Penghujung tahun, mengingatkan saya
pada harapan Presiden Joko Widodo setahun lalu. Menjelang awal tahun 2016,
Jokowi menginginkan kondusifitas politik di tanah air. Harapan serupah
disampaikan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan.
Ketua Partai Amanat
Nasional (PAN) tersebut menegaskan, saatnya semua pihak bersatu mencari solusi,
meninggalkan segala polemik yang menguras energi dan mengedepankan kepentingan
bangsa dan negara. Jangan biarkan perpecahan menghancurkan bangsa ini. Mari
kita ciptakan politik yang teduh. Jangan ciptakan kegaduhan lagi.
Pertanyaanya, apakah politik teduh
terwujud di tahun 2016? Saya akan mengkajinya lebih jauh. Tulisan ini sekaligus
menjawab tanya pada tulisan saya di awal tahun, 2016 Politik Teduh, Mungkinkah?
Walau sempat diragukan oleh banyak pihak termasuk saya, nyatanya politik di tahun
2016 bisa dikategorikan lebih teduh. Tak ada gejolak berarti terutama di parlemen.
Semua dapat dikendalikan oleh Presiden Jokowi selaku orang nomor wahid di
negeri ini. Kinerja Kabinet kerja pun sudah terlihat hasilnya. Tentu masih
belum selesai. Masih banyak hal yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK
dalam merealisasikan janji-janjinya saat kampanye.
Presiden Jokowi dinilai mampu
mengelola politik nasional secara baik. Berbeda dengan kondisi pada awal
pemerintahan yang terlihat terseok-seok. Saat itu tak sedikit pihak meragukan
kemampuannya memimpin RI. Sekarang,
selama tahun 2016, Jokowi nampak lebih percaya diri dalam memegang kendali
politik. Tak ada gejolak yang menggambarkan guncangan politik. Walau ada
konflik terkait beberapa isu nasional, Jokowi mampu mengelolanya secara apik.
Sehingga konflik di tengah masyarakat seperti aksi damai Islam pun berakhir
dengan happy ending.
Berikut catatan politik saya selama
tahun 2016. Catatan ini anggap saja bagian dari riak-riak kecil dalam dinamika
politik di Indonesia. Juga dapat dijadikan pembelajaran bagi semua guna
memperbaiki kualitas demokrasi kita di masa akan datang. Pertama, pilkada serentak. Pilkada serentak dijadwalkan akan
dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Ada 101 daerah akan memilih kepala
daerah. Terdiri adar 7 provinsi, 76
kabupaten dan 18 kota. Ketujuh
provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo,
Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Provinsi Aceh merupakan daerah yang akan
paling banyak menggelar pilkada pada 2017, yakni satu pemilihan gubernur dan 20
pemilihan bupati dan wali kota.
Selama tahun 2016, tahapan Pilkada
serentak dilakukan. Mulai sosialisasi, menyiapakan perangkat aturan, membuka
pendaftaran bakal calon, menetapkan calon kepala daerah, serta masa kampanye. Keberhasilan
Pilkada serentak sebelumnya diharapkan terulang kembali pada Pilkada 2017.
Energi para poltisi daerah pun terkuras habis dalam kampanye calon. 2016
menjadi tahun persiapan bagi Pilkada
serentak yang akan datang.
Kedua, Ahok dan Pilkada DKI Jakarta menjadi
primadona. Dari sekian banyak daerah, Jakarta telah menyedot prihatian besar
publik. Dan Ahok menjadi penyebab utama. Keberadaan Ahok di pentas politik tak hanya menjadi politik Jakarta semakin
dinamis tapi juga liar. Ahok seringkali membuat ledakan politik yang mengguncang
Indonesia. Fenomena Ahok sungguh luar biasa. Perhatian masyarakat dalam waktu
cukup lama tertujuh pada sosok yang sangat kontrovesial tersebut. Sepertinya, 2016
menjadi tahun-nya Ahok. Sepanjang tahun, pemberitaan tentangnya ramai didiskusikan,
menjadi perdebatan publik.
Juga
tak kalah menarik adalah fenomena teman Ahok. Teman
Ahok adalah sebuah organisasi perkumpulan
relawan berkekuatan hukum yang dididirkan oleh sekelompok anak muda dengan
tujuan "menemani" dan membantu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama dalam visinya mewujudkan Jakarta Baru yang Bersih, Maju, dan Manusiawi.
Teman Ahok dibentuk berawal dari keprihatinan sejumlah anak muda Jakarta
terhadap partai politik di Jakarta. Mereka merasa kecewa dengan sikap dan
perlakuan beberapa partai seperti PDIP dan lainnya terhadap Ahok sang Gubernur.
Ahok dianggap sukses membangun Jakarta, kenapa Parpol tak mengapresiasi?
Kekecewaan terhadap partai
politik, membulatkan tekad Teman Ahok guna mengusung Ahok melalui jalur
perseorangan. Dengan bermodal idealisme, mereka mengumpulkan KTP Jakarta
sebagai prasyarat pencalonan. KTP menembus angka satu juta. Hanya jelang
pendaftaran sejumlah partai berubah haluan. Dimotori oleh Partai Nasdem.
Disusul parta Golkar dan Hanura, mereka berencana
mengusung Ahok dengan tanpa syarat. Dan pada akhirnya, perubahan sikap PDIP
menjadi penentu pendaftaran Ahok sebagai Cagub lewat jalur parpol. Teman Ahok
pun menerima apa yang diputuskan Ahok. Sebab, mereka menyadari mengusung Ahok
tanpa parpol bukan sesuatu yang mudah terlebih jika melihat kontroversi yang
ada pada diri Ahok.
Pikada DKI Jakarta lebih
menarik lagi saat Agus Harimurti Yudhoyono mencalonkan diri bersama Sylviana
Murni. Putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu diusung
oleh koalisi Cikeas yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional
(PAN). Mereka awalnya bagian dari koalisi kekeluargaan bersama Partai Gerindra
dan Partai Keadilan Sosial (PKS). Mereka pecah kongsih. Gerindra dan PKS
mencalonkan Anies Baswedan dan Sandiago Uno.
Pilkada DKI disebut Pilkada
rasa Pilpres. Pasalnya, ketiga cagub merupakan tiga gambaran kekuatan politik
di Indonesia. Megawati, Prabowo dan SBY. Mereka turun gunung di Pilkada DKI
Jakarta. Megawati dengan Ahok yang dianggap sebagai anak ideologisnya. Prabowo dengan Anies Baswedan. Dan SBY dengan
sang putra sulung, AHY.
Ketiga, aksi damai umat Islam. Aksi damai 411
dan aksi super damai 212 adalah tuntutan umat Islam terhadap proses hukum Ahok
terkait penistaan agama yang dinilai lamban. Mereka menuntut Polri lebih
cepat menetapkan tersangka bagi gubernur
Jakarta non aktif tersebut. Ahok terpeleset lidah dengan menyebut Al Maidah
ayat 51. Kasus penistaan agama dijadikan alat politik oleh lawan-lawan Ahok.
Elektabilitas Ahok pun tergerus tajam dalam berbagai survei. Nampaknya, isu
agama masih menjadi alat politik yang efektif, walau pemilih Jakarta dikenal
rasional.
Keempat, moralitas dalam politik. Di akhir
tahun, moralitas politik di parlemen diuji kembali. Paling tidak, ada dua hal yang terasa sangat ganjil telah
dilakukan oleh para anggota dewan yang terhormat. Satu, soal Setya Novanto yang
diangkat kembali menjadi Ketua DPR RI setelah sebelumnya mengundurkan diri
karena kasus papa minta saham yang menghebokan. Ade Komuruddin tak berdaya. Dia
harus meninggalkan jabatan dengan setengah tidak hormat. Sebab, Majlis
Kehormatan Dewan (MKD) memvonisnya dengan sanksi hukuman sedang atas sejumlah
pelanggaran etik.
Kemudian
soal rencana revisi terbatas UU MD3. Revisi semata-mata hanya untuk
mengakomodir kepentingan politik PDIP guna memperoleh kursi pimpinan di DPR.
Jika demikian, jelas mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok. Rakyat
yang diwakili tak diperjuangkan sebagaimana mestinya. Padahal masih banyak RUU
yang mangkrak di prolegnas. Padahal rakyat menanti kinerja mereka
merampungkannya.
Singkat
kata, politik di tahun 2016 memang terasa teduh, lebih kondusif. Semoga di 2017
lebih baik lagi. Indonesia butuh konsentrasi dalam membangun, mengejar segala
ketertinggalan. Itikad kuat Jokowi dalam membangun, mensejahterahkan Indonesia
butuh keteduhan politik. Gaduh politik yang berlebihan akan menguras energi
secara cuma-cuma. Kegaduhan tersebut akan menghambat kerja kabinet kerja. Apa
itu yang kita inginkan? Tentu, tidak bukan?Wa
Allahu Alam
lumayan tulisanya buat referensi politik.
BalasHapusTks Bang, kalau boleh lebih menggelitik...sedikit haha.
BalasHapus