Rakyat Indonesia dikejutkan dengan mencuatnya
sejumlah nama besar dalam dakwaan Jaksa KPK dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi
mega proyek e-KTP dengan tersangka mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kemendagri, Irman dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto di
Pengadilan Tipikor, Jakarta. Mereka berasal
dari politisi, birokrat juga pengusaha. Diantara nama yang disebut, ada Ketua
DPR RI Setya Novanto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo, Mantan Ketua DPR RI Marzuki Ali, Mantan Ketua DPR Ade
Komarudin, Anas Urbaningrum dan sederet nama lainnya. Mereka diduga telah menerima
uang dari proyek bernila 5,9 triliun tersebut. Uang negara dijadikan “bacakan” oleh
para koruptor secara berjamaah. Program e-KTP pun terbengkalai. Rakyat kembali
menjadi tumbal.
Dalam hitungan KPK, kerugian negara
akibat kasus e-KTP mencapai 2,3 triliun lebih. Sungguh luar biasa. Tak bisa
dipungkiri, prilaku korupsi menjadi
penyakit kronis bangsa ini. Kehadiran lembaga sekuat KPK belum mampu
menghadirkan efek jera bagi koruptor. Nyatanya, korupsi makin merajalela.
Korupsi dilakukan secara masif dan sistemik. Korupsi telah menyentuh hampir
seluruh lembaga negara. DPR, DPD, Kementerian, Peradilan, MK, Kepolisian dan
lainnya. Barangkali, hanya lembaga kepresidenan yang belum terjebak dalam
lingkaran setan kasus korupsi. Kenapa korupsi marak dilakukan?
Menurut hemat saya, ada beberapa hal
kenapa korupsi sulit dibrantas. Pertama, faktor mentalitas. Mental korup
telah mendarahdaging bangsa kita. Hal tersebut menandakan kegagalan pendidikan
selama ini dalam mencetak generasi beriman yang berakhlak mulia, berintegritas
tinggi. Pendidikan belum berhasil mengantarkan manusia Indonesia menjadi pribadi
yang jujur dan bertanggungjawab. Pendidikan kita hanya baru mampu menjadikan
mereka cerdas, pintar dan trampil. Orang jujur sangat langka di negeri ini.
Orang pintar banyak, tapi sayang tak sedikit dari mereka yang “keblinger.”
Apa
yang salah dalam sistem pendidikan kita? Pendidikan memang hal sangat penting
dalam membangun dan mengisi kemerdekaan.
Sejarah mencatat, setelah dibombardir pasukan sekutu saat perang dunia kedua,
Kaisar Jepang mempertanyakan tentang guru. Kaisar sangat yakin membangun kudu
dimulai dari pendidikan. Dengan modal pendidikan Jepang dapat mengejar
ketertinggalan. Sekarang, Jepang menjadi salah satu negara maju. Maka tak ada
pilihan lain, kedepan sistem dan paradigma pendidikan kita wajib direvolusi.
Sebenarnya dari waktu ke waktu pendidikan mengalami perubahan. Malahan,
perubahan seringkali dilakukan walau kadang terlihat terburu-buru dan asal.
Pendidikan kita sekarang sudah mulai diarahkan pada penanaman, penguatan
karakter.
Pendidikan karakter menjadi mutlak
dibutuhkan. Pendidikan karakter dipahami
sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Menurut
Thomas Lickona pendidikan
karakter adalah suatu usaha
yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Kemendikbud sendiri
telah menetapkan 18 hal sebagai karkter yang wajib ditanamkan dalam mendidik
peserta didik. Yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri dan lainnya.
Kemudian,
pendidikan jangan lagi terjebak pada nilai
oriented. Pendidikan tak boleh lagi berkutat pada pencapaian angka-angka.
Menurut Munif Chatib, pendidikan itu sebaiknya berorientasi pada cara
memenuhi kebutuhan hidup, menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi
serta mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang
dimiliki. Saya menambahkan satu lagi
bahwa pendidikan selayaknya memotivasi peserta didik dalam penanaman karakter
atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya
dibekali ilmu (knowledg), skil atau ketrampilan, tapi ditanamkan juga karakter
yang kuat.
Kedua, korupsi menjadi budaya. Budaya korupsi telah mengakar. Sebab,
praktek prilaku korup telah berlangsung dalam waktu cukup lama. Berawal di
jaman orde lama, menguat di orde baru sehingga sekarang kesulitan mencabutnya. Kehadiran KPK
di era reformasi tak otomatis membendung
praktek korupsi. Korupsi sudah menyatuh dengan birokrasi dalam pemerintahan
secara masif dan sistematis. Mencabut budaya korupsi memang sulit dilakukan.
Tapi bisa, asal ada itikad kuat dan komitmen tinggi dari semua elemen
masyarakat. Dalam melawan korupsi diperlukan revolusi mental, perlawanan
bersama secara berkesinambungan. Semua dari kita tak boleh diam.
Korupsi
tak akan hilang jika hanya mengandalkan pemberantasan oleh KPK. KPK hanya mengupayakan efek jerah
bagi pelaku korupsi dan masyarakat umum. Kerja keras KPK sebaiknya dibarengi
dengan perlawanan setiap dari kita. Jangan diam melihat praktek korupsi. Tolak
jika diajak. Laporkan ke pihak penegak
hukum jika menyaksikan. Saatnya orang jujur bicara, bertindak. Diamnya mereka akan
menyuburkan praktek korupsi.
Ketiga, sistem birokrasi membuka peluang prilaku korupsi.
Regulasi dan peraturan perundang-undangan tak sedikit yang membuka cela
penyelewengan. Cela itu dimanfaatkan oleh pejabat bermental korup guna
memperkaya diri dengan cara ilegal. Sebab itu, setiap regulasi, kebijakan dan
peraturan selayaknya tidak membuka cela penyelewengan. Di sini ketelitian dalam
mengeluarkan regulasi dan membuat peraturan
dibutuhkan. Hindari dan tutup cela, potensi praktek pungutan liar.
Pungli sejatinya tangga pertama menuju tindak pidana korupsi. Kaitan dengan
pungli Pemerintah telah membentuk Saber Pungli. Ini kudu didukung oleh
masyarakat. Sekali lagi, jangan diam. Mendiamkan penyelewengan sama saja sedang
melakukannya.
Singka kata, korupsi e-KTP bukan
satu-satunya kasus mega korupsi yang telah dan sedang ditangani KPK. Sebelumnya
sudah ada kasus pembangunan wisma atlet Hambalang, Bank Century dan lainnya.
Korupsi telah menggurita. Maka kewajiban kita semua melawannya. Tolak jika
diajak. Laporkan jika menyaksikan. Saatnya mengubah serta memperbaiki regulasi
dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi disalahgunakan. Dan paling
penting, menyiapkan generasi Indoenesia yang jujur, berkarakter tinggi. Ini PR bagi
para pendidik. Anak didik anda sekarang akan menentukan siapa bangsa Indonesia
10 atau 20 tahun ke depan. Saya yakin upaya penanaman pendidikan karakter yang
dilakukan sekarang akan memetik hasil di waktu mendatang. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar