Kabinet pemerintahan Jokowi-JK belum
genap setahun tapi berbagai gebrakan telah dilakukan. Gebrakan yang mengejutkan
banyak pihak itu diambil oleh para pembantunya, tentu mengikuti arahan
presiden. Adalah menteri Susi Pujiastuti, walau awalnya diragukan banyak orang
keberaniannya membakar dan menenggelamkan kapal-kapal asing membuat rakyat
tercengang kagum. Menpora Imam Nahrowi
membubarkan PSSI membangkitkan amarah bola mania. Tapi disadari banyak pihak kebijakan
mengangkat tim transisi itu ibarat pil pahit yang menyembuhkan prnyakit kronis
dalam tubuh persepakbolaan di tanah air. Menteri ESDM Sudirman Said membubarkan
Petral menjadikan mafia migas meradang. Anies Baswedan menangguhkan kurikulum
2013 mengejutkan dunia pendidikan. Yang tak kalah mengejutkan sekarang
Menristek PT Muhamad Nasir berencana menghapus kewajiaban penulisan skripsi bagi
mahasiswa tingkat akhir.Wacana kontropersial ini mengguncang dunia kampus.
Akademisi bergejolak, mempertanyakan dan menyangsikan wacana tersebut. Muhamad Nasir beralasan bahwa penyusunan
skripsi di perguruan tinggi syarat dengan palgiat, penjiplakan, jual beli yang
hanya melahirkan generasi copy paste.
Sebagai penggantinya menristek PT mengusulkan pengabdian ke masyarakat dan
penelitian di laboratorium.
Untuk menimbang perlu tidaknya pengapusan
skripisi sebaiknya memahami terlebih dahulu latar belakang kecurangan yang
biasa dilakukan. Berikut beberapa alasan kenapa sebagian mahasiswa melakukan
kecurangan dalam penyusunan skripsi baik menjiplak, plagiat, atau jual beli. Pertama, pola hidup instan. Ini menjadi
virus dalam berbagai sisi kehidupan. Bangsa kita dalam banyak hal terjebak pada
gaya hidup instan. Yang penting cepat, segera menikmati hasil tanpa memikirkan
bagaimana prosesnya? Dengan cara apa memperolehnya? Gaya instan adalah hidup
hanya diambil praktisnya saja, tidak siap bersusah-susah, enggan berusaha.
Hidup instan menghasilkan generasi pemalas, hedonis, dan pragmatis. Kedua, faktor dosen killer. Dosen killer
adalah sebutan untuk dosen yang gemar marah di ruang kuliah, hanya bisa
menyalahkan mahasiswa tanpa memberi solusi, dan biasanya pelit dalam memberi
nilai bahkan terkesan mematikan dan menyulitkan mahasiswa. Dosen semacam ini
ditakuti banyak mahasiswa. Kelas dalam mata kuliah yang diampuh sepi, mahasiswa
berlarian memilih dosen lain. Dosen killer punya andil dalam menggiring
mahasiswa melakukan kecurangan dalam proses penyusunan skripsi. Mereka yang tak
memiliki mental kuat memilih jalan pintas melakukan plagiat atau membeli
skripsi untuk menghindari kesalahan dan kemarahan dalam proses bimbingan dengan
sang dosen killer. Ketiga, lemahnya
penegakan aturan. Kaitan dengan teknis pembuatan skripsi sebenarnya telah
disusun banyak aturan. Aturan-aturan itu dibuat untuk mengatur tata cara atau
mekanisme penyusunan skripsi mulai pengusulan judul, sidang proposal, proses
bimbingan, usulan sidang dan sebagainya.
Hanya saja aturan baku yang dibuat oleh perguruan tinggi seringkali
dilanggar oleh akademisi sendiri. Kelonggaran-kelonggaran itu yang memicuh
kecurangan. Contoh ketika usulan judul yang mirip, atau yang pernah diteliti
sebelumnya mudah disetujui oleh ketua jurusan maka otomatis mempermudah
mahasiswa untuk melakukan penjiplakan atau plagiat. Keempat, menjamurnya perguruan tinggi atau sekolah tinggi. Akhir-akhir ini kita menyaksikan bermunculannya
PT atau sekolah tinggi di berbagai daerah. Setiap daerah lebih dari tiga
perguruan tinggi bersaing ketat, bahkan kampus telah menembus ke perkampungan. Pendirian sekolah tinggi bahkan universitas
terkesan sangat mudah. Pemerintah
membuka peluang lebar-lebar pada masyarakat mendirikan sekolah tinggi.
Kehadiran perguruan tinggi baru pada satu sisi sangat membantu untuk mendorong
lebih banyak lagi lulusan SLTA meneruskan pendidikanya. Tapi sisi lain perguran
tinggi baru relatif sangat longgar pengawasanya terhadap praktek kecurangan
dalam penyusunan tugas akhir. Bahkan untuk beberapa kasus, justru pihak kampus
yang melakukan kecurangan dengan penyediaan jasa pembuatan skripsi oleh
dosennya sendiri. Asal ada mahasiswa, soal skripsi bisa diatur berikutnya.
Wacana pengapusan skripsi ditanggapi
beragam oleh kalangan akdemisi terutama mahasiswa. Bagi mereka yang merasa
terbebani skripis tentu menjadi kabar gembira. Mereka sangat setuju karena
skripsi di samping membutuhkan keuletan dalam meneliti juga kepiawaian dalam
menulis. Dan tak semua mahasiswa bisa menulis dan mau berlatih. Lebih lagi berdasarkan
pengalaman skripsi juga menghabiskan dana lumayan besar untuk pengetikan
(sekarang menggunakan komputer tentu harus dengan printernya), kertas HVS,
transportasi dalam meneliti, membeli buku refrensi, sovenir untuk responden dan
sederet kebutuhan tak terduga lainnya. Namun tidak sedikit yang menyayangkan
rencana pengapusan tersebut karena skripsi dipandang sebagai satu-satunya
pembeda dengan jenjang pendidikan dibawahnya yang mencirikan keilmuan dunia
kampus.
Terlepas pro-kontra di atas kebijakan
yang diambil oleh pemerintah seharusnya
selaras dengan tri darma perguruan tinggi yaitu 1)pendidikan dan pembelajaran,
2)penelitian, dan 3) pengabdian masysarakat. Skripsi sebenarnya sudah
mengarah ke tiga hal di atas andai tidak
ada kecurangan. Karenanya penggantinya (bila dihapus) harus lebih menggambarkan
kehidupan kampus yang ilmiah, edukatif, dan mengabdi pada lingkungan
sekitarnya. Sebenarnya pengabdian pada
masyarakat dan penelitian di labioratorium sebagai ganti skripsi pun tidak ada
yang menjamin pelaksanaanya akan bersih dari kecurangan dan pelanggaran. Bisa
jadi sistem baru modus kecurangan pun ikut baru, lebih canggih.
Saran Untuk Pak Menteri
Menghadapi permasalahan di atas ada
beberapa pemikiran, barangkali dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan
sebagai solusi. Pertama, penerapan
sanksi yang tegas bagi pelaku kecurangan baik dalam penyusunan skripsi, maupun
pada opsi lain bila skripsi dihapus. Ini menjadi kelemahan kita, aturan lengkap
penegakannya lemah. Misalnya mengenai plagiat skripsi, menurut UU Sisdiknas
Pasal 25 ayat 2 bila terbukti maka gelarnya bisa dicabut. Lebih jauh lagi, tidak
hanya dicabut gelarnya, lulusan yang terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain
juga diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp200 juta (Pasal 70 UU
Sisdiknas). Mengenai penjiplakan
karya ilmiah Menteri Pendidikan lebih terincih telah menerbitkan permendiknas
khusus yaitu permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dalam
permendiknas tersebut dijelaskan pengertian plagiat, tata cara memproses
pelaku, sampai penanggulangannya. Ringkasnya, aturan sudah lengkap tinggal
penerapan dan ketegasan dalam penegakannya.
Kedua, untuk
menopang penerapan aturan maka sistem pengawasan perguruan tinggi harus
diperketat. Kaitan dengan hal ini Prof. Nanat Fatah Nasir, mantan rektor UIN
Gunungjati Bandung menyarankan perombakan, dan tata ulang terhadap sistem
pembinaan dan pengawasan. Lebih jauh beliau menyarankan mengaktifan kembali
kopertis/kopertais untuk tujuan pembinaan dan pengawasan. Kalau tidak kopertis,
bisa dibuat lembaga baru agar peran dan fungsinya lebih tajam.
Ketiga, memperketat
pendirian perguruan tinggi swasta. Ini terlihat tidak ada korelasinya, tapi
terbukti kampus-kampus baru seringkali mengabaikan kualitas karena berorentasi
pada perolehan mahasiswa termasuk soal kelonggaran penerapan aturan terkait
penulisan skripsi. Lebih baik kita meningkatkan kualitas dan pelayanan,
dibanding mendirikan PTS baru. Atau kita menegrikan PTS yang dianggap sudah
layak yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17
Tahun 2014 tentang pendirian perguruan tinggi negeri.
Dan
pada akhirnya kembali ke tangan pak menristek PT, semoga apa yang diputuskan
semata-mata untuk perbaikan sistem pendidikan tinggi kita. Amin.