Setya Novanto kembali mangkir dari
panggilan Kejaksaan Agung. Kemaren (20/1), Kejaksaan Agung menjadwalkan pemeriksaan terhadap Setya
Novanto terkait kasus pemufakatan
jahat dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Sebelumnya, saat didesak apakah akan melakukan pemanggilan
paksa apabila terus-terusan mangkir,
Jaksa Agung HM Prasetyo tetap meyakini bahwa Politikus Partai Golkar itu akan datang pada pemanggilan
yang kedua itu. Ini penolakan
Setya Novanto yang kedua kalinya. Seperti diketahui, Setya Novanto telah dipanggil
untuk pertama kalinya pada Rabu 13 Januari lalu. Namun, dia memilih mangkir
untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus
tersebut.
Kaitan dengan pemanggilan Kejagung, kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya
mengatakan belum dapat memenuhi panggilan Kejagung dengan alasan keamanan.
Alasan seperti ini terkesan mengada-ada, dibuat-buat. Menurut Lais Abid, Devisi
Investigas ICW, alasan Setya Novanto tidak memenuhi panggilan Kejagung karena
alasan keamanan sungguh tidak tepat.
Lais menegaskan, di Kejagung sudah ada prosedur bagaimana
memberikan pengamanan kepada siapapun yang dipanggil untuk penyelidikan atau
penyidikan. Sebenarnya setiap penegak
hukum memilki kewenangan untuk menghadirkan paksa seorang dalam konteks
pemeriksaan. Dalam kasus besar seperti ini, Kejagung harus berani ambil sikap. Ia
mencontohkan KPK yang berapa kali menghadirkan paksa para saksi. Saat ini kasus
dugaan pemufakatan jahat tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Lais meminta
Kejagung tidak perlu menunggu
keterangan dari Setya Novanto atau Reza Chalid untuk menaikkan status menjadi
penyidikan. (htp://kabar24.bisnis.com)
Dalam pemanggilan pertama, Setya Novanto juga
mangkir dengan alasan karena tidak ada izin dari Presiden. Terkait hal
tersebut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa sesuai dengan
Undang-undag MD3 dan Keputusan MK dalam kasus pidana khusus seperti korupsi
tidak mensyaratkan dan memerlukan izin dari Presiden.
Kasus Setya Novanto mendapat perhatian yang
sangat besar dari publik. Kasus yang awalnya dikenal dengan sebutan papa minta
saham itu sempat menggemparkan perpolitikan nasional. Dalam persidangan terbuka
MKD DPR yang lalu, rakyat dengan mata telanjang menyaksikan bukti-bukti
keterlibatan Setya Novanto seperti rekaman pembicaraan, kesaksian Sudirman Said
sebagai pelapor dan Ma’rouf Syamsuddin sebagai saksi. Sekarang publik menunggu
proses hukum di Kejagung setelah proses politik selesai dengan mundurnya yang
bersangkutan dari jabatan Ketua DPR RI.
Sekarang khalayak ramai menunggu keberanian dan ketegasan Kejagung. Apakah Kejagugng
berani meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan setelah Setya Novanto
mangkir dua kali? Atau pemanggilan ini hanya sebatas gertak yang beraroma
politik? Bukankah publik selama ini menilai kinerja Jaksa Agung dalam kategori
buruk? Sehingga berbagai kalangan menganggap yang bersangkutan layak untuk dirushflle.
Kejagung dintuntut segera menjawab keraguan publik tersebut. Rakyat berharap
penegakan hukum di tanah air tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Sebaliknya, di mata hukum semua dipandang, diperlakukan secara sama.
Melihat
fakta yang ada, menurut hemat saya tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak
menaikkan status kasus Setya Novanto menjadi penyidikan. Paling tidak dari keterangan yang pernah
disampaikan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, yang dilansir Koran Tempo, Senin, 11/01/2016,
ada beberapa bukti kuat yang telah dikantongi
Kejagung. Pertama, Rekaman suara 8 Juni 2015 di Hotel Ritz-Carlton. Yakni
suara pembicaraan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin. Dalam
rekaman yang diputar secara langsung saat persidangan di MKD itu, dapat
dipahami dengan mudah bagaimana Setya Novanto meminta saham Freeport. Dalam salah
satu ungkapan, Setya Novanto mengatakan , goal-nya ke presiden, (tapi) kuncinya
ada di saya.
Kedua, rekaman kamera CCTV di Hotel
Ritz-Carlton, 8 Juni 2015. Kejaksaan Agung sudah mendapatklan salinan rekaman
kamera CCTV Ritz-Carlton yang membuktikan pertemuan ketiganya. Dari rekaman itu, Kejagung telah memastikan
adanya pertemuan tersebut.
Ketiga, kwitansi pembayaran sewa ruang
hotel. Dari kwitansi itu diketahui, yang memesan dan membayar dalam pertemuan
di Ritz-Carlton itu adalah Reza Chalid. Ini diketahui dari keterangan sekretaris Rica Chalid.
Keempat, dari hasil penelitian ahli
tekhnologi diketahui bahwa rekaman suara itu asli, tidak ada rekayasa. Sehingga
rekaman yang pernah diputar dalam
persidangan MKD itu bisa dijadikan
bukti. Penelitian dan kajian terhadap keaslian rekaman itu dilakukan oleh
beberapa Perguruan Tinggi ternama di Bandug atas permintaan Kejagung sendiiri.
Dengan demikian bukti yang saat persidangan MKD di permasalahkan itu tak bisa
disangkal lagi.
Kelima, terkait dengan kasus ini,
Kejaksaan agung telah meminta keterangan 16 saksi. Diantara yang sudah dimintai
keterangan adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin;
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said; Deputi I Bidang Pengendalian
Pembangunan Program Prioritas Kantor Staf Presiden, Damawan Prasodjo; Dina,
anggota staf Setya Novanto; Komisaris PT Freeport sekaligus mantan Jaksa Agung,
Marzuki Darusman; dan Sekretaris Jenderal DPR, Winantuningtyastiti. Keterangan
para saksi itu menguatkan bukti adanya permufakatan jahat yang telah dilakukan
oleh Setya Novanto-Reza Chalid.
Keenam, menolak hadir dalam dua kali
panggilan mengindikasikan itikad yang tidak baik dari yang bersangkutan.
Penolakan itu dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi
penyelidikan. Harusnya, kalau Setya Novanto merasa benar, tidak bersalah
seperti yang selama ini dikatakannya, atau pengacaranya maka pemanggilan
Kejagung dapat dijadikan kesempatan pembelaan dirinya di depan hukum. Hal ini
juga sekaligus memberikan keteladan ke rakyat, sebagai warga bahkan pejabat
negara yang baik mustinya ia mengikuti peroses hukum tidak sebaliknya, melawan.
Walhasil,
Kejagung tidak perlu ragu apalagi takut. Dukungan rakyat sangat besar dalam
penuntasan kasus pemufakatan jahat ini. Kasus ini diyakini dapat membuka
kasus-kasus besar berikutnya terkait kejahatan para mafia di negeri ini.
Karenanya, meningkatkan status menjadi penyidikan merupakan pilihan dan sikap
tepat bagi Kejagung. Bukankah bukti sudah ada di tangan? Bukankah dengan status
penyidikan, para penyidik dapat melakukan upaya pemanggilan paksa?Wa Allahu Alam