Besok Senin 4 Mei 2015 akan
dilaksanakan Ujian Nasional untuk siswa-siswi SLTP/MTs atau yang sederajat.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, UN sekarang tidak lagi menjadi penentu
satu-satunya kelulusan siswa. UN hanya menjadi bagian penting kelulusan bersama
faktor lainnya. Kelulusan akan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tapi
kenapa masih ada juga kebocoran soal? Diberitakan ada kebocoran soal saat
pelaksanaan UN tingkat SLTA-MA. Kebocoran soal di duga terjadi di dua propinsi
Aceh dan Yogyakarta. Ada sekitar 30 paket soal yang terbocorkan kunci
jawabanya. Diduga pihak percetakan yang membocorkanya. Kasus ini pun sudah di
tangan kepolisian. Kemaren Sabtu 2 Mei 2015 di beberapa stasiun televisi
diberitakan telah beredar naskah soal UN untuk SLTP/MTs yang meresahkan masyarakat
terutama pelajar, guru, dan wali murid di kabupaten Temanggung Jawa Tengah.
Soal-soal itu sangat meyakinkan
karena mirip dengan aslinya. Bahkan di atas soal tertulis dokumen negara sangat
rahasia serta waktu pelaksanaan ujian. Semoga isu ini tidak mempengaruhi
siswa-siswi kita. Walau tujuan, fungsi dan peran UN sudah berubah nyatanya
upaya kecurangan yang dilakukan berbagai pihak masih ada. Ini sangat
memprihatinkan.
Orang itu akan melanggar hukum,
etika, adat istiadat, bahkan agama biasanya saat terdesak atau saat ada
kepentingan yang berkaitan dengan dirinya. Kalau dulu ada banyak kecurangan
yang dilakukan siswa, pihak sekolah, sampai pemda agak lumrah (walau tetap
salah) karena bisa jadi karena terdesak takut tidak lulus, takut nama baik
sekolahnya tercoreng, gengsi bila angka kelulusanya di daerahnya rendah. Nah,
kalau sekarang dorongan itu sudah tidak. Lantas apa motifnya?
Untuk menemukan motif dibalik
kebocoran soal, mari kita mengkaji motivasi siswa-siswa kita dalam belajar.
Motivasi menurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar
Hamalik (2003:158) adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai
dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sedang motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin
kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasi-belajar/) Nah, sekarang bagaimana dengan
motivasi belajar siswa-siswa kita? Secara umum motivasi siswa-siswi kita
berorentasi pada nilai (value oriented). Nilia
menjadi target bahkan tujuan dalam belajar. Motivasi itu menguat dalam
diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai keluarga.
Kenapa? Karena ternyata guru-guru atau sekolah-sekolah kita juga dalam
menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran berotrientasi pada nilai. Demikian
pula orang tua kita, hal pertama yang ditanyakan pada anak-anaknya adalah
nilai. Nilai menjadi target mereka yang terpenting. Ranking menjadi hal yang
sangat ditunggu saat melihat rapot anaknya. Saat dalam buku rapot tidak
tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuat ranking. Untuk tujuan
itu orang tua siap mengeluarkan uang untuk biaya les atau paket-paket kursus
anaknya. Walhasil nilai menjadi tujuan belajar anak-anak kita sekarang.
Motivasi dan tujuan belajar seperti diatas hanya menghasilkan siswa yang
materealis yang megukur segala dengan angka, menciptakan generasi yang hanya pandai tapi tak bisa
berbuat apa-apa, genius tapi tak mampu menyelesaikan masalah.
Menurut
Munif Chatib, penulis buku sekolahnya
manusia siswa itu dalam belajar,
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, orang tua dalam membekali pendidikan
anak-anaknya seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan
hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi
3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang
dimiliki. Saya menambahkan satu lagi
bahwa pembelajaran harus bercorak penanaman karakter atau akhlak mulia dalam
bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg) dan
skil atau ketrampilan. Tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kementerian
Pendidikan Nasional (2011) menyebutkan 18 karakter dalam pendidikan karakter. Salah
satu karakter itu adalah kejujuran. Menanamkan kejujuran memang sangat sulit.
Pengalaman saya menjadi guru, susah sekali anak-anak untuk jujur terutama saat
mereka mengerjakan soal atau tugas dalam KBM. Mereka terbiasa melihat buku,
mencontoh pekerjaan teman. Saya seringkali memberikan motivasi untuk tujuan
itu. Saya sering mengatakan bahwa percuma nilai tinggi bila diperoleh dengan
mencontek. Lebih baik nilai jeblok asal jujur, mengerjakan sendiri. Kesulitan
penaman kejujuran tersebut menurut pengamatan saya karena value
oriented (orientasi hanya ke nilai
semata) sudah tertanam kuat pada diri anak. Sehingga anak mengejar nilai dengan
cara apapun termasuk dengan menipu diri sendiri, mengabaikan kejujuran.
Untuk itu, kedepan tidak ada cara lain dalam
menanamkan karakter anak kita selain
terlebih dulu mencabut paradigma yang sudah mengakar itu. Oreintasi kepada
nilai harus dihilangkan dari dunuia pendidikan kita. Bila perlu penilaian
dengan angka normatif ditiadakan. Ke depan kita barangkali hanya cukup memberi
nilai dengan kualitas seperti Baik, Sedang, Kurang tanpa menyebut berapa kuantitatifnya.
UN, Uji Nyali
UN
menjadi tantangan buat kita semua baik lembaga sekolah, orang tua, pemerintah
terutama siswa. Ini mirip seperti uji nyali. Mampukah kita jujur? Toh, seperti
disebutkan sebelumnya UN tidak berpengaruh besar seperti sebelumnya. UN hanya
untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu. Tidak seram
lagi seperti dulu. Dan saya yakin tidak menghantui anak-anak kita lagi.
Bagaimana sanggup menerima tanntangan ini?
Semestinya
kita semua sanggup dan saya yakin bisa. Apalagi
sebagai bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter tinggi
dan kuat. Itu sudah ditampilkan oleh pendahulu kita ke pentas dunia. Kita harus
belajar dari bung Karno, bung Hatta dan masih banyak tokoh besar yang kita
miliki. Mereka memiliki karakter kuat sehingga mampu berperan membawa nama baik
bangsa di kanca internasional.
Melakukan
perubahan memang tidak mudah, membutuhkan usaha keras dan kerja nyata serta
komitmen tinggi. Revolusi mental yang digagas pak Jokowi (2014) mungkin harus
dimulai dari sini, dari kejujuran pelaksanaan UN, atau lebih luas dari dunia
pendidikan kita. Dalam tulisan yang monumental, dimuat di Kompas 10 Mei 2014,
Jokowi prihatin dengan kondisi bangsa kita pasca reformasi yang belum mampu
mereformasi mentalitas dan karakter kita semua. Mental dan karakter bangsa kita
tidak membaik bahkan cenderung memburuk. Jokowi menyebut 8 hal, dimana
mentalitas bangsa kita merosot. Apa saja? Jokowi menyebut korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus,
ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Delapan tersebut menurut pengamatan saya bersumber
pada rendahnya karakter bangsa kita. Rendahnya karakter bisa diperbaiki melalui
pendididikan. Disini relevansinya. Nah, bagaimana? Siapkah nyali kita diuji di
ujian nasional kali ini? Silahkan buktikan besok saat UN dilaksanakan.
(Tulisan ini
pernah dimuat di harian RADAR Cirebon, Senin 4 Mei 2015/15 Rajab 1436 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar