Kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur non aktif
Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) memasuki babak baru. Sidang
perdana kasus tersebut telah digelar pada hari Selasa (13/12) lalu di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sidang dilangsungkan kurang dari tiga bulan
setelah sosok yang kerap dikenal bicara lugas itu mengeluarkan pernyataan
tentang surat Al Maidah ayat 51, yang memicu kecaman dan demonstrasi
besar-besaran. Proses hukum kasus Ahok terbilang super cepat.
Seperti diduga sebelumnya, perhatian
masyarakat belum surut. Terbukti, walau sidang dilakukan secara terbuka,
disiarkan langsung oleh beberapa stasiun TV nasional, masih banyak kelompok
masyarakat yang hadir di Pengadilan. Dua kelompok (yang pro dan kontra)
menggelar orasi menyampaikan aspirasinya terkait Ahok. Satu menuntut Ahok
dipenjarakan. Yang lain meminta masyarakat memaafkan, menerima proses hukum
yang sedang berjalan.
Mengawasi proses hukum itu sah
dilakukan. Tapi, idealnya pengawasan masyarakat tersebut tidak mempengaruhi
proses hukum yang sedang berjalan. Hukum harus merdeka. Hukum wajib tegak
secara independen. Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24, kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Sebab itu, proses peradilan tak boleh
diintervensi baik oleh penguasa, ormas, maupun massa. Para hakim yang memegang palu
tak boleh terpengaruh atau dipengaruhi. Sangat berbahaya jika hukum tunduk dan
takluk pada tekanan massa misalnya. Dan pada kasus Ahok independensi hukum kita
akan diuji.
Sejatinya, ada lembaga yang memilki
kewenangan mengawasi dan mengawal para hakim. Yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Komisi Yudisial (KY). Kedua lembaga tersebut bisa bertindak jika menemukan
keganjalan pada putusan atau prilaku hakim. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal
20A ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memilkiki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan. Pengawasan dimaksud termasuk pada dunia
peradilan. Demikian dengan KY, lembaga yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden tersebut memilki wewenang mengawasi para hakim. Dalam UUD 1945 Pasal
24 B ditegaskan, KY memilki wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat , serta prilaku hakim.
Demokrasi kita sudah terlihat matang.
Berbagai ujian dapat terlewati secara baik. Indonesia menjadi negara yang
sangat demokratis. Terakhir kasus Ahok menjadi ujian berat bangsa Indonesia
dalam berdemokrasi. Rentetan aksi damai terkait kasus Ahok menjadi bukti
kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Maka tak sepantasnya jika kemajuan
berdemokrasi tersebut tehadang oleh oleh sikap tak hormati hukum. Demokrasi itu
tidak dibenarkan melawan hukum.
Kasus Ahok sudah pada ranah hukum.
Berilah kesempatan pada hukum untuk memutuskan. Setiap dari kita kudu menerima
apapun yang diputuskan. Kita semua wajib patuh dan menghormati hukum yang ada.
Bukankah Indonesia adalah negara hukum? Maka selayaknya hukum menjadi panglima
di negeri ini.
Ke
depan
Untuk menyempurnakan kematangan
Indonesia dalam berdemokrasi, terkait kasus Ahok, menurut hemat saya beberapa
point berikut bisa dijadikan pijakan berpikir bersama.Pertama, menjungjung tinggi asas praduga tak bersalah. Yakni asas di mana seseorang
dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Hanya vonis
pengadilan inkrah yang memastikan seorang bersalah. Yaitu keputusan berkekuatan
hukum tetap dan mengikat. Masyarakat tak diperkenankan memvonis siapa pun
termasuk dalam kasus Ahok baik vonis bersalah atau tidak bersalah. Masyarakat
diminta bersabar sampai hakim mengetuk palu putusan.
Kedua,
berdemokrasi dalam koridor hukum. Belakangan berbagai kelompok masyarakat
menggelar aksi damai, menuntut proses hukum
Ahok dilakukan secara cepat. Menyampaikan pendapat di muka umum
dilindungi Undang-undang. Namun, ketika persoalan yang dipermasalahkan sebagai
tuntutan sudah masuk ke ranah hukum maka sepantasnya aksi-aksi itu dihentikan.
Biarkan hukum yang menyelesaikan, memutuskan. Berilah kemerdekaan kepada para
hakim dalam mengambil keputusan. Jangan mencoba menekan proses peradilan yang
sedang berlangsung. Saatnya kita semua
(baik yang pro maupun yang kontra) menunjukkan kedewasaan dan kematangan dalam
berdemokrasi.
Ketiga,
menahan diri. Tak kurang dari tiga bulan, energi bangsa ini terkuras oleh
kasus hukum Ahok. Pro-kontra mewarnai. Ahok bahkan melupakan kita tentang banyak
hal. Seperti disinggung sebelumnya, demokrasi kita sudah matang. Terbukti
segala perbedaan yang ada tetap dalam kesadaran kebhinekaan. Persatuan menjadi
hal terpenting yang dijunjung tinggi oleh semua pihak. Sekarang saatnya kita
menahan diri, bersabar menanti hasil akhir apa yang diperdebatkan tentang
dugaan penistaan agama oleh gubernur non aktif Jakarta tersebut. Sungguh, jika
itu bisa dilakukan kita menjadi bangsa besar. Bangsa yang matang berdemokrasi.
Kuat bersatu dalam kebhinekaan.
Keempat,
legowo menerima putusan hukum. Peradilan pasti akan mengeluarkan keputusan
kasus Ahok. Pertanyaanya, apa kita akan menerimanya? Ini yang akan menguji
ketaatan bangsa ini terhadap hukum. Sebagai negara yang berdasarkan hukum tak
ada alasan bagi siapapun untuk menolak vonis para hakim. Taat dan mengikuti
hukum adalah kewajiban setiap dari kita.
Walhasil, kita tunggu saja apa yang
akan diputuskan dalam proses peradilan yang sedang berlangsung. Ahok apa
bersalah atau tidak biarlah hukum yang menentukan. Selama ini kita mampu
menunjukkan siapa bangsa Indonesia sesungguhnya. Jangan kotori wajah bangsa ini
dengan prilaku yang tak taa hukum. Kita bukan bangsa barbar yang gemar
memaksakan kehendak dan mengedepankan kekerasan. Sekali lagi, bukan. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar