Selama tahun 2015 kegaduhan politik
sangat dirasakan oleh semua elemen masyarakat. Goncangan dari kegaduhan itu tak
hanya terlihat pada tataran elit poltik
tapi bisa dirasakan secara langsung pada ruang publik. Kegaduhan politk elit
melahirkan kegaduhan publik. Itu terlihat jelas, dapat disaksikan di media sosial seperti
Facebook dan Twiter. Polarisasi rakyat
akibat Pilpres dua tahun silam telah mempertajam kegaduhan tersebut. Karena
kegaduhan juga bermuara pada pertaruhan kepentingan politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan
Koalisi Merah Putih (KMP) baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Di tahun 2016 ini, rakyat berharap kepada
para politisi untuk bersikap lebih dewasa. Mereka diminta tak lagi membuat
kegaduhan. Politisi di parlemen dituntut fokus menjalankan apa yang menjadi
tugas, fungsi dan kewenangannya. Sehingga keberadaan mereka dapat dirasakan
manfaatnya oleh rakyat yang memilih. Selama ini eksistensi anggota DPR tak
ubahnya para badut yang seringkali menciptakan dagelan politk yang tak lucu,
yang hanya mendatangkan kegaduhan. Mereka hanya berebut kepentingan dan
kekuasaan. Mereka tak banyak berbuat untuk rakyat. Terbukti sejak dilantik
mereka hanya bisa menyelesaikan atau mengesahkan tiga Undang-undang. Sungguh
ironis sekaligus memalukan.
Sebelumnya, harapan di atas telah
disampaikan oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN)
itu menegaskan, saatnya semua pihak bersatu mencari solusi, meninggalkan segala
polemik yang menguras energi dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Jangan biarkan perpecahan menghancurkan bangsa ini. Mari kita ciptakan politik
yang teduh. Jangan ciptakan kegaduhan lagi. (http://news.liputan6.com/)
Paling Mutakhir, harapan juga
disampaikan oleh pengamat politik, Prof Ikrar Nursabakti. Dalam tayangan di
salah satu TV swasta nasional beberapa hari yang lalu, beliau meminta semua
partai politik untuk menciptakan politik teduh. Politisi diminta bertindak,
berprilaku lebih dewasa. Secara khusus, Prof Ikrar meminta PDIP untuk bisa
menahan diri dan mendisiplinkan beberapa kader yang dalam penilaianya
berlebihan. Seperti diketahui beberapa politisi PDIP seperti Rieke Diah
Pitaloka, Efendi Simbolon, Masinton Pasaribu justru kerapkali menjadi sumber
kegaduhan. Ini menjadi aneh. Bukankah mereka dari parpol pendukung pemerintah?
Mungkinkah?
Sekarang pertanyaanya, mungkinkah
politik di tanah air akan menjadi lebih teduh seperti keinginan kita semua?
Melihat perkembangan, gelagat yang ada nampaknya harapan politk teduh di 2016
itu seperti panggang jauh dari api. Belum ada tanda-tanda yang mengarah ke
sana. Ada beberapa fakta yang menurut hemat saya bisa dijadikan argumentasi, pertama, isu reshufle kabinet jilid dua.
Di penghujung tahun lalu isu itu menjadi hangat kembali. Adalah Aziz Subekti yang
melempar bola panas itu. Ia mengatakan bahwa dalam waktu dekat Presiden Jokowi
akan mereshufle kebinet. PAN memperoleh jatah dua kursi. Taufik Kurniawan,
kader PAN yang saat ini menjadi wakil ketua DPR menggantikan Ignasius Jonan
sebagai Menteri Perhubungan. Kemudian Asman Asnur menggantikan Siti Nurbaya
dari Partai Nasdem sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Aziz Subekti
menyebutkan memperoleh informasi itu dari orang dalam istana. Spontan
pernyataan ini mendapat reaksi dari berbagai pihak. Publik menganggapnya
sebagai intervensi, mendikte Presiden. Pihak istana melalui sekretaris Kabinet
Pramono Anung akhirnya menyampaikan bantahan. Intervensi seperti ini sebelumnya
dilakukan oleh DPR melalui Pansus Pelindo II. Pansus yang diketuai oleh Reike
Diah Pitaloka itu merekomendasikan Presiden untuk memberhentikan Rini Soemarni
sebagai Menteri BUMN. Hal di atas yang memaksa Presiden mengeluarkan statemen,
meminta semua pihak agar tidak mengintervensi Presiden. Reshufle adalah hak
perogatif Presiden, tegasnya.
Kedua,
rencana pansus Freepot. Setelah kasus papa minta saham yang mengguncang
politik tanah air meredah dengan mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR,
beberapa anggota dewan menggulirkan wacana pembentukan pansus Freeport. Pansus
bertujuan untuk menyelidiki lebih jauh tentang perpanjangan PT Freeport. Bila
ini terwujud, dipastikan kegaduhan besar akan menyusul. Karena ini ditengarai
sebagai uapaya balas dendam sebagian kalangan dewan terkait kasus papa minta
saham yang heboh itu.
Ketiga, konflik internal beberapa paryai politik
yang tak berujung seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Parta Golkar. Konflik yang berawal adanya keinginan sebagian anggota atau tokoh
partai untuk bergabung dengan pemerintah sementara yang lain menolaknya.
Konflik internal telah melahirkan dua kepengurusan. Di PPP, kubu Djan Farid dan
Romahurmuzy. Dalam internal Partai Golkar, kubu Aburizal Bakrie berhadapan
dengan kubu Agung Laksono. Konflik berkepanjangan di kedua partai ini telah
mencoreng iklim demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
setelah Amerika Serikat dan India. Dan pastinya, konflik internal itu telah
menciderai iklim politik teduh yang diharapkan.
Keempat, legalitas Partai Golkar. Partai
berlambang pohon beringin itu dianggap tak legal lagi setelah Menteri Hukum dan
HAM mencabut SK Nomor M HH-01 AH.11.01
Tahun 2015, yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono
dan tidak mengesahan kepengurusan Aburizal Bakri. Menkumham mengembalikan pada
kepengurusan Golkar hasil Munas Riau sesuai keputusan Mahkamah Agung yang
memutuskan SK Mekumham terkait kepengurusan Agung Laksono cacat hukum.
Sementara kepengurusan Munas Riau telah berakhir per 31 Desember 2015. Masalah
legalitas Partai Golkar berdampak pada persoalan legal standing usulan Fraksi
Golkar yang mengusulkan penggantian Setya Novanto oleh Ade Komaruddin. Terkait
dengan ini, Wakil Sekretaris Jendral Partai Golkar hasi Munas Ancol Dave
Laksono meminta pelantikan Ade Komarudin
sebagai Ketua DPR ditunda. Dave beralasan, hingga saat ini tak ada
kepengurusan Golkar yang sah. Ini nampaknya menjadi awal babak baru kegaduhan
di parlemen.
Akhir kata, fakta dan realitas di atas
telah meruntuhkan optimisme menghadirkan politk teduh di 2016. Namun demikian
politik tetap saja politik. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Segala hal dalam
politik tak ada yang pasti, bisa berubah. Harapan kita tentu perubahan positif
yang muncul di panggung politik nasional di waktu yang akan datang sehingga
mampu menghadirkan keteduhan politik nasional. Perubahan positif itu akan lebih
cepat berpengaruh mewujudkan politik teduh bila eilt partai bisa menahan diri.
Dan para pimpinan partai politik menjadi kunci dalam mengendalikan anggotanya.
Mereka diminta memberikan contoh berpolitk teduh, juga jangan ragu
mendisiplinkan mereka yang membuat gaduh.
Wa Allahu Alam
(Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Rabu, 6 Januari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar