Menurut hasil penelitian Munif Chatib
(2009), banyak sekolah dinegeri ini yang jauh dari ideal. Beliau menyebutnya
dengan istilah sekolahnya robot. Yaitu sekolah yang tidak memperlakukan
peserta didiknya selayaknya manusia baik dalam proses belajar mengajar, target
keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya. Sekolah semacam itu akan
membuat peserta didik tertekan saat belajar. Di sekolah merasa di penjara.
Kelas ibarat sel tahanan yang mengekang. Gurunya dikenal keras, galak, killer
sebutan lainnya. Sekolah model ini jelas tidak representatif untuk belajar
anak-anak kita.
Sekolahnya
manusia
Berlawanan dengan sekolahnya robot,
Munif Chatib menyebutnya sebagai sekolahnya manusia. Yaitu sebuah istilah untuk
sekolah-sekolah yang secara sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan dan
pembelajaran anak secara manusiawi atau tegasnya sesuai dengan prinsip-prinsip
kemanusian universal. Sekolah yang menawarkan kebahgian peserta didik dalam
kelas karena guru dan metode yang digunakan sangat menyenangkan, tidak
menjenuhkan apalagi menyulitkan. Sekolah yang menghargai semua bakat yang
dimiliki peserta. Sekolah yang memperlakukan peserta didik secara sama., tidak
membedakan satu dengan yang lain. Tidak membedakan antara yang bodoh dan yang
pandai karena sekolahnya manusia beranggapan bahwa semua anak pandai dan cerdas
sesuai bakatnya masing-masing. Sekolah yang semua elemen di dalamnya membawa
pesan dan spirit yang merangsang semangat belajar peserta didik.Lantas
bagaimana kriteria atau ciri sekolahnya manusia itu? Berikut beberapa hal yang
membedakan sekolahnya manusia dari sekolahnya robot.
Pertama,
Sekolahnya manusia meyakini bahwa setiap peserta didik memiliki kecerdasan
majemuk mengikuti teori multiple intergeces. Sebuah teori yang terakhir di
kembangkan oleh Dr Howard Gardner (1983), pemimpin Project Zero Harvard
University yang telah mengubah makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya.
Perubahan itu terlihat jelas pada tiga paradigma mendasar yaitu : 1)Kecerdasan
tidak dibatasi oleh tes formal. Sebab setelah diteliti ternyata kecerdasan itu
selalu berkembang dinamis, tidak statis.Tes yang dilaksanakan saat ini pasti
tidak mencerminkan kecerdasaanya sebulan, setahun mendatang dan seterusnya. 2)Kecerdasan
itu multidemensi dan selalu berkembang. Sampai saat ini Dr Howard Gardner telah
menemukan 9 ranah kecerdasan. Berikut diantaranya kecerdasan Linguistik, kecerdasan
logis matematis, kecerdasan spasial visual, kecerdasan musik, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intrapersonal, Kecerdasan kinestetis, kecerdasan
naturalis. 3)Kecerdasan itu sebuah proses discovering ability. Kecerdasan lebih
dititikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaik. Kadang
seoarang menemukan kondisi akhir terbaiknya di saat usia sudah tidak mudah
lagi. Penulis novel terbaik dunia, J.K Rowling menemukan kondisi terbaiknya
sebagai penulis pada usia 43 tahun. Sementara Sayyid Muhamad Husein
Thabathaba’i dari Iran menemukan kondisi terbaiknya dalam menghafal dan memahami
makna Al quran pada usia 5 tahun. Ia memperoleh gelar dokter kehormatan Al
Quran dari salah satu universitas Inggris di usia muda, 7 tahun.
Nah, dengan demikian sekolahnya
manusia memeperlakukan semua anak didiknya sebagai sang juara di bidang dan
sesuai bakatnya masing-masing. Tugas guru dan sekolah untuk menggali,
menemukan, serta mengembangkan bakat
(baca:kecerdasan yang dimiliki) setiap anak. Kemudian mengantarkannya pada
kondisi terbaiknya. Bagi sekolahnya manusia tidak ada siswa bodoh.
Kedua,
di sekolahnya manusia gurunya merupakan the best teacher. Yaitu para pendidik
dan pembimbing yang berperan sebagai fasilitator dan katalisator, memperlakukan
peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta melaksanakan proses belajar
mengajar dengan the best proccess. Yakni proses belajar mengajar yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua
kondisi dengan multi strategi. The best teacher adalah guru-guru yang terbebas
dari virus 3 T yaitu 1)Talking time,
guru yang menggunakan metode ceramah sepanjang masa, tidak pernah menggunakan metode lain. Guru yang
menyelenggarakan pembelajaran searah dari guru ke murid. Guru yang menghabiskan
80% jam pelajaran, sedang sisanya
diberikan ke peserta didik untuk mengerjakan latihan, menulis PR. Peserta didik
tidak diberi keluasaan untuk berbicara, beraktivitas. 2) Task analysis, guru
yang mengajar langsung ke materi, tidak
terbiasa menjelaskan kegunanaan, penerapan, atau urgensi materi yang
akan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, semua dari kita mungkin
bisa mengerjakan soal tentang pohon faktor, tapi bila kita semua ditanya untuk
apa pohon faktor itu? Kita tak bisa menjawab. Kerena guru kita dulu tidak
menjelaskannya. 3) Traking, yaitu mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan
kognitifnya. Contoh, kelas terbagi ke A, B, C. Kelas buat mereka yang pandai,
kelas B yang sedang, kelas C yang bodoh. Contoh lain adalah kelas akselerasi
yaitu kelas khusu yang diperlakukan berbeda dengan kelas lainnya.
Ketiga,
sekolahnya manusia memperlakukan peserta didik secara sama. Tidak dibedakan
antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pandai dan yang bodoh. Di
sekolahnya manusia tidak mengenal ranking bagi peserta karena ranking
menciptakan kasta dalam pergaulan sosial di sekolah dan melahirkan sikap
membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Di sekolahnya manusia semua
mata pelajaran dipandang sama. Tidak mengenal mata pelajaran berkelas elit yang
didewakan seperti anggapan orang banyak terhadap pelajaran matematika dan IPA.
Sebaliknya pelajaran yang selama ini dianggap ecek-ecek seperti kesenian diperlakukan
secara proposional.
Keempat,
sekolahnya manusia mendefinisikan prestasi sebagai tindakan meraih,
menyelesaikan, menacapai dangan usaha dan kinerja yang sukses. Prestasi bukan
dilihat dari hasil akhir tapi lebih sebagai sebuah proses yang berkualitas.
Sekolahnya manusia menjadikan peserta didik bintang, juara, berprestasi pada
bakat dan kemampuan mereka masing-masing.
Dan akhirnya semuanya kembali ke tangan orang tua. Mampukah mereka
menentukan pilihan terbaik buat pendidikan anak-anak? Orang tua sebagai guru
terbaik tentu tidak akan memilih asal sekolah, Munif Chatib menyebut sekolahnya
robot untuk anak mereka. Karena salah memilih sekolah akan berpengaruh negatif
pada perkembangan dan kemajuan pendidikan anak.
Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar