Berdasarkan sidak yang dilakukan,
Menristek PT menilai bahwa kampus itu tidak lazim digunakan untuk perkuliahan
apalagi sampai mendapatkan ijazah. Dari data yang didapat saat sidak,
Adhy Niaga menerima sekitar 800 sampai 1.000 mahasiswa setiap semester. Keseluruhan
ada 3.500 mahasiswa, jadi bagaimana mereka bisa ditampung? Tegas sang menteri.
Ini sangat memalukan. Kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak termasuk
Muhaimin Iskandar, ketua DPP PKB menegaskan, ini menghancurkan moralitas
bangsa. Pelaku utama dan semua yang terlibat harus ditindak tegas. Begitu pula
dengan pengguna ijazah palsu, harus diproses secara hukum. Sebagai bangsa yang
mengedepankan akhlaqul karimah, berbudaya dan menjunjung moralitas, hendaknya
kita menghargai hakikat kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, apalagi dalam dunia pendidikan.
Kaitan
dengan ijazah palsu memang bukan barang baru. Sudah lama menjadi bahan
gunjingan masyarakat luas. Banyak kasus yang sudah diperkarakan hingga ke
pengadilan. Berbagai kalangan tersandung kasus ini mulai dari para pejabat,
anggota dewan, kepala daerah, sampai praktisi pendidikan sendiri seperti guru
atau dosen. Ijazah asli tapi palsu (baca:aspal) sudah menjadi rahasia umum, dan
ironinya menjadi lumrah. Orang tanpa kuliah, secara tiba-tiba bertitel S1, S.2,
bahkan S.3.
Ada beberapa alasan (baca:motif)
orang memalsukan ijazah.Pertama,
mengejar gengsi. Orang yang memiliki kedudukan di pemerintahan, ormas, parpol, atau di tengah
masyarakat kadang buta mata untuk menjaga gengsi dan martabatnya rela
menggadaikan kejujuran menukarkannya dengan ijazah palsu. Kedua, Mengejar mimpi, menggapai ambisi. Saat menginginkan sesuatu
jabatan atau kedudukan yang bersyaratkan pendidikan orang mau mengorbankan
idealisme dan moralitas dengan membeli ijazah. Ketiga, menjadi rahasia umum ijazah palsu mudah didapatkan asal
berkantong tebal, dan siap membeli. Kemudahan itu yang dimanfaatkan oleh orang-orang
yang miskin kejujuran. Bukankah di negeri kita bertaburan penyelenggara
pendidikan? Maaf sebagiannya adalah lembaga abal-abal, yang tak jelas
perijinanya, kualitasnya, akriditasinya. Karena pemerintah juga terlalu mudah
memberikan izin pendirian sebuah lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus.
Pendidikan miskin kejujuran
Ungkapan
di atas tidak berlebihan karena nyata dan kita bisa menyaksikan. Hanya kita tak
bisa berbuat banyak sebab ketidakjujuran telah menggurita dan menjadi sistemik.
Pemalsuan ijazah hanya bagian kecil dari berbagai kecurangan dalam dunia
pendidikan kita, ibarat gunung es yang tak terekspos lebih banyak lagi. Ujian
nasional (di semua tingkatan) dari tahun ke tahun menjadi uji nyali mampukah
dunia pendidikan berbuat jujur? Dan nyatanya masih belum mampu terbukti hampir
setiap tahun pelaksanaan ujian nasional tercoreng dengan kasus kebocoran soal,
jual beli kunci jawaban di berbagai daerah. Bahkan terakhir saat UN tidak
seperti dulu lagi, saat UN tidak menentukan kelulusan tetap saja ketidakjujuran
mewarnai. Coba amati, kebiasaan mencontek peserta didik belum bisa dihilangkan
di setiap jenjang pendidikan. Plagiat menjadi rahasia umum dalam penyusunan
karya ilmiah seperti skripsi, tesis, bahkan desertasi. Kaitan dengan hal ini menristek
PT Muhamad Nasir (2015) bahkan telah mewacanakan penghapusan penulisan skripsi.
Karena penulisan skripsi hanya mencetak generasi copy paste. Pro kontra pun sekarang bermunculan. Ini semua menjadi
tantangan berat dunia pendidikan di saat Indonesia membutuhkan SDM berkualitas,
berkarakter dalam membangun negeri ke depan. Dan tantangan berat ini harus
disadari oleh emua elemen bangsa. Semuanya harus bisa berperan melawan
ketidakjujuran di dalam dunia pendidikan.
Tentu kita tidak boleh berpangku tangan
melihat keadaan di atas. Kita harus siap mengobarkan semagat revolusi melawan
ketidakjujuran. Kenapa revolusi? Karena ungkapan reformasi tak mampu lagi melawan
kecurangan dan ketidakjujuran masif dan sistemik seperti sekarang. Revolusi itu
dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan terdekat, sampai masyarakat
luas. Bukankah hal ini yang menjadi inti pesan presiden Jokowi dalam semagat
revolusi mentalnya? Pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama. Menteri
Anis Baswedan dalam sambutan pada hari pendidikan 2 Mei beberapa waktu lalu menegaskan,
wajah masa depan kita berada di ruang-ruang kelas,
memang. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa
depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi
pendidikan. Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun,
secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik.
Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah
gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan
topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan.
Gerakan
revolusi melawan ketidakjujuran harus dimulai dengan penegakan hukum yang
tegas, tak pilih kasih terhadap pihak-pihak yang melakukan kecurangan sekecil
apapun dalam dunia pendidikan. Bukankah perangkat hukum kita sudah lengkap?
Contoh mengenai pemalsuan ijazah dalam Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengatur bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kemudian gerakan ini harus sistemik,
dari atas ke bawah. Selama ini dilemanya adalah saat guru-guru (yang berada di
level bawah) siap menegakan kejujuran dalam UN misalnya dengan tidak memberi
bantuan ke siswa dengan merubah hasil kerja mereka berhadapan dengan kebijakan
kepala sekolah yang berlawanan. Dan saya yakin kepala sekolah pun merasakan hal
yang sama, mereka diminta oleh atasanya untuk menyikapi hasil kerja peserta
didik. Menyikapi diterjemakan berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Anda
pasti memahami maknanya.
Dan terakhir gerakan bersama juga
membutuhkan keteladanan dari para pemimpin. Karena keteladan memiliki energi
kuat dalam mendorong proses perubahan. Kita dalam segala mengalami krisis
keteladanan. Sebagai dorongan moril untuk mengingatkan kita semua, Rasulullah
SAW menegaskan kejujuran itu membawa kepada kebaikan. Kebaikan membawa ke surga. Dan dusta menjerumuskan ke
malapetaka (baca:dosa). Dosa menggiringi pelakunya ke neraka. Wa Allahu
‘Alam
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar, Senin, 25 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar