Beberapa waktu lalu kita dikejutkan
dengan statemen Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo yang mengatakan ada menteri
yang menjelek-jelekan presiden. Ungkapan itu membuat publik bertanya-tanya
siapa menteri dimaksud? Tjahyo tak bergeming, tak menyebutkan nama dengan
alasan tidak etis. Sebuah jawaban yang menurut saya mengambang, menimbulkan
tanya. Apa mengumbar statemen ke publik, menuduh rekan sesama anggota kebinet
etis? Jelas tidak etis, apalagi di bulan suci Ramadahan.Itu bagian dari fitnah.
Kalau alasanya untuk menjaga wibawa presiden sebenarnya ada cara lain yang
lebih elok, bijak, mulia seperti menyelesaikannya secara internal antara PDIP
dan presiden Jokowi. Tak perlu disampaikan ke publik. Nampaknya ada maksud lain
dibalik tuduhan itu. Ada apa di balik “menteri menjelek-jelekkan presiden”?
Dengan mudah rakyat membacanya sebagai
manuver politik. Tujuannya tak lain mendorong lebih cepat dilakukannya resufle
kabinet. Ini bukan pertama kali. Sebelumnya elit PDIP menyebut ada brutus di
istana yang menghalangi-halangi komunikasi bu Megawati dengan Jokowi. Dari
sudut pandang mereka (baca:elit PDIP) istilah brutus digunakan karena dianggap
sebagai benalu bagi Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan sekaligus
sebagai penghalang komunikasi Jokowi dengan PDIP sebagai partai pengusung.
Mereka diklaim sebagai pengkhianat. Saat itu tuduhan mengarah ke sekretaris
kabinet Andi Wijayanto, Luhut Panjaitan, dan Rini soemarno. Nah, untuk yang
sekarang tuduhan mengarah ke siapa?
Adalah Ahmad Basyarah yang pertama kali
memberi kesaksian di salah satu TV nasional
tentang rekaman suara yang diduga kuat seorang menteri, dalam sebuah
acara, menjelek-jelelkan presiden. Sayang dia tak menyebut nama. Kemudian sinyalemen
itu dilanjutkan oleh Politisi PDI Perjuangan lainnya
Masinton Pasaribu yang menegaskan bahwa sang menteri dimaksud adalah salah satu
menteri permpuan di jajaran kementerian bidang ekonomi. Tuduhan kembali
mengarah ke Rini soemarno.
Siapa
sebenarnya Rini Soemarno?
Pertanyaan di atas wajar muncul.
Karena sejak awal kabinet kerja dilantik perempuan yang satu ini selalu
mendapat sorotan dan tuduhan miring. Mulai dari tuduhan agen neoleberal dalam
bidang ekonomi sampai urusan kewarganegaraan ganda. Anehnya tuduhan itu datang
dari PDIP yang merekomendasikan Rini bergabung dengan Jokowi dan menjadikannya
sebagai ketua team transisi berasama Andi Wijayanto, Akbar Faisal dan lainnya.
Perempuan yang bernama asli Rini Mariani Soemarno lahir di Maryland,
Amerika
Serikat, 9 Juni 1958. Ayahnya, Soemarno, merupakan Gubernur Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan Kabinet Kerja III periode 1960-1962. Di tahun 1962-1963,
Soemarno masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dan juga Menteri Urusan
Bank Sentral Kabinet Kerja IV. Kemudian mulai 1964-1966, Soemarno menjabat
sebagai Menteri Koordinator Kompartimen Keuangan di empat kabinet yang berbeda.
Alasan ditunjuknya sebagai Gubernur Bank Indonesia ialah karena Soemarno pernah
menjabat sebagai Eksekutif Direktur Bank Internasional untuk Rekontruksi dan
Pembangunan di Washington mulai 1 November 1958 hingga Oktober 1960.
Pada masa kecilnya, Rini pernah
berpindah Amerika Serikat, Jakarta, dan Belanda karena tugas ayahnya. Rini mendalami studi
ekonomi di Wellesley College, Masschusetts, Amerika Serikat pada tahun 1981.
Setelah lulus, Rini sempat magang di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan
memulai karirnya dengan bekerja di Citibank Jakarta pada tahun 1982. Karirnya terus melesat hingga
menggapai kursi Vice President yang menangani Divisi Coorporate Banking,
Marketing and Trainning. Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku
tangan malah menginginkan tantangan yang lebih besar. Karena itu, pada 1989 ia
kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus
mengembangkan dirinya. Dengan filosofi ingin berkarya sebaik mungkin, Rini
terus mendaki tangga sukses. Tahun 1990 karirnya di Astra Internasional
berbintang terang. Tahun itu ia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris
perusahaan itu, menduduki kursi Direktur Keuangan Astra Internasional sampai
1998. Pada Kabinet Gotong Royong tahun 2001 hingga
tahun 2004, Rini dipercaya sebagai menteri perindustrian.
Kedekatanya dengan Megawati Soekarno
Putri menjadikan khalayak menganggapnya sebagai kader PDIP. Namun mantan
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo membantah bahwa Rini adalah
anggota atau kader partai. Menurut Tjahjo, Rini sudah dekat jauh sebelum
menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian era Megawati Soekarnoputri. Rini
pun membenarkan perihal kedekatannya dengan Megawati. Rini menceritakan sejarah
kedekatan ayahnya dengan Presiden Soekarno, ayah Megawati. Dia mengatakan kakak
tertuanya seumuran dan bersahabat dengan Guntur Soekarnoputera (kakak
Megawati). Kakak perempuannya satu sekolah dengan Sukmawati Soekarnoputri (adik
Megawati). Namun secara pribadi, Rini mengaku tak banyak berinteraksi dengan
mereka karena umur jauh berbeda. Setelah menjadi menteri, Rini baru intens
berinteraksi dengan Megawati. Karena kedekatannya dengan Megawati membuat dia
terpilih menjadi Kepala Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
Rini Soemarno sengaja dipasang oleh
Megawati sebagai orang kepercayaannya di lingkungan Jokowi. Dari Rini, Mega
berharap banyak mendapat informasi terkait dengan Jokowi. Melaluinya, Mega
menyampaikan pesan ke Jokowi. Rini dijadikan seperti Radar buat Megawati yang setiap saat dapat
memantau gerak-gerik Jokowi. Tapi yang terjadi justru kebalikannya, Rini
nampaknya memilki agenda tersendriri. Dia akhirnya lebih setia ke Jokowi yang
sekarang menjadi atasanya. Nah, alasan inilah yang memerahkan telinga elit
PDIP. Mereka geram, meyebutnya sebagai pengkhianat (baca:brutus istana),
menuduhnya mendistorsi pesan Megawati, serta menghalang-halangi komunikasi Mega
- Jokowi. Dan terakhir ia dituduh sebagai menteri yang menjelek-jelekkan
presiden.
Pelajaran
bagi Publik
Dagelan politik tingkat tinggi ini
banyak memberi pelajaran pada publik atau rakyat. Diantaranya dapat saya sebut,
pertama, politik selalu buta,
menghalalkan segala cara untuk mengejar apa yang menjadi kepentingan.
Praktek-praktek keji seperti menuduh, mendiskriditkan, menjadi wajar dilakukan
untuk sebuah kepentingan. Politik seringkali
tak mengenal etika, norma juga agama. Agama hanya seringkali dijadikan alat dalam
mencapai tujuan politik. Dagelan-dagelan semacam ini sering bermunculan baik di
daerah maupun di Jakarta. Ini membuka mata rakyat bahwa dalam politik tidak
selalu untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi melulu untuk kepentingan
kelompok ,golongan atau keppentingan partai.
Kedua,
dalam politik tak mengenal lawan dan kawan. Tidak ada kawan sejati.
Sebaliknya tidak ada lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati yang
dikejar walau harus menghancurkan pertemanan dan persahabatan. Maka tak heran
hari ini kawan besok menjadi lawan atau sebaliknya. Orang menyebut politik itu
cair, susah ditebak. Jelas susah ditebak, karena kepentingan juga selalu cair.
Di sinilah antara kawan dan lawan bercampur. Bagi orang awam seperti saya
kadang susah memilah-milahnya.
Ketiga,
mempertanyakan politk santun. Apa ada politik santun? Belakangan para
poltisi kerapkali menyebut-nyebut poltik santun sebagai jargon baru mereka
dalam berpolitk. Secara teori bisa jadi poltik santun dapat dipahami sebagai
berpolitk yang mengedepankan etika dengan menghindari fitnah, pembunuhan
karakter, mencarai kambing hitam, atau lainnya. Tetapi pada dataran praktis
bisa disimpulkan hampir tak ada yang namanya poltik santun. Poltik terlihat
kejam. Poltik tebukti keji dengan menhalalkan segala cara (walau melanggar
etika) dalam menggapai tujuan.
Akhir kata, siapa dibalik “menteri
yang menjelek-jelekkan presiden”? Hanya Allah dan pelaku sesungguhnya yang
mengetahui. Karena semuanya masih dalam putaran tuduhan yang belum terbuktikan.
Dan ada apa dibalik “menteri yang menjelek-jelekkan presiden” ? Kembali hanya
Allah dan pihak yang menuduh yang mengetahui maksud sesungguhnya dari upaya
tuduhan itu. Bagi rakyat awam seperti saya, sudah beruntung bisa mengambil
hikmah dan pelajaran dari manuver-manuver politik seperti itu. Pelajaran untuk
selalu waspada, memahami setiap sepak terjang para politisi di negeri ini. Hal
itu tentu untuk menentukan pilihan di waktu akan datang. Wa Allahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar