Belum
lama, teman saya bercerita. Setelah menandatangani fakta integritas, ia disodori
sebuah kertas bertuliskan daftar uang syukuran. Ia diminta menuliskan nominal
yang akan deberikan sebagai ungkapan syukur, lulus serangkaian proses menjadi
kepala sekolah. Teman saya tersebut mengikuti seleksi kepala sekolah sejak setengah
tahun yang lalu dengan berbagai tahapan. Sekarang, katanya tinggal menunggu SK
dan pelantikan.
Kalau cerita di atas benar sungguh
memilukan hati. Juga lucu. Bagaimana tidak, setelah tanda tangan fakta
integritas justru dilakukan pungli. Pungli yang sedang gencar diperangi
pemerintah nyatanya tak membuat jerah oknum bermental korup dalam birokrasi
pemerintahan. Cerita itu juga memunculkan tanya, seriuskah pemerintah (dari
pusat hingga daerah) dalam memberantas segala tindakan beraroma pungli?
Cerita tersebut meyakinkan saya bawa
pungli, korupsi atau sejenisnya merupakan permasalahan karakter bangsa ini.
Segala upaya pemerintah memberantasnya akan tak efektif jika tak diiringi
perubahan mental bangsa ini. Revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi
sungguh nyata dibutuhkan. Persoalanya, bagaimana kita melakukannya?
Pentingnya karakter atau dalam
terminologi Islam disebut akhlak sejatinya telah lama diajarkan pada kita, umat
Islam khususnya. Nabi Muhamad SAW sudah mengaskan, aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Sabda nabi Muhamad SAW tersebut
sekaligus menegaskan misi para nabi dihadirkan ke bumi, yakni memperbaiki
karakter atau akhlak manusia.
Menurut hemat saya, revolusi mental
itu kudu dilakukan dengan pendidikan, yakni menanamkan karakter baik kepada
anak cucu kita sejak dini. Pentingnya Pendidikan karakter memang sedang
didengung-dengungkan oleh pemerintah dan para pendidik. Tapi yang jadi soal,
siapkah dunia pendidikan kita memikul tugas berat itu? Untuk menjawab
pertanyaan ini, pemerintah harus membenahi secara terus menerus sistem
pendidikan di tanah air. Termasuk menyiapkan para pendidik profesional yang
mampu menghadapi tantangan dan tuntutan zaman. Ya, pendidik yang selalu belajar
dan belajar. Dalam istilah Anis Baswedan disebut guru pembelajar.
Pendidikan Karakter
Secara
etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal
dari bahasa Yunani (Greek),
yaitu charassein yang berarti “to
engrave”(Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata“to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis,
memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, atau berwatak. Kepribadian merupakan ciri atau
karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan sejak lahir.(Koesoema,
2007: 80)
Muhammad Alwi (2014) memaknai
pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memeihara yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati.
Menurut Piaget (1967), muatan
pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi moral reasoning,
moral feeling, dan moral behaviour (pengetahuan bermoral, perasaan bermoral,
dan prilaku bermora) atau dalam arti utuh sebagai moralitas mencakup moral
judgment dan moral behaviour, baik yang bersifat prohibition-oriented morality
maupun pro-social morality.
Moral reasoning diartikan sebagai upaya kita memecahkan masalah moral dengan
menggunakan logika sehat. Dalam berlogika secara sehat seseorang harus mampu
memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapinya sebelum memutuskan
pemecahan masalah seperti apa yang akan diambilnya. Setelah masalah
teridentifikasi dengan jelas, orang tersebut harus ber-reasoning:yaitu
membuat pertimbangan-pertimbangan (pertimbangan hukum, agama, dampak,
lingkungan dll) dengan cermat. Secara teori, semakin banyak pertimbangan, semakin
baik keputusan yang akan diambil.
Moral feeling atau perasaan bermoral merupakan kondisi
psikologis seseorang ketika merasakan baik-buruk sesuatu. Perasaan itu muncul
bisa jadi karena pengetahuan yang dimilikinya tentang baik atau buruknya
sesuatu. Moral feeling juga hadir disebabkan kebiasaan seseorang memilih
sesuatu yang baik, menghindari yang buruk. Perasaan bermoral berkaitan dengan emosi. Ketika anak berbuat
tidak benar menimbulkan rasa bersalah, dan ketika anak mampu menyenangkan orang
lain timbul rasa bahagia.
Sedangkan moral behaviour adalah prilaku
yang diterima oleh masyarkat. Moral behavior berbentuk tindakan dan perbuatan.
Dalam bahasa agama moral behviour disebut sebagai akhlak mulia.
Keteladanan
Dalam pendidikan karakter, pendidik
diminta menampilkan keteladanan. Keteladanan sangat berpengaruh besar dalam
membentuk karakter anak. Dan ini menjadi PR kita bersama. Pasalnya, negeri ini
miskin teladan. Para pendidik sebagai ujung tombak wajib menampilkan akhlak
mulia. Mereka akan dicontoh oleh peserta didik. Jika mereka tak mampu menemukan
teladan pada guru, kepada siapa lagi anak kita belajar menjadi manusia
berkarakter? Guru bukan hanya sosok pengajar yang hanya
pandai menyampaikan materi pelajaran. Lebih dari itu, seorang guru wajib memberikan contoh dengan
tingkah laku atau perbuatan.
Pepatah mengatakan guru kencing
berdiri, murid kencing berlar. Ini menunjukkan besarnya pengaruh seorang guru
untuk menjadi teladan di lingkungan sekolah
maupun di luar
sekolah. Apa yang dilakukan oleh guru akan ditiru oleh
siswa. Keselarasan antara kata dan tindakan
dari guru akan sangat berarti dalam membentuk karakter
anak didik.
Singkat
kata, mengutip firman Allah SWT (QS:61:02), Hai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu kerjakan, mari kita semua (pendidik, orang
tua, masyarakat luas) berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak cucu kita.
Keteladan berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Jika anak-anak kita
berkarakter maka akan hadir generasi baru, generasi Indonesia yang berkarakter.
Jika generasi berkarakter telah hadir, saya yakin penyakit sosial seperti
pungli atau sejenisnya tak akan ada lagi.Wa
Allahu Alam