Di negeri ini sering disaksikan
dagelan. Dagelan itu jika diartikan secara cepat adalah lelucon. Dalam banyak
sisi, hidup kita layaknya sebuah dagelan. Tidak ada keseriusan. Kebenaran
terlihat kabur, tak jelas. Kesalahan juga demikian. Rasanya tak ada yang terang
benderang di negeri ini selain saat bulan purnama muncul di setiap pertengahan
bulan. Semuanya terlihat, terasakan, dinilai samar-samar.
Kasus pembunuhan Munir kembali menjadi
diskusi publik. Komite Informasi Publik (KIP) mengabulkan gugatan para aktifis
HAM menuntut pemerintah menyampaikan hasil temuan (laporan) Tim Pencari Fakta
(TPF) kasus Munir. Selama ini pemerintah belum menyampaikannya pada masyarakat.
Padahal
dalam butir ke Sembilan Kepres nomor 111 tahun
2004 disebutkan pemerintah akan mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada
masyarakat. Pengumuman hasil penyelidikan Tim inilah yang tidak pernah
dilakukan SBY. Padahal proses hukum kasus ini terus bergulir, bahkan Polycarpus
Budihari Prijanto sebagai tersangka divonis 14 tahun penjara.
Anehnya, pemerintahan sekarang
(seperti disampaikan Mensesneg) menyatakan bahwa dokumen laporan TPF Munir itu
tak diketemukan. Hilangnya dokumen itu sangat ganjil. Bagaimana tata kelola
administrasi negara dibangun? Rasanya aneh kalau hilang begitu saja. Bisa jadi
dokumen itu sengaja dihilangkan guna mengaburkan atau mempersulit pengungkapan
kasus. Kecurigaan publik mengarah ke
SBY. Sebab berdasarkan kesaksian Yusril Ihza Mahendra Mensesneg saat itu, juga
beberapa pihak lain yang hadir menegaskan dokumen tersebut disampaikan langsung
kepada SBY.
Kemaren (25/10) rakyat Indonesia
berharap ke Pak SBY dapat menunjukkan
titik terang soal keberadaan dokumen laporan Tim TPF kasus Munir. Sehingga
kasus itu segera terungkap tuntas. Apalagi sebelumnya, SBY sudah menyiapkannya
(dua mingguan) untuk membeberkan apa yang sedang diperbincangkan publik. Ya
walaupun sebenarnya terlihat berlebihan. Yang dibutuhkan sebenarnya simpel, apa
Pak SBY menyimpan atau mengetahui keberadaan dokumen tersebut? Nyatanya, api
jauh dari panggang. SBY hanya menggunakannya sebagai panggung untuk menunjukkan
eksistensinya di dunia persilatan tanah air. Tak lebih. Tidak banyak membantu.
Mantan
anggota TPF, Hendardi, menilai, persoalan keberadaan dokumen kasus pembunuhan
Munir adalah perkara mudah yang dibuat seakan polemik yang rumit. Ini hanya
persoalan sederhana, tapi kenapa seakan dibuat sulit sehingga membingungkan
publik.
Hendardi
meragukan alasan pemerintah yang menyatakan tidak memiliki dokumen. Pasalnya,
saat TPF selesai melakukan penyelidikan, ada tujuh berkas laporan yang langsung
diserahkan kepada Presiden SBY. Tidak mungkin hilang karena TPF dulu
menyerahkan hasil laporannya sebanyak tujuh berkas. Masa ya ketujuhnya hilang
begitu saja. Hendardi menilai alasan itu dibuat untuk menutupi keengganan
pemerintah untuk membuka hasil penyelidikan TPF.
Hendardi
benar. Ini sebuah dagelan belaka. Kedua pihak terkait saling melempar.
Pemerintahan sekarang beralasan tak ada dokumen. Sementara pemerintah sebelumnya
tidak dapat menunjukkan dengan pasti keberadaan dokumen. Lucu.
Kasus munir diyakini terkait dengan
para pembesar di negeri ini. Poliycarpus hanyalah korban permainan politik
tingkat tinggi. Pollycarpus tak lebih sekadar ekskutor di lapangan. Sementara
otak dibalik semua itu belum terungkap sampai hari ini. Karena itu, berbagai
pihak mendesak pemerintah Jokowi-JK menuntaskan sampai ke akar-akarnya sehingga
misteri pembunuhan itu menjadi terang benderang. Dan yang paling penting pihak
yang bertanggungjawab wajib menerima hukuman yang setimpal.
Munir dicurigai oleh negara akan
menjual rahasia negara kepada Belanda. Dalam sebuah rapat, Kepala Badan Inteljen
Negara (BIN) saat itu dijabat oleh AM Hendropriyono memerintahkan mencegah
Munir. Untuk tujuan tersebut dijalankanlah opersi inteljen terhadapnya. Tapi sampai
saat ini, AM Hendropriyono belum tersentuh oleh proses hukum.
Mantan Ketua Tim Pencari
Fakta (TPF) pembunuhan pegiat HAM, Munir Said Thalib, Marsudhi Hanafi belum
lama (26/10) menegaskan bahwa perkara pembunuhan Munir belum tuntas. Masih ada
pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos dari proses hukum. Mantan
Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang
dimaksud. Marsudhi juga menegaskan bahwa AM Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir..(Kompas.com)
Megawati Soekarno Putri adalah
presiden saat itu. Bu Mega tentu mengetahui jika memang ada operasi inteljen
tersebut. Terlebih hal ini terkait dengan rahasia negara. Logika
kita mengatakan, pantas jika Megawati mengetahui semua sepak terjang
Hendropriyono. Karena itu patut dipertanyakan, apakah perintah Megawati pada
Hendropriyono sehubungan dengan operasi intelejen pada kasus Munir.
Apa
keterkaitan Megawati tersebut menjadi beban bagi Jokowi dalam membongkar kasus
ini? Sehingga selama pemerintahannya (2 tahun), Jokowi belum menunjukkan
keseriusan menangani kasus Munir. Hanya Jokowi yang bisa menjawab. Yang pasti para pegiat HAM mulai menyangsikan komitmen
Jokowi dalam penegakan HAM terutama terkait kasus Munir.
Ke
depan Jokowi kudu menjawab pertanyaan dan keraguan itu. Jokowi mesti
membuktikan bahwa dirinya tak terbebani oleh siapa pun terkait kasus Munir.
Tentu tak cukup dengan logika verbal. Butuh aksi nyata. Dan sekarang saya kira
momentumnya. Jokowi diminta bertindak cepat, menuntaskan persoalan. Ketegasan
Jokowi yang dikenal publik ditunggu dalam kasus Munir.
Walau
tak banyak, apa yang disampaikan oleh SBY bisa menjadi modal bagi pemerintahan
Jokowi untuk membongkar kasus ini. Sehingga kegagalan SBY menuntaskan kasus
Munir dalam kurun waktu cukup lama yakni 10 tahun harus menjadi pelajaran bagi
pemerintahan sekarang. Saatnya sekarang memulai bergerak. Tidak ada kata
terlambat untuk menegakan keadilan. Tiga tahun sisa jabatan yang akan datang
merupakan waktu yang cukup dalam menyelesaikan kasus ini.
Kesalahan Pemerintahan yang
lalu karena tidak mengumumkan hasil TPF Munir ke publik wajib menjadi pelajaran
bagi pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih soal hilangnya dokumen laporan TPF. Dan
sekarang tidak perlu melempar tanggungjawab. Sebab, bagaimanapun pemerintah
berkewajiban menegakan keadilan di bumi pertiwi ini.
Akhir
kata, saatnya dagelan ini dihentikan. Mari kita bangun komitmen bersama guna
menegakan keadilan. Buktikan keseriusan. Bukan saatnya lagi saling lempar isu.
Saling tuduh. Melepas tanggungjawab. Sudah banyak dagelan di negeri ini.Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar