Minggu-minggu ini para orang tua sudah
mulai sibuk mencari, memilih dan menyiapkan segala persyaratan untuk memasukan
anak-anak mereka ke sekolah baru. Yang anak-anak masuk ke TK, yang lulus TK ke
SD, dari SD ke SLTP. Begitu seterusnya. Untuk keperluan ini tidak sedikit uang
yang harus disiapkan. Bagi yang berduit mungkin tidak terlalu masalah tapi bagi
yang berkantong cekak alias pas-pasan, nah terasanya di kepala. Pusing tujuh
keliling. Memasukan anak sekolah sekarang menjadi problema tersendiri. Pertama, banyaknya informasi yang
mengampiri kita. Semua menawarkan lembaga (baca:sekolah) masing-masing. Dan
semuanya mengklain yang terbaik. Tidak ada kecap nomor dua, istilahnya. Ini
bisa membingungkan sekaligus juga menjebak. Tidak sedikit dari orang tua yang
menyesal setelah memasukan anaknya di sebuah sekolah. Kadang sekolah tak cocok
bagi anaknya. Ini masalah serius bagi anak-anak kita. Tidak bisa dibayangkan
anak sekolah tidak nyaman, tidak happy, tidak betah di sekolah? Bagaimana nanti
belajarnya? Menurut Muhamad Alwi (2014) dalam bukunya Anak cerdas Bahagia dengan Pendidikan positif, belajar itu harus
dilalui dengan bahagia dan berakhir dengan kebahagian hidup saat dewasa
meninggalkan bangku sekolah. Banyak kasus orang sukses tapi tak bahagia. Bisa
jadi karena sejak di sekolah mereka tak bahagia dalam belajarnya. Kedua, hampir semua informasi yang diterima
baik lewat brosur, pamlet, atau di media online tak tertinggal mencantumkan
baged masing-masing. Entah uang pakalnya, uang pakaian, uang buku, atau bantuan
pendidikan (bulananya). Orang tua harus teliti menghitung, mengukur kemampuan.
Sebab seringkali antara keiinginan (baik
anak maupun orang tua) dan kemampuan tak singkron. Ini masalah juga.
Perbedaan masing-masing latar belakang
lembaga sekolah menciptakan kasta bagi sekolah. Lahirlah sebutan sekolah elit,
sekolah mahal, sekolah internasional, sekolah menengah, sampai sekolah kelas
bawah atau sekolahnya kaum pinggiran.
Masuk tidaknya calon peserta didik di satu sekolah ditentukan oleh keadaan
ekonomi orang tua mereka. Ada juga yang mengacuh hasil tes. Bagi yang bodoh
jangan mimpi masuk ke sekolah elit. Demikian juga berlaku bagi yang tak
berduit. Ini salah satu kastanisasi dalam dunia pendidikan kita. Sebelum lebih jauh mari kita pahami bersama
apa kasta itu? Istilah kasta saya analogikan pada istilah yang digunakan saudara-saudara
kita yang beragama Hindu. Yaitu Sistem
kasta telah menentukan bahawa masyarakat beragama Hindu boleh
dibahagikan kepada beberapa kumpulan dan peringkat. Pada umumnya, kelas
tertinggi ialah para Brahmin atau Brahmana, manakala kelas
terendah ialah kaum pariah atau dikenali sebagai "mereka yang tidak
boleh disentuh" atau dalam bahasa Inggeris
"untouchables". (http://ms.wikipedia.org/wiki/Sistem_kasta) Secara sederhana kastanisasi dalam
pendidikan adalah pengelompokan, pembagian peserta didik dalam
tingkatan-tingkatan dalam kegiatan belajar mengajar. Satu kelompok berbedah dan
dibedakan, berpisah dengan yang lainnya.
Kastanisasi
Yang lain
Kastanisasi dalam dunia
pendidikan kita tidak terbatas pada
persoalan status sekolah, elit, menengah,
pinggiran. Masih ada pengelompokan-pengelompokan lain yang mirip dengan
kasta (baca:Kastanisasi) Berikut diantaranya:
1.Kastanisasi rombongan belajar. Begitu masuk, peserta didik
dikelompokan ke dalam rombongan belajar atau kelas. Biasanya kelas ditentukan
berdasarkan tes masuk. Yang nilainya tinggi dikumpulkan dalam satu kelas.
Disebutnya kelas A, kelas B untuk yang nilainya dibawahnya, begitu seterusnya
C, D. Peserta didik diklasifikasikan berdasarkan hasil nilai tes masuk. Malang
bagi mereka yang nilainya rendah. Mereka disebut sebagai kelas bawah, kelasnya
anak-anak nakal dan bodoh. Mereka seringkali tersiasiakan oleh sistem di
sekolah. Guru pun kerapkali memilih tidak masuk di kelas mereka. Pembagian kelas ke A, B, C dan seterusnya
melahirkan kasta sosial bagi peserta didik. Ini tentu tidak sehat bagi
lingkungan sosial di sekolah. Kedepan ada baiknya kita tak membaginya lagi seperti itu. Adalah
Munib Chatib dan Irma Nurul Fatimah (2014) dalam bukunya, Kelasnya manuisia menyarankan agar memberi nama kelas berdasarkan
beberapa hal.Pertama, menyesuaikan
jenjang pendidikan seperti untuk TK diusahakan menggunakan nama-nama yang
sangat mudah diketahui dan disebut semisal seperti nama hewan pemeliharaan di
rumah sebut saja kelas kucing, kelas kupu-kupu dan sebagainya. Kedua, nama kelas bisa menyesuaikan visi
misi sekolah. Contoh visi sekolah adalah ramah lingkungan bisa saja menamai
kelas dengan kelas gunung, kelas merapi, kelas sungai, hutan dan lainnya. Ketiga nama kelas juga bisa mengambil
nama tokoh seperti kelas 7 Habibi, kelas 7 Sukarno. Juga lainnya. Keempat, nama kota atau tempat tertentu
bagus juga untuk nama kelas. Contoh kelas Madinah, kelas Cairoh. Nah, dengan
demikian tidak ada lagi kasta sosial antara kelas di sekolah. Semua peserta
didiik dipandang sama. Pengelompokan bisa berdasrkan abjad nama mereka, atau
berdasarkan urutan mendaftar.
2.kastanisasi mata pelajaran. Awalnya ilmu terdikotomi menjadi
ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum mendapat tempat lebih tinggi, lebih
bergengsi daripada ilmu agama. Dikotomi ilmu umum dan agama merupakan warisan
penjajah Belanda yang masih mengkristal dalam kehidupan masyarakat kita. Terbukti
sampai hari ini pegelolaan pendidikan
ditangani oleh dua departemen. Kementerian pendidikan menyelenggarakan
pendidikan umum (TK-SD-SLTP-SLTA-PT). Sementara kementerian agama
menyelenggarakan RA, MI, MTs, MA, dan PTAIS (Perguruan Tinggi agama Islam
seperti UIN atu dulu IAIN). Berikutnya kastanisasi lebih detail lagi yaitu dalam bidang studi. Kastanisasi dalam bidang
studi meliputi:
Kelas
1 yaitu bidang studi Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA)
Kelas
2 yaitu ilmu pengetahuan sosial (IPS)
Kelas
3 yaitu (kelas bawah) meliputi ilmu agama, budi pekerti, kesenian, ketrampilan
Sampai
hari ini di kampus-kampus fakultas atau
jurusan yang mencerminkan bidang studi kelas 1 sangat disegani, bergengsi,
serta eletis misalnya fakultas kedokteran, fakultas teknik. Sementara fakultas
keagamaan, fakultas sastra hanya menjadi fakultas buangan yang menampung calon
mahasiswa yang tak lulus di fakultas favorit. Hal seperti ini juga terjadi
dalam penjurusan tingkat SLTA. Ke depan harusnya kastanisasi seperti ini ditiadakan
dan jangan dipegangi lagi. Bukankah ilmu itu bebas nilai? Bukankah semua ilmu
itu sama?
3.Kastanisasi dalam ranking. Dulu dalam rapot tertulis ranking
masing-masing peserta didik. Saat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
diberlakukan ranking itu ditiadakan. Tapi orang tua (baca:wali siswa)
tetap menuntut ke guru untuk meranking
anak-anak mereka. Upaya menghilangkan ranking yang dilakukan oleh pemerintah
belum sepenuhnya berhasil karena telah mengakarnya sistem ranking pada
masyarakat. Ranking yang awalnya bertujuan untuk memetakan kemampuan siswa
berdampak pada pengelompokan-pengelompokan lain. Peserta didik terbagi tiga
lapisan. Pertama, siswa-siswi pandai
yang berada di sepuluh besar. Kedua, siswa
menengah (baca:kategori sedang) berada di kisaran ranking belasan. Ketiga
, siswa bodoh, ranking mereka berada di urutan 10 dari bawah. Ranking telah
menciptakan kasta dalam kelas. Nampak terlihat dampak negatif dari kastanisasi
ini saat mereka belajar bersama, berdiskusi, membentuk kerja kelompok dan
lainnya. Lapisan ketiga (kelompok anak-anak yang dianggap tidak pandai)
kerapkali tersia-siakan oleh kelompok lain. Padahal menurut teori multiple intelgences yang dikembangkan
oleh Howard Gardner menegaskan bahwa manusia itu memeiliki kecerdasan majemuk.
Sehingga tidak ada anak bodoh. Semua anak pandai dan cerdas di bidangnya
masing-masing. Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku, Buku Kerja Multiple intelgences karya Thomas R Hoer menyindir,
“anak-anak yang kita anggap istimewa
adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita.
Rasyid dan Dani punya kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi
sekolah-sekolah kita mengabaikannya”. Alhasil ranking tidak bisa dijadikan
acuan pemetaan peserta didik lagi. Karena ranking hanya mengukur kecerdasan
knowledg sedang kecerdasan manusia sangat majemuk.
Orang tua yang bijak tentu tak akan memasukan anak-anaknya ke sekolah yang
masih memberlakukan sistem kasta. Karena kastanisasi dalam pendidikan sangat
berpengaruh negatif dalam proses belajar mengajar anak. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar