Seperti diketahui oleh khalayak,
internet dengan kemudahan yang ada telah menjadi tempat pertentangan,
perselisihan, dan saling hina. Media sosial seperti Facebook, twiter, BBM, Whatsapp, atau lainnya dijadikan media saling ejek, saling hina,
melahirkan permusuhan sesama anak bangsa. Ironisnya yang terjebak pada prilaku
tak terpuji itu bukan hanya masyarakat awam seperti buruh kasar, tukang
ojek, tetapi seluruh lapisan masyarakat.
Tak sedikit dari kalangan terdidik seperti para politisi, artis, kaum
selebriti, bahkan agamawan. Ironis memang.
Di antara yang menjadi sasaran empuk penghinaan adalah Pak
Jokowi, presiden kita. Sejak masih menjabat Walikota Solo, hinaan, cacian kerap
kali terarah padanya. Menjadi presiden tidak menjadi penghalang, orang tetap
saja menghina beliau dengan berbagai cara. Dari yang sederhana sampai yang
sangat keji dan kejam. Hinaan pada Jokowi memang awalnya berlatar belakang
mengkritisi kebijakan, sikap, atau keputusan
yang diambil. Karena kebencian yang tertanam (Baca: bisa jadi dendam)
kritik tidak lagi membangun dan memberi solusi tapi berakhir dengan cacian,
makian, dan hinaan. Kritik tidak lagi berdasarkan logika, melainkan nafsu
membara. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, juga sebagai warga negara
biasa sebenarnya bisa saja beliau memidanakan para penghinannya., namun selama
ini tidak dilakukannya.
Dan sedihnya lagi, penghinaan itu dilakukan juga oleh para
kesohor dan tokoh di negeri ini.
Alih-alih menjadi teladan bagi orang kecil atau orang biasa, mereka
justru mempertontonkan kekejian yang dilakukanya. Anda masih ingat, Mantan
KSAU, Marsekal (Purn) Chappy Hakim menyebut Jokowi idiot di Twitter atas
pemilihan Panglima TNI. Politisi PKS, Fahri Hamzah menulis di Twitter bahwa ide Jokowi menjadikan 1 Muharram sebagai
hari santri adalah sinting. Roma Irama, si raja dangdut dengan keji menuduh
ibunda Jokowi sebagai seorang non muslim. Ahmad Dani, musisi kesohor negeri ini
menyebut beliau sebagai pengecut dan ingusan. Dan Masih banyak lagi.
Selama ini Pak Jokowi hanya diam menyaksikan hinaan dan
cacian dari rakyatnya. Saya tertarik mengutip tulisan Susy Haryawan untuk membandingkanya dengan Pak Karno. Pendiri bangsa sekaligus presiden pertama itu pernah marah besar
kepada kelompok mahasiswa yang menulis di tembok rumah istri beliau dengan kata
lonte. Beliau katakan, dia itu istriku, kalian anakku. Kalian
mengatakan ibumu lonte? Presiden, itu adalah pemimpin kita, bapak kita,
meskipun tidak memilih, mau tidak mau kita semua harus mengakui beliau sebagai
bapak atau orang tua kita sendiri. (http://www.kompasiana.com/paulodenoven/presiden-bukan-simbol-negara)
Beberapa
waktu lalu Presiden (baca:pemerintah) mengusulkan pasal tentang penghinaan
presiden dalam revisi KUHP yang baru. Jokowi mengungkapkan, pasal penghinaan presiden yang diajukan
kali ini sebenarnya memberikan penjelasan tegas antara fitnah dan kritik. Sebelum
revisi, menurut presiden, seorang pengkritik presiden bisa lebih rentan
dipidana karena masih banyak celah hukum yang ada. Langka Jokowi kaitan dengan
ini menuai banyak kritik, terutama dari kalangan aktivis demokrasi dan
poliktikus kontra pemerintah. Mereka beranggapan lima pasal terkait penghinaan Presiden dan Wapres tersebut bagaikan pasal
karet yang rentan disalahgunakan. Pasal itu tidak menyebutkan secara tegas dan
pasti batasan-batasan perbuatan yang digolongkan sebagai penghinaan.
Lebih jauh pemerintah
dianggap menentang putusan pengadilan dengan memasukkan pasal penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Pasal tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi setelah
melalui uji materi atau judicial review pada 2006.
Catatan
Buat Kita Semua
Terlepas dari pro kontra yang ada,
menurut hemat saya ada beberapa catatan yang barangkali dapat dijadikan
renungan dan pemikiran kita semua, pertama,
bahwa mengkritiksi pemerintah merupakan tanggung jawab kita semua. Artinya
pemerintah harus kita kontrol bersama. Jangan sampai melenceng dari rel,
janji-janji yang pernah diucapkan saat kampanye. Kritik harus dipandang sebagai
pelengkap yang dapat memperbaiki sekaligus mengontrol jalanya roda pemerintah. Kemudian
kritik harus mengedepankan semangat membangun, bukan menjatuhkan.
Kedua,
sebagai negara demokrasi, pemerintah harus selalu siap
dikritik dan menerima masukan dari masyarakat. Untuk itu, pemerintah selayaknya
selalu membuka ruang dialog dengan publik. Pemerintah tidak boleh alergi dengan
semua kritik dari siapa pun. Kesiapan
menerima kritik menunjukkan kedewasaan pemerintah, yang akan direspond positif
oleh rakyatnya.
Ketiga
sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter, kritik harus dibangun secara
santun, mengedepankan etika dan moral. Kritik jangan sampai terjebak pada caci
maki, saling menghina, atau membunuh karakter. Ketika kritik dilakukan dengan
cara tidak bermoral seperti itu, kemurnian kritik dapat disangsikan. Bisa jadi
kritik itu sebenarnya bukan kritik membangun tapi lebih dekat pada nafsu ingin
menjatuhkan, atau dendam kusumat. Dan pastinya, kritik semisal itu tak akan
menyelesaikan masalah, atau memperbaiki keadaan. Bahkan kritik semacam itu akan
melahirkan konflik yang berkepanjangan, yang menghabiskan energi kita semua.
Bila hal-hal di atas kita (pemerintah
dan rakyat) pahami, pegang teguh serta
berkomitmen menjaga dan menjalankannya, maka tak ada persoalanya apakah pasal
penghinaan itu ada atau tidak. Ada atau
tidak adanya pasal-pasal yang sekarang menjadi polemik itu tidak akan menjadi
masalah buat pemerintah atau Presiden, juga buat rakyat yang mengkritisinya.
Masyarakat leluasa mengkritisi, sedang pemerintah membuka setiap masukan. Kedua
bela pihak saling menghargai, menjungjung tinggi etika, dan moralitas.
Nah, saatnya sekarang menunjukkan
kedewasaan kita semua. Masih banyak persoalan penting bangsa ini yang harus
diselesaikan. Persoalan usulan pasal penghinaan presiden biarlah mengikuti
proses hukum yang ada. Toh, masih sebatas
usulan. DPR pun pasti akan mengkajinya lebih jauh. Semoga mereka dapat
menyelesaikannya dengan bijak. Amin. (Dimuat di harian Radar, Kamis, 13 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar