Penelantaran
dan kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Perbuatan keji tu diduga dilakukan
oleh orang tua mereka sendiri. Kemaren 14 Mei 2015 Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menggerbeg, melakukan penyelamatan terhadap 5 anak yang
menjadi korban kekerasan di sebuah rumah mewah di Cluster Nusa 2 Blok E nomor
37, Perumahan Citra Grand, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat. Berawal dari laporan
warga sekitar, KPAI berhasil mengamankan kelima bersaudara itu dan melimpahkan
kasusnya ke Polda Metro Jaya. Menurut pengakuan warga, DI, anak usia 8 tahun sudah
satu bulan lebih tak diperbolehkan masuk rumah orang tuanya. Anak itu tidur di
pos jaga perumahan, dan makan hanya dari
pemberian masyarakat. Warga kerapkali mendengarkan rintihan anak-anak yang
meminta tolong dari balik rumah mewah tersebut. Dan mengejutkan semua pihak
setelah diketahui bahwa orang tua berprilaku buruk itu adalah seorang dosen di kampus Muhammadiyah Cileungsi yang
berpendidikan S.2 sedang istrinya seorang sarjana yang hanya ibu rumah tangga.
Kekerasan
terhadap anak memang kerapkali terjadi di masyarakat kita. Hal itu terjadi
disebabkan beberapa faktor. Pertama,
faktor ekonomi keluarga. Kesulitan dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan hidup
yang menghempit akan menguras emosi
semua anggota keluarga terutama sang ayah. Saat emosi tidak stabil permasalahan
sepele dengan cepat membesar menjadi amarah yang mendorong tindak kekerasan.
Anak yang merupakan anggota keluarga terlemah secara otamatis selalu menjadi
sasaran dan korban. Kedua, rendahnya
pendidikan orang tua. Pendidikan sangat mempengaruhi prilaku seseorang.
Pendidikan yang cukup melahirkan orang tua yang dewasa dalam bertindak, bijak
dalam bersikap, bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Demikian sebaliknya. Ketiga, anggapan yang salah bahwa anak
adalah milik orang tuanya. Layaknya kepemilikan yang lain sang pemilik berhak
berbuat apa saja, tidak ada yang bisa mencegah. Seorang penyair terkenal Khalil
Gibran telah mementahkan dan meluruskan pandangan yang salah kaprah ini. Beliau
mengatakan, “anakmu bukanlah milikmu.
Mereka adalah putra-putri Sang Hidup
yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan
dari engkau. Mereka ada padamu tetapi bukan milikmu”. (Munif Chatib, Orang
Tuanya Manusia, halaman:01)
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik,
seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat,
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan
anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh
orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau
berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian
besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah
yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak
berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik,
pelecehan emosional/psikologis,
dan pelecehan seksual
anak. (http://id.wikipedia.org)
Dari definisi dan
pejelasan di atas kita dapat simpulkan bahwa kekerasan terhadap anak bisa
berupa kekerasan fisik , bisa juga non
fisik (baca:kekerasan psikis). Baik fisik maupun psikis, kekerasan terhadap
anak sangat berpengaruh buruk bagi pertumbuhan mental mereka. Dalam masyarakat,
umumnya kekerasan itu hanya yang berkaitan dengan fisik. Sedang yang bersifat
psikis seperti bentakan, ejekan, caci maki dianggap sebagai hal biasa, bukan
kekerasan. Ini ironi sekali. Karena pemahaman yang salah seperti itu banyak di antara
orang tua yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang melakukan tidak kekerasaan
pada anak-anak mereka. Seperti membentak anak, menurut para psikolog dapat
merontokan ribuan sel di otak mereka. Ini yang tidak disadari oleh kebanyakan
orang tua.
Tanggung
jawab Orang Tua
Kekerasan pada anak terjadi juga
karena kesadaran yang rendah terhadap tanggung jawab sebagai orang tua. Padahal
orang tua memiliki peran penting bagi masa depan anaknya. Nabi Muhamad SAW
menggambarkan bahwa anak-anak itu lahir dalam keadaan bersih, suci, layaknya
kertas putih, Kemudian kedua orang tua mereka yang akan membentuknya sebagai
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR.Bukhori)
Ini menujukan betapa besar peran dan tanggug jawab mereka. Dan tanggung jawab orang tua sekaligus menjadi
hak yang harus diterima oleh anak.
Dalam pandangan Islam orang tua
bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan anaknya. Diawali dengan memberinya
nama yang baik, disembelihkan akikahnya, diberikan ASI selama dua tahun
(QS.Lukman:14) dan menafkahi selagi mereka belum dewasa atau belum berumahtangga
dengan memberi rezki yang halal.( Q.S Al-Maidah 88) Ringkasnya, selagi
belum dewasa kehidupan anak berada di tangan orang tua mereka.
Kemudian
orang tua berkewajiban mendidik,
membimbing, dan membekali ketrampilan hidup sehingga saat dewasa anak-anak menjadi
mandiri dan bertanggung jawab dalam menjalankan kehidupan. Orang tua harus
menjadi guru yang terbaik bagi anak-anaknya. Kaitan dengan pendidikan bagi anak,
Islam bahkan telah menyiapkannya jauh sebelum kelahiran. Diawali mengatur
bagaimana cara memilih pasangan atau jodoh. Nabi Muhamad SAW membimbing pililah
jodoh karena kecantikannya, kekayaanya, nasabnya atau paling tidak karena
keimanan dan ketakwaanya. Dan saat menjadi pasangan telah diatur bagaimana tata
cara berhubungan suami-istri agar anak yang dihasilkan dari perkawinan itu
menjadi anak yang saleh. Saat anak dalam
kandungan orang tua dianjurkan untuk selalu beribadah dan berbuat baik karena
akan berpengaruh pada sang bayi. Sungguh begitu detail Islam mengajarkan kepada
kita.
Sebagai
seorang pendidik terbaik orang tua harus menjadi teladan dan panutan bagi
anak-anak mereka. Karenanya menampilkan akhlak mulia nan luhur menjadi tuntutan
agar anak dapat melihat, menilai, dan menteladaninya. Keteladanan ini yang
seringkali dilupakan. Orang tua lebih suka menang sendiri memerintah anak
berbuat sesuatu sedang ia sendiri belum atau tidak melaksanakan. Tak jarang
justru orang tua kerapkali melanggar ucapannya sendiri di depan anak-anak.
Contoh sederhana, ia mengajari anaknya agar jujur, jangan suka berbohong. Tapi
di waktu yang sama saat ada tamu (barangkali tak menguntungkan) ia
memerintahkan anaknya, katakan ayah tidak ada. Ini jelas tak mencerminkan
keteladanan.
Dalam
kaitan mendidik anak, Nabi Muhamad SAW menegaskan bahwa pilar utamanya adalah
1) kecintaan pada nabi SAW 2)Kecintaan pada ahlul bait (keluarga) nabi SAW 3)
bacaan Quran. Beliau bersabda, Didiklah
anak kalian dengan tiga perkara. Cinta kepada nabi kalian, Cinta kepada
ahlulbatnya (keluarga), dan bacaan Quran. (HR Adzailami)
Bila
kesadaran terhadap tanggung jawab sebagai orang tua bisa dihadirkan setiap saat
dan waktu serta dalam kondisi apapun maka Insya Allah kekerasan terhadap anak
apapun bentuknya baik yang fisik maupun non fisik akan terhindari. Kesadaran
itu justru akan menghadirkan dan mempertebal kasih sayang orang tua terhadap
anak-anak mereka. Nah, bukan kekerasan lagi yang akan mereka terima tapi cinta
kasih yang tulus dari orang tua mereka.SEMOGA. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar