Setiap
laki-laki beristri dan memilki seorang anak dapat mengklaim, mengaku dirinya
sebagai ayah. Sebab dalam bahasa Indonesia ayah diartikan sebagai orang tua laki-laki dari seorang anak. Tergantung hubungannya dengan sang
anak, seorang "ayah" dapat merupakan ayah kandung (ayah secara
biologis) atau ayah angkat. Panggilan "ayah" juga dapat diberikan
kepada seseorang yang secara de
facto bertanggung jawab
memelihara seorang anak meskipun antara keduanya tidak terdapat hubungan resmi.
Apa
betul seperti itu? Rasanya tak sesimpel itu. Jika memahami ayah sebatas
definisi di atas, semua orang dapat berbangga hati mengaku sebagai ayah ketika
anaknya sukses. Seorang dapat membusungkan dada saat anaknya jadi milyarder, pejabat atau lainnya walaupun sepanjang hayatnya ia
tak pernah mendidik anak tersebut. Saat kecil, hanya ibunya yang mengajarinya
mengenal huruf dan membaca. Ibunya dengan penuh kasih sayang membimbing,
melatih dan membantunya setiap menghadapi kesulitan dalam belajar. Gurunya di
sekolah yang lebih memperhatikan dan menyayanginya. Sang ayah sibuk bekerja,
dan bekerja. Menurutnya, tugas seorang ayah adalah mencari uang
sebanyak-banyaknya guna biaya hidup keluarga dan sekolah anak. Seoarang yang
mengaku ayah karena memilki anak seperti orang yang mengaku pemain bola hanya
sekedar karena memilki bola. Ayah itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai
mengasuh anak bukan sekedar 'membuat' anak.
Persepsi yang keliru soal
peran ayah seperti di atas berpotensi terhadap kegagalan para orang tua dalam
mengantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan. Lebih lagi, tak sedikit orang
tua yang tak mau belajar. Pemain bola profesional menjadi mahir bermain bola
bukan karena memiliki bola saja. Namun, ia mau belajar sungguh-sungguh dan
berlatih keras secara terus menerus. Sekarang, kita apa pernah belajar untuk
menjadi seorang ayah? Elly Risman Musa, seorang Psikolog ketika mengapresiasi
bukunya Munif Chatib berjudul Orangtuanya Manusia mengatakan kita semua ternyata tidak siap
menjadi orang tua. Kita bersekolah untuk menjadi ahli di bidang masing-masing,
tetapi tidak untuk menjadi ayah atau ibu. Ilmu dan tekhnologi berkembang, kita
tetap menggunakan “cara lama” dalam mengasuh anak kita yang kini disebut Gen Z.
Karenanya, kita hanyut dalam “tren” bagaimana anak orang, begitula anak
kita.
Sekarang, “ayah
sibuk” menjadi trend para orang tua.
Kesibukan ayah menjadi alasan mereka tak memperhatikan anak-anaknya. Seorang
anak di era global harus menerima nasib, jauh dari ayah. Banyak anak yang
merasa menjadi yatim karena kesibukan ayahnya. Ayah tak memilki banyak waktu
dengan anak-anak. Terlebih yang hidup di lingkungan masyarakat perkotaan.
Mobilitas yang tinggi di perkotaan memacuh semua orang bergerak cepat. Siapa
cepat dapat. Lambat tak dapat. Hal demikian, menjadikan para ayah melupakan tugas dan
kewajibannya dalam keluarga terutama terkait pendidikan anak mereka. Ayah super
sibuk tak hanya ada di kota. Dalam masyarakat pedesaan pun fenomena tersebut
mulai muncul dan berkembang.
Guna menjadi ayah yang
baik, menurut hemat saya ada beberapa tips yang bisa dilakukan. Pertama, tetaplah meluangkan waktu untuk
keluarga. Sesibuk apa pun kita, sebagai ayah sebaiknya tetap berkomunikasi,
memantau perkembangan anak dari waktu ke waktu. Luangkan waktu walau untuk
sekadar menanyakan prihal makan apa belum? Sedang apa di rumah? Bersama siapa?
Baik juga bermain dengan anak. Keterlibatan
ayah dalam mendidik anak diantaranya bisa dilakukan dengan bermain atau belajar
bersama. Betapa senang anak-anak apabila ayah mau bermain, bergembira bersama
mereka. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bagaimana Nabi Muhamad SAW bermain
dan bercanda ria dengan cucu kesayangan beliau Al-Hasan dan Al- Husein.
Rasulullah SAW pernah menjulurkan lidahnya dalam bercanda dengan keduanya.
Dalam hadist lain, Anas bin Malik ra menuturkan, bahwa
Rasulullah SAW senang bercanda dengan
Zainab, putri Ummu Salamah ra. Beliau memanggilnya dengan: Ya Zuwainab, Ya
Zuwainab, berulang kali”. Zuwainab artinya Zainab kecil. Nabi SAW rela
menggendong putrinya sambil shalat. Beliau shalat sambil menggendong Umamah
putri Zaenab binti Rasulullah Saw. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan
ketika sujud, beliau meletakkannya.
Kedua, belajar terus. Menjadi orang
tua yang baik perlu belajar seperti peran yang lain. Memang tak ada sekolah
untuk jadi orang tua. Namun demikian tak menggugurkan kewajiban belajar seorang
ayah. Menjadi ayah dalam mendidik anak membutuhkan ilmu, pengalaman, dan pelatihan.
Sekarang sudah mulai banyak seminar parenther terkait pendidikan. Ikutilah.
Banyak manfaat yang dapat dipetik. Kemudian bacalah buku. Jangan berhenti
membaca karena alasan usia. Membaca sangat bermanfaat membekali pengetahuan
yang dibutuhkan.
Ketiga, jadilah pendidik yang
diteladani. Keluarga sejatinya adalah sekolah pertama dan utama bagi anak.
Dalam keluarga, ayah bertindak sebagai kepala sekolah yang bertanggungjawab
penuh prihal anak didik mereka. Ibu berperan sebagai guru bagi anak mereka.
Sebagai kepala sekolah dalam keluarga, ayah membuat kurikulum yang dibutuhkan
oleh anak sesuai yang diinginkan. Ayah
dan ibu harus sinergis. Saling mendukung, saling menopang. Tidak bergerak dan
bertindak sendiri-sendiri. Sebagai kepala sekolah dalam keluarga, ayah juga
sepantasnya menjadi seorang pendidik yang diteladani baik oleh anak maupun oleh
anggota keluarga yang lain.
Keempat, sekolah hanya mitra dalam
mendidik. Sebab itu, tak sepatutnya
menyerahkan urusan pendidikan anak sepenuhnya ke sekolah. Tak sedikit dari kita
yang mengandalkan sekolah dalam mengantarkan kesuksesan hidup anak. Sebagai
mitra, jalinlah komunikasi dengan sekolah. Jangan datang ke sekolah saat ada
rapat saja. Kebanyakan dari kita, mau datang ketika diundang oleh pihak
sekolah. Itu pun biasanya membahas prihal biaya pendidikan. Soal yang lain,
hampir tak pernah. Ini kesalahan dan kebiasaan kita selama ini. Ke depan wajib diubah.
Walhasil, ayah tak sekedar orang tua biologis bagi
anak. Ayah adalah kepala sekolah kehidupan bagi mereka. Ayah merupakan pendidik
sejati sekaligus teladan bagi anak-anak. Kehadiran dan sentuhan kasih sayang
mereka sangat dibutuhkan. Jangan biarkan anak-anak kita merasa menjadi yatim
karena kesibukan kita. Wa Allahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar