Dua
minggu pertama tahun ini, kita dikejutkan dengan dua pemberitaan yang mendapat
perhatian sangat besar dari publik. Pertama, terkait aliran atau organisasi
Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kedua, pengeboman kawasan Sarinah Jakarta
yang diduga dilakukan oleh para teroris yang berafiliasi dengan ISIS. Kedua
peristiwa yang muncul berurutan tersebut seakan memberi pesan kepada kita
tentang hukum sebab akibat. Bahwa paham radikalisme yang diyakini oleh sebagian
masyarakat seperti mereka yang bergabung dengan Gafatar akan melahirkan
tindakan teror yang tak manusiawi seperti pengeboman di Sarinah.
Ya, terorisme memang
produk dari paham radikalisme. Rasikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat
oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila
dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan
yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan
yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut
menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima
secara paksa. (https://id.wikipedia.org)
Paham
radikalisme menjadi ancaman bagi generasi muda. Pasalnya gerakan radikalisme seperti Gafatar atau lainnya biasa mengincar kalangan muda,
berpendidikan yang pengetahuan dan pemahaman agamanya minim. Mereka sangat
mudah untuk dipengaruhi. Mereka dijadikan teroris dengan alasan berjihad di
jalan Allah. Mereka diajak menegakan syariat dan mendirikan negara Islam. Mereka telah salah kaprah dalam memahami
ajaran agama. Mereka tertipu, bersedia menjadi “pengantin jihad” dalam aksi bom
bunuh diri.
Dalam tulisan, Gafatar dan Problem Keberagamaan Kita, yang di muat di sebuah harian umum (15/1),
saya mensinyalir bahwa paham radikalisme kerapkali muncul di ruang kosong.
Ruang kosong dimaksud adalah komunitas yang memiliki semangat tinggi tetapi
minim juru agama yang mempuni di dalamnya.
Saya mencontohkan dunia kampus. Mahasiswa PT umum yang bermodalkan
semangat tinggi namun minim pemahaman agama
dengan mudah menerima ajaran radikalisme apa pun bentuknya. Mereka
meyakini pemahaman mereka yang paling benar, paling Islam. Selain mereka
dianggap salah, kafir yang harus diperangi.
Perkembangan
berikutnya paham radikalisme tak hanya masuk kampus tapi lebih jauh telah
menyentuh sekolah. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud
merasa kecolongan dengan masuknya materi beraroma radikalisme pada buku pegangan
siswa mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam dan Budi Pekerti SLTA di beberapa
daerah Jawa Timur. Buku untuk
SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah
Mustahdi dan Mustakim, penelaah Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat
Kurikulum Perbukuan, Balitbang Kemdndikbud
itu akhirnya ditarik dari
peredaran.
Karenanya
menjadi tugas, kewajiban para pendidik di sekolah untuk membentengi peserta
didik mereka dari bahaya radikalisme. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
menurut hemat saya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, pertama, sosialisasi sejak dini. Sosialisasi
dilakukan secara kolektif. Artinya,
sosialisasi menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bukan hanya
guru PKN atau Agama misalnya. Semua guru diminta menyampaikan bahaya terorisme
dan radikalisme. Tentu tidak harus memasukan materi secara khusus. Sosialisasi
dapat disampaikan pada saat materi ajar yang dapat dikaitkan seperti tentang
dasar negara, semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, toleransi, pluralisme atau
lainnya. Sosialisasi dapat dilakukan saat upacara bendera setiap Senin pagi.
Bisa juga dengan pemasangan sepanduk, pamlet, dan poster. Kegiatan-kegiatan
ekstrakuler seperti pramuka, paskibra juga dapat dijadikan media sosialisasi.
Kedua, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat
kegiatan ke-Islaman. Bagi sekolah yang memiliki masjid atau mushollah ini
menjadi keuntungan tersendiri. Guru PAI
bisa memaksimalkan fungsinya sebagai juru agama di sekolah. Masjid atau
mushollah harus dijadikan pusat pemberdayaan peserta didik dalam memahami,
mengamalkan, menghayati Islam secara benar. Di luar jadwal yang ada di kelas,
peserta didik bisa belajar agama dalam kegiatan-kegiatan di masjid atau
mushollah sekolah. Di sini kreatifitas guru PAI dituntut secara maksimal agar
peran dan keberadaan masjid atau mushollah sekolah dapat dirasakan manfaatnya
terutama dalam menangkal radikalisme.
Ketiga, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis (Rohani
Islam). Dalam banyak kasus, radikalisme seringkali memperdayakan anak-anak yang
aktif di sekolah. Semangat mereka yang bergebu-gebu akan mudah dipengarui oleh siapa saja yang
dianggap hebat, dikagumi. Maka wajib bagi para guru untuk bersama-sama
mengawasi, membimbing mereka. Guru harus hadir di tengah mereka sebagai
teladan, rujukan setiap persoalan yang dihadapi. Anak -anak tidak boleh dilepas
begitu saja. Baik OSIS maupun Rohis
harus diproteksi dari pengaruh paham radikalisme.
Keempat, mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural. Toleransi
adalah sikap saling menghargai, menghormati setiap perbedaan yang ada baik
agama, etnis, ras maupun lainnya. Sedanglan pluralisme adalah kesedian hidup
bersama perbedaan-perbedaan tersebut. Di tengah keragaman, para guru harus
mengedepankan, mencontohkan toleransi antara sesama warga sekolah. Dan terkait
dengan radikalisme, toleransi beragama
memilki peran penting sebagai penangkal paham berbahaya tersebut. Di sini peran
guru Agama sangat dominan. Guru Agama harus mampu mengayomi semua agama,
madzhab, kelompok yang ada. Sehingga di sekolah tercipta kehidupan yang plural,
humanis dan toleran.
Kelima,
boleh juga, sekali-kali menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya
paham radikalisme. Kegiatan dapat dilakukan dengan bekerja sama Kepolisian,
MUI, atau wali siswa.
Singkat kata, radikalisme bisa ada di
mana saja termasuk di sekolah. Karenanya kesiapan para pendidik untuk mengantisipasinya menjadi sebuah keharusan.
Sekolah wajib mengantisipasinya dengan sosialisasi sejak dini, memberdayakan
masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat belajar, mengamalkan dan menghayati
agama secara benar, memproteksi OSIS dan Rohis, mengmbangkan hidup toleran dan
plural. Dengan langkah-langkah nyata tersebut, radikalsme diharapkan tak
memilki cela sedikit pon untuk bisa masuk ke sekolah.Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar