Baru redah konflik KPK-Polri, sekarang
akan ada konflik baru. Konflik yang menarik Komisi Yudisial (KY) dan Polri berhadapan, bersitegang.
Adalah Ketua KY Suparman Marzuki dan Komisioner lainnya Taufiqurrahman Sauri
telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran
nama baik yang diduga dilakukan keduanya terhadap hakim Sarpin Rizaldi. Hakim
kontroversial yang pernah menggugurkan status tersangka Komjen Budi Gunawan itu,
melalui salah satu pengacaranya, melaporkan keduanya pada tanggal 30 Maret
2015. Sarpin menganggap keduanya telah mencemarkan nama
baiknya soal putusan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Menurut sudut pandang komisioner KY
seperti yang ditegaskan Taufiqurrahan Sauri, dalam
melaporkan dugaan pencemaran nama baik, Sarpin tidak memenuhi kedudukan hukum
yang sesuai sebagai korban karena apa
yang dikomentari oleh kedua pimpinan lembaga tinggi negara itu hanya sebatas
hasil putusan saat memimpin praperadilan, bukan pernyataan secara pribadi. (.kompas.com,
10/07/2015)
Sebaliknya, Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum
Bareskrim Polri menegaskan, penetapan
tersangka tersebut sesuai prosedur. Dua alat bukti telah ditemukan. Yakni tulisan di media massa yang menurut pelapor
telah mencemarkan nama baiknya dan keterangan saksi ahli bahasa serta ahli
pidana. Dua alat bukti sudah cukup
menetapkan terlapor menjadi tersangka. Rencananya, Penyidik dari Direktorat Tindak
Pidana Umum Bareskrim Polri akan memanggil kedua tersangka tersebut pada Senin
(13/7/2015) .
Sebelumnya (30 Juni 2015) KY memutuskan
untuk memberikan rekomendasi sanksi berupa skors selama 6 bulan terhadap Sarpin
Rizaldi. Keputusan ini diambil dalam rapat pleno yang diikuti semua Komisioner
KY. Ini mirip dengan apa yang menimpa KPK beberapa waktu lalu, saat kedua
pimpinan (AS, BW) ditetapkan sebagai tersangka setelah menetapkan Jendral BG
sebagai tersangka. Kemiripan ini yang mempercepat mengalirnya dukungan publik
terhadap KY.
Kenapa
kerap kali terjadi?
Konflik
antara penegak atau lembaga hukum seperti ini bukanlah yang pertama terjadi. Sering. Bahkan kerap
kali terjadi. KPK-Polri saja orang menghitung sudah tiga jilid yang disebutnya
sebagai pertarungan cicak vs buaya. Nah sekarang kembali, menimpa KY-Polri. Apa
ini juga akan berjilid-jilid? Waktu yang akan menjawab. Sebagai orang awam
hukum, saya mempertanyakan kenapa ini terjadi? Dan saya yakin bukan hanya saya
yang mempertanyakannya, segenap rakyat pun memendam perasaan yang sama.
Menurut
hemat saya, konflik-konflik di atas terjadi karena hukum ditegakan bukan demi hukum itu sendiri tapi untuk kepentingan
lain. Karenanya saya melihat konflik seperti itu sebagai konflik kepentingan.
Ada beberapa kepentingan (baca:motif) yang sering muncul, mencampuri hukum pertama, kepentingan politik. Ini sangat
dominan dan kerap kali terjadi. Menurut
Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for
Public Policy Research, jika upaya penegakan hukum disusupi hal yang berbau
politis maka sudah jelas penanganan suatu kasus akan terseret ke ranah
politisasi. Hal ini ditandai misalnya dengan pengumuman tersangka suatu kasus yang
menunggu momentum tertentu. (http://www.theindonesianinstitute.com).
Bila kasus hukum
masuk ke rana politik biasanya konflik akan memakan waktu lebih lama, dan
melibatkan banyak pihak karena dalam politik banyak dan beragam kepentingan.
Dalam kasus-kasus sebelumnya seperti
KPK-Polri dari jilid 1 sampai yang terakhir motif politk sangat terlihat dengan
jelas. Sehingga peneyelesainnya pun beraroma politis yang tak jarang
mengedepankan kompromi-kompromi. Untuk kasus KY-Polri, mungkin belum bisa
ditarik kesimpulan. Waktu akan menjawab. Dan khalayak ramai secara cepat pasti
akan bisa memahami.
Kedua,
berlatar belakang dendam. Dendam muncul pada institusi atau penegak hukum
saat anggotanya terjerat kasus hukum di institusi/penegak hukum lainnya. Dendam
itu memburu yang dianggap lawan (penegak dan institusi lain), walau secara
hukum belum tentu bisa dibuktikan kesalahannya.
Ketiga,
melemahkan peran intitusi lain. Untuk hal ini, KPK telah diyakini oleh publik
sebagai institusi atau penegak hukum yang perannya sering dilemahkan oleh
berbagai pihak, termasuk intitusi atau penegak hukum lainnya. Kenapa? Karena
KPK menjadi ancaman bagi pelaku korupsi. Sedang mereka (baca:Koruptor) ada
hampir di semua lini kepemerintahan termasuk di intitusi/penegak hukum seperti
Polri, Kejaksaan. Bagi koruptor KPK adalah musuh bersama. Semangat melemahkan peran ini sangat
berbahaya bagi penegakan hukum.
Saat hukum ditegakan bukan untuk tujuan
hukum maka itu disebut kriminalisasi.
Kriminalisasi diartikan sebagai sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan
sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah
pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai
penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam
peraturan perundang-undangan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi)
Solusi
ke depan
Ke depan agar tidak terjadi lagi
kriminalisai antara penegak atau institusi hukum, menurut saya ada beberapa hal
yang dapat dilakukan, pertama,
pimpinan-pimpinan penegak atau institusi hukum sebaiknya jangan dari kalangan
poltisi, atau orang yang bersentuhan dengan poltik. Seperti Jaksa Agung, Ketua
KPK, idealnya dipilih bukan dari kalangan poltisi atau yang pernah bersentuhan
dengan politik seperti mantan politisi. Hal itu akan menarik lembaga yang dipimpinnya
pada kepentingan politi tertentu.
Kedua,
melihat konflik yang pernah terjadi antara penegak hukum, pimpinan intitusi/penegak hukum jangan dipilih dari mereka yang pernah
berkonflik. Contoh konkrit sekarang pansel KPK mestinya tidak memilih calon
dari Polri atau Kejaksaan. Kenapa? Karena kedua lembaga itu pernah berkonflik
dengan KPK, bisa jadi nanti akan menjadi problem tersendiri bagi KPK dalam
memaksimalkan perannya memberantas korupsi.
Ketiga,
meningkatan profesionalitas. Penegak
hukum profesional akan menegakkan hukum secara adil. Yang dilakukan pasti
semata-mata untuk hukum. Profesionalitas itu bisa dilakukan dengan pendidikan
dan pelatihan yang terpadu, terprogram dan sistemik.
Keempat,
pada pihak lain diharapkan tidak mencampuri urusan hukum. Biarkan para
penegak hukum menjalankan tugasnya. Beri kepercayaan pada mereka.
Ringkasnya, saat hukum ditegakan bukan
kerena hukum itulah kriminalisasi. Kriminalisasi antara penegak hukum akan
mengganggu laju proses penegakan hukum itu sendiri. Dan mandegnya pengekan
hukum akan merugikan kita semua sebagai bangsa yang bercita-cita menghadirkan
keadilan bagi semua rakkyat. Nah, selayaknya kita semua menghindarinya. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar