Kemaren (23/12), keluarga, santri dan segenap komponen bangsa menperingati
haul almarhum KH Abdurrahman Wahid
(Gusdur). Malam puncak haul ke-7 mantan
Presiden tersebut diisi dengan ikrar damai umat beragama. Dipimpin ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, ikrar diikuti oleh para pemuka agama yang hadir
diantaranya Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo, tokoh Hindu Yanto Jaya, Ketua
Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana, Pendeta
Nababan, Biksu Suryanadi Mahathera, serta beberapa tokoh lainnya.
Mereka berikrar, 1) Akan senantiasa
menjaga perdamaian, kerukunan, persaudaraan/keadilan antar sesama umat
beragama. 2) Menciptakan suasana sejuk,
harmonis, dan bebas konflik antar sesama umat beragama. 3) Memelihara keberagaman dan
perbedaan dengan saling melindungi berbagai agama dan keyakinan yang ada di
Indonesia secara tulus dan sungguh-sungguh.
4) Menolak segala bentuk intimidasi dan pemaksaan agama/keyakinan serta menolak anarki kekerasan dalam beragama. 5) Mendukung pemerintah untuk menegakkan konstitusi yang melindungi hak warga negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya.
4) Menolak segala bentuk intimidasi dan pemaksaan agama/keyakinan serta menolak anarki kekerasan dalam beragama. 5) Mendukung pemerintah untuk menegakkan konstitusi yang melindungi hak warga negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya.
Dalam sambutanya, Presiden Joko Widodo mengenang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai
tokoh yang mengingatkan bawa Indonesia merupakan milik bersama, bukan milik
golongan atau perseorangan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara harus dikelola dengan
konstitusi yang bisa menaungi segenap masyarakat, bukan aturan yang lainnya. Gus Dur pasti gemes, geregetan,
kalau melihat ada kelompok yang meremehkan konstitusi, mengabaikan kemajemukan,
memaksakan kehendak, melakukan kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Tak aneh, jika dalam haul Gusdur dibacakan ikrar seperti
di atas. Pasalnya, Gusdur dikenal sebagai tokoh pluralisme yang tak diragukan
lagi jasa-jasanya. Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu
sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa
konflik asimilasi.
Gusdur selama hidupnya
sangat concern dengan nasib kaum minoritas.
Gusdur siap menjadi martir dalam melindungi mereka. Minoritas agama, suku,
dan ras juga etnis. Gusdur kerapkali pasang badan dalam membela kaum minoritas.
Dia rela disebut kafir manakala membela Ahmadiyah. Dituduh Syiah saat memihak
kepentingan muslim bermadzhab Syiah di Indonesia. Difitnah memilkii garis keturunan
Cina ketika membela kepentingan etnis tersebut. Sungguh, Gusdur merupakan
seorang bapak bagi kaum minoritas. Dia menyadari kemajemukan manusia yang kudu
disikapi secara bijak dengan saling menghormati, menolong dan menyayangi.
Jasa Gusdur lain yang
pasti akan diingat terus oleh bangsa ini adalah menjadikan Konghucu sebagai
agama resmi. Ini terobosan luar biasa dari Gusdur saat menjadi Presiden. Sebuah
langkah berani yang tak diambil oleh Presiden sebelumnya. Gusdur merasakan apa
yang dirasakan oleh mereka yang memeluk Konghucu. Karena minoritas agama mereka tak diakui. Gusdur
telah membalik keadaan.
Gusdur telah mengajarkan
bangsa ini demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang tak hanya memihak pada
suara mayoritas tapi melindungi aspirasi minoritas. Demokrasi yang mengakui
equlity (kesamaan berdiri, berposisi). Dan demokrasi yang menempatkan hukum di
atas segala. Walau untuk itu, beliau bersedia meninggalkan istana megah hanya
dengan menggunakan celana pendek dan bersandal jepit.
Gusdur tetap hadir bersama kita. Gagasan dan pemikirannya senantiasa
dikaji, didiskusikan. Semangat pluralismenya senantiasa hidup. Setelah tujuh
tahun mangkat, semangat pluralisme tersebut masih tetap hangat dan aktual. Tak
sedikit dari generasi muda yang meneruskan perjuangannya dalam membangun hidup
damai dengan kemajemukan. Untuk
mengenang beliau, marilah kita jaga warisan beliau, yaitu pluralisme.
Pluralisme
Menurut hemat saya, semangat pluralisme dibangun berdasarkan pada prinsip-prinsip
berikut. Pertama, fakta bahwa
manusia adalah beragam. Terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras,
etnis, budaya juga bahasa. Keragaman tersebut tak mungkin sirna. Keragaman itu
wajib disadari, diterima. Tak mungkin kita mengabaikan apalagi menolak. Namun demikian, keragaman itu bermuara dari satu
titik. Kita semua anak-cucu nabi Adam as. Semua bersaudara. Tak ada alasan bagi
manusia untuk bermusuhan, saling memerangi satu sama lain.
Kedua, tidak menganggap diri paling apa saja. Paling benar. Paling hebat. Paling
pintar. Dan paling-paling lainnya. Hal itu akan menumbuhkan sikap menghargai,
menghormati terhadap keberadaan yang lain. Pertumpahan darah pertama manusia
disebabkan bersemayamnya sifat takabur atau sombong pada diri Qabil. Qabil
merasa paling hebat, paling gagah, paling dekat dengan Allah. Dia merendahkkan
saudaranya sendiri, Habil. Rasa paling menjadi sebab awal pertumpahan darah
anak cucu Adam hingga hari ini.
Ketiga, mendahulukan kesamaan mengesampingkan perbedaan. Untuk persatuan dan
kesatuan antara umat manusia selayaknya mengedepankan kesamaan. Abaikan
perbedaan. Hadirkan rahmat dari perbedaan yang ada. Perbedaan tidak boleh mengantarkan
pada petaka. Carilah titik temu pada perbedaan. Itu akan mengikat kita untuk
menyatu.
Keempat, bersatu adalah keniscayaan. Persatuan menghadirkan kasih sayang antara
sesama. Tak ada gunanya perpecahan. Tak ada gunanya pertikaian. Dalam Al Quran
diceritakan bahwa manusia ciptakan
sebagai khalifah. Sebagai khalifah, manusia sepantasnya bisa memakmurkan bumi.
Mensejahterahkan. Menegakan keadilan dan mendamaikan.
Kelima, kekerasan bukan solusi tapi masalah baru. Jangan pernah menempuhnya. Segala
hal pasti ada solusinya. Maka semangat mencari solusi adalah sebuah keharusan.
Singkat kata, Gusdur adalah seorang guru bangsa. Ajaranya selayaknya
dijaga. Diantara ajaran beliau adalah pluralisme. Untuk itu, sepantasnya
semangat pluralisme bangsa ini dirawat, ditumbuhkembangkan dan dibangkitkan.
Pluralisme mendatangkan kedamaian hidup berdampingan sebagai bangsa yang
majemuk guna mewujudkan cita-cita bersama. Bukankah semboyan bangsa Indonesia
adalah Bhineka Tunggal Ika?Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon Senin 26 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar