Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy berencana memoratorium ujian nasional (UN) mulai tahun 2017 mendatang. Menurut Muhadjir, pihaknya sudah lama
mengkaji perihal pelaksanaan ujian nasional hingga mendapat kesimpulan bahwa
Kementerian Pendidikan menghentikan ujian nasional. Ia menuturkan kajian
tersebut sesuai dengan amanat Nawacita pemerintah Presiden Joko Widodo bahwa
ujian nasional harus dievaluasi.
Moratorium UN dilakukan untuk semua
jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar hingga menengah atas. Tapi, sebagai
pengganti UN, masing-masing daerah dimungkinkan mengadakan ujian untuk
masing-masing jenjang sekolah. Namun
demikian, Kementerian
Pendidikan tetap akan mengawasi pelaksanaan ujian di masing-masing daerah.
Muhadjir mengaku belum mengetahui sampai kapan moratorium ujian nasional dilakukan.
Bisa juga UN kembali dilakukan.
UN sejak lama diperdebatkan. UN telah menimbulkan banyak
persoalan. Mulai soal peserta didik yang frustasi sampai urusan kecurangan yang
sistemik. Sehingga Mahkamah
Agung (MA) pernah mengeluarkan keputusan pada 14 September 2009 terkait hal
itu. Keputusan MA meminta UN ditinjau ulang, dihentikan. UN bisa dlakukan kembali setelah
pendidikan di Indonesia dinilai sudah merata.
Saya termasuk orang yang sejak lama mengusulkan penghapusan
UN. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat tersebut. Pertama, UN melegitimasi
kecurangan. Bukan rahasia lagi, UN telah
membutakan mata semua pihak terkait. Siswa, guru, kepala sekolah sampai
pemerintah daerah. Semua menghalalkan segala cara menghadapi UN. Tim sukses dibentuk dari level paling atas
sampai terbawa di sekolah. Kecurangan sistemik benar-benar nyata adanya.
Sekadar berbagi pengalaman,
saya pernah menyaksikan guru memberikan kunci jawaban soal ke peserta didik dengan
kasat mata. Masuk ke ruang ujian, menuliskan jawaban di papan tulis. Dalam
beberapa saat ditunggunya, kemudian menghapusnya. Sebagai pengawas ruangan saya
tak bisa berbuat apa-apa. Menggunakan berbagai modus, tim sukses sekolah
melakukan kecurangan guna menyelamatkan anak didik mereka dari kejamnya UN.
Kedua,
pendidikan belum merata. Kualitas
pendidikan Indonesia sampai saat ini belum merata. Banyak sekolah di tanah air
yang masih terkendala dengan fasilitas-fasilitas utama dan sumber daya
pengajaran. Tidak meratanya pendidikan di negeri ini karena
dipengaruhi infrastruktur sekolah dan rendahnya kepedulian masyarakat yang
menyebabkan sekolah di Indonesia tidak memiliki standar yang sama.
Akses
pendidikan juga belum merata. Tak semua anak yang berusia sekolah bisa
mengenyam pendidikan yang layak. Sekretaris Jenderal Gerakan
Indonesia Pintar (GIP), Alpha Amirrachman PhD pernah mengungkapkan fakta, di
tahun 2015 kurang lebih 2,5 juta anak yang terdiri 600.000 anak usia sekolah
dasar dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah pertama tidak bisa melanjutkan
sekolah.
Sementara itu, masih terdapat 54 persen guru yang masih belum memenuhi standar kualifikasi dan 13,19 persen bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak. (http://www.republika.co.id)
Sementara itu, masih terdapat 54 persen guru yang masih belum memenuhi standar kualifikasi dan 13,19 persen bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak. (http://www.republika.co.id)
Ketiga,
melahirkan kasta pelajaran. Di Indonesia, kastanisasi ilmu
berawal dari dikotomi ilmu
menjadi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum mendapat tempat lebih tinggi, lebih
bergengsi daripada ilmu agama. Dikotomi ilmu umum dan agama merupakan warisan
penjajah Belanda yang masih mengkristal dalam kehidupan masyarakat. Terbukti
sampai hari ini, pegelolaan pendidikan Indonesia
ditangani oleh dua kementerian berbeda. Kementerian pendidikan menyelenggarakan
pendidikan umum (TK-SD-SLTP-SLTA-PT). Sementara Kementerian Agama
menyelenggarakan pendidikan agama yakni RA, MI, MTs, MA, dan PTAIS (Perguruan
Tinggi agama Islam seperti UIN atau IAIN).
UN
membuat kasta baru, membedakan pelajaran
utama dan pelajaran biasa. Yang utama adalah mata pelajaran yang
di-UN-kan. Yakni Matematika, IPA-IPS, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan yang
lainnya dianggap pelajaran biasa yang tak penting. Kastanisasi mata pelajaran
sedemikian kuat. Pelajaran UN menjadi Elit. Demikian gurunya semakin bergengsi.
Kedua kelompok mata pelajaran tersebut sangat mencolok perbedaanya. Sekolah pun
memperlakukannya secara berbeda. Sekolah lebih mengutamakan pelajaran seperti
Matematika baik terkait guru, buku ajar, media pembelajaran maupun lainnya.
Keempat,
pendidikan berorientasi pada nilai. Sejak UN diberlakukan, secara umum
motivasi siswa berorentasi beralih pada nilai (value oriented). Nilai
menjadi target bahkan tujuan akhir dalam belajar. Motivasi itu menguat
dalam diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai
keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru atau sekolah mereka dalam menyelenggarakan pendidikan dan
pembelajaran juga berotrientasi pada nilai. Demikian pula orang tua. Hal
pertama yang ditanyakan pada anak untuk melihat perkembangan belajarnya adalah nilai. Nilai menjadi target
terpenting. Ranking menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anak.
Saat dalam buku rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk
membuatnya.
Menurut Munif Chatib, motivasi
belajar itu seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan
hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi
3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang
dimiliki. Saya menambahkan satu lagi
bahwa pembelajaran harus memotivasi peserta didik dalam penanaman karakter atau
akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali
ilmu (knowledg), skil atau ketrampilan, tapi ditanamkan juga karakter yang
kuat.
Kelima,
mengabaikan proses. UN hanya mengevaluasi hasil pembelajaran. Proses tak
dilihat sama sekali. Padahal hasil itu bergantung pada proses. Tidak adil jika
proses berbeda hasil dievaluasi secara sama.
Akhir
kata, mengutip Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku, Buku Kerja Multiple intelgences karya Thomas R Hoer menyindir,
“anak-anak yang kita anggap istimewa
adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita.
Rasyid dan Dani punya kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi sekolah-sekolah
kita mengabaikannya”. Ini mengaskan bahwa mengevaluasi peserta didik tak boleh
melulu soal kemampuan akademik (ranah
knowledge). Evaluasi pendikan wajib integratif. Semua kecerdasan yang dimiliki siswa kudu
dilihat, dinilai. Dan UN tak menggambarkan hal itu. UN hanya memotret
pengetahuan peserta didik. Karenanya, hasil UN tak menggambarkan hasil
pendidikan. Sekali lagi, tak mungkin.Wa
Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di harian Umum Radar Cirebon Edisi Selasa, 6 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar