanye. Janji-janji mereka akan selalu diingat dan dicatat oleh rakyat.
Mereka harus memfokuskan diri untuk bekerja demi rakyat. Partai jangan
mengganggunya, jangan mengusiknya dengan seabreg kepentingan atau agenda
terselubung partai.
Ketiga,
menampilkan politik santun. Adalah berpolitik mengedepankan akhlahk muliah.
Politik mengedepankan keteladanan, bukan sesumbar mengobral janji mengedepankan
retorika.
Akhirnya kembali tidaknya kepercayaan
dari rakyat bergantung pada itikad baik
para pelaku politik dalam mengelola partai. Peran mereka dalam mengurus negara
(baca: memerintah) akan selalu diamati dan diukur sejauhmana memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Rakyat akan selalu mengevaluasi pilihannya setiap
lima tahun dalam pemilu. Saat itu kepercayaan mereka bisa diketahui. Wa Allahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar