Hari-hari
ini sedang ramai dibicarakan di
pemberitaan baik cetak maupun online juga media sosial tentang seorang guru di
Shanghai Tiongkok yang dibuly dan
dihujat oleh kalangan nitizen karena diketahui meminta dipayungi oleh muridnya selama
pikinik di Peace Park. Foto
yang di-posting via Weibo pada 30 April 2015 tersebut menunjukkan seorang anak
laki-laki yang mengangkat payung untuk meneduhkan kepala perempuan. Setelah
gambar-gambar itu beredar, guru perempuan tersebut dituduh menyalahgunakan
jabatannya untuk menyuruh muridnya memayungi dirinya. Walau yang bersangkutan sudah
meminta maaf, hujatan tetap saja berlanjut. Menjadi guru atau pendidik memang
bukan sesuatu yang mudah, tanpa resiko. Sebaliknya mendidik manusia adalah
pekerjaan yang memiliki banyak kesulitan. Karena yang menjadi obyek pekerjaan
adalah makhluk tuhan termulia, manusia yang memiliki akal pikiran, berbeda
dengan makhluk lainnya.(QS:95:04) Mendidik manusia hendaknya dengan cara-cara
yang manusiawi. Yaitu menempatkan dan
memperlakukan peserta didik layaknya manusia. Ini tugas berat yang dilakoni
seorang guru. Ketika memperlakukan peserta didik secara tidak manusiawi, mendidik
akan jauh dari hasil yang diinginkan.
Meminta
dipayungi oleh murid mungkin bisa dimaklumi, paling tidak masih ada alasan yang
masuk akal. Bisa jadi hanya sikap guru yang sedikit lebay, minta
perhatian dari anak didiknya. Walau sebagian orang menganggapnya sebagai
tindakan yang tidak manusiawi karena dianggap telah menyalahgunakan peran dan
jabatan sebagai pendidik. Tapi bila kurikulum, strategi, metode, cara mengajar
yang tidak manusiawi masih diterapkan
oleh para guru kita tentu menjadi problem serius bagi dunia pendidikan saat
ini. Sering kita menyaksikan di pemberitaan seorang guru diadukan ke kantor
polisi oleh wali siswa karena tindak kekerasan yang dilakukannya dalam proses
belajar mengajar di kelas. Atau siswa tidak mau masuk ke kelas karena takut
pada gurunya. Ada lagi anak tak mau sekolah karena sekolah dianggap seperti
penjara yang memenjarahkan perasaan dan jiwanya. Di sekolah banyak aturan
katanya. Ini tidak boleh, begini dilarang, begitu diancam. Wal hasil di sekolah
tidak seperti di taman siswa, konsep
belajar yang digagas Ki Hajar Dewantara yang menyenangkan.
Menurut
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,
guru diwajibkan memiliki empat kopetensi, yaitu 1)kompetensi pedaagogik, 2)kompetensi
kepribadian, 3) kompetensi profesional, 4)
kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik ialah kemampuan mengelola
pembelajaran dalam kelas. Guru dituntut
memahami karakter, watak, dan sifat siswa agar bisa mengajar dan membimbing
mereka dengan menyenangkan. Dalam KBM guru harus menyusun perencanaan,
melaksanaan pembelajaran yang menyenangkan, dan mengevaluasi hasil belajar.
Dalam
kompetensi kepribadian, guru dituntut menjadi teladan bagi anak didik juga
lingkungannya. Orang tua kita mengartikan guru dengan digugu dan ditiru. Guru harus berakhlak mulia, memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewas, arif dan berwibawa. Kompetensi
profesional adalah penguasaan guru terhadap materi pembelajaran yang luas dan
mendalam sehingga ia dapat membimbing siswa menuhi standar yang ditetapkan.
Sedangkan kempetensi sosial adalah kemampuan guru bergaul, berhubungan serta
berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, orang tua
peserta didik dan masyarakat luas.
Mendidik Secara
Manusiawi
Untuk menjadi gurunya manusia yang mendidik secara
manusiawi guru disamping harus memiliki empat kompetensi di atas juga harus
mampu memperlakukan peserta didiknya selayaknya manusia. Menurut Munif Chatib
(2011), guru harus menganggap dan memperlakukan seluruh siswanya sebagai siswa
cerdas dan pandai. Setiap anak adalah juara sesuai bakat yang dimilikinya.
Tidak ada peserta didik yang bodoh. Menjadi tugas guru menemukan, menggali dan
mengembangkan bakat siswanya. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia sebaik-baik
bentuk dan ciptaan?(QS:95:04) Dengan demikian guru tidak akan lagi menyebut
bodoh siswanya. Guru memperlakukan siswanya secara sama. Ranking tidak berlaku
lagi bagi gurunya manusia. Apalagi dijadikan alat untuk membedakan mereka.
Sekali lagi tidak.
Gurunya manusia mengajar dan mendidik dengan hati. Mengajar
dan mendidik dengan ikhlas mempercepat hubungan harmonis dan nyaman dengan
siswa. Satu sama lain saling menghargai dan menyayangi. Keikhlasan hati dan
kasih sayang akan menghindarkan guru dari kekerasan dalam mengajar dan mendidik
baik kekerasan fisik maupun pisikis (baca:non fisik). Tidak ada bentakan, marah-marah
apalagi pukulan. Bila ada guru yang sering marah, membentak sana-sini, bisa
jadi ia sedang menutupi kelemahanya karena tidak bisa mengajar dan mendidik
dengan hati yang tulus dan kasih sayang.
Gurunya manusia berperan sebagai fasilitator. Ia tidak
dominan menggurui, mentranfer ilmu pada anak didiknya. Guru fasilitator bukan
penceramah yang mengandalkan dan selalu menggunakan metode ceramah di kelas.
Lehernya menjadi membengkak karena sehari-hari berbicara panjang lebar di depan
kelas tanpa menghiraukan dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswanya.
Sebaliknya gurunya manusia menganggap siswanya sebagai teman diskusi,teman
gobrol sehingga ia hanya membimbing mereka dalam memahami dan menerapkan
pelajaran. Sebagai fasilitator guru mendorong siswa-siswinya untuk bertanya,
memotifasi mereka untuk mengkaji lebih dalam. Ciri guru fasilitator adalah
banyak mendengar, sedikit bicara. Ia menampung semua pembicaraan siswa, dan
cukup hanya mengarahkan pembicaran mereka sesuai rencana pembelajaran.
Anak-anak dibiarkan aktif berkreasi, dan berpendapat.
Gurunya manusia juga mengajar dengan cara yang
menyenangkan. Ki Hajar Dewantara sebagaimana sudah saya singgung di atas
menyebut dan menamai sekolah yang didirikanya dengan sebutan taman siswa. Taman itu sesuatu yang
indah yang akan mempesona setiap orang yang memasukinya. Secara filosofi beliau
berpesan kepada kita bahwa pembelajaran itu harus menyenangkan, tidak
menjenuhkan, tidak membosankan, apalagi menyedihkan. Saat anak kita masuk TK
(kepanjanganya taman kanak-kanak) terlihat mereka gembira. Saat ke sekolah
dasar (apa karena sebutan taman sudah
tidak ada lagi) kebahagian dan kegembiraan mereka mulai sirna. Begitu
seterusnya,di SLTP, SLTA, bangku kuliah yang tersisa hanya kepenatan dan
kesulitan dalam pembelajaran. Nampaknya ada yang hilang di sekolah-sekolah kita. Apa yang hilang?
Guru yang menyenangkan, jawabnya.
Nah, saatnya kita semua menjadi gurunya manusia karena saat
kita mengajar dan mendidik secara tidak manisiawi bukan keberhasilan yang akan
kita peroleh justru kegagalan peserta didik yang akan kita temukan. Wa Allahu a’lam. (Tulisan ini dimuat di harian Radar Cirebon, edisi 12 Mei 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar