Kalau sebelumnya saat hari raya atau
lebaran Idul Fitri, istana kepriesidenan selalu menyelenggarakan open house
maka untuk tahun ini dipastikan tidak ada. Sebab, Presiden Jokowi lebih memilih
merayakan lebaran di propinsi Aceh. Ini membedakannya dengan presiden-presiden
sebelumnya. Sepengetahuan saya dari Presiden Soekarno sampai Presiden SBY
mereka selalu memilih berlebaran di Jakarta menggelar open house di istana
negara. Jokowi telah menorehkan sejarah baru. Jokowi tampil berbeda. Tentu
membangun tradisi baru bagi seorang Presiden RI.
Seperti disampaikan oleh Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, di Istana
Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/7/2015), Jokowi akan bertolak ke Aceh pada
Rabu malam didampingi keluarga, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri
Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang
Ferry Mursidan Baldan. Presiden akan
beraktivitas di dua kota, yakni Meulaboh dan Banda Aceh. Teten Masduki
juga memastikan tak ada open house di sana, presiden yang akan bersilaturrahmi
ke warga. Menurut rencana, Presiden akan merayakan malam takbiran di Masjid
Baitur Rahman, Banda Aceh. Di masjid itu pula, Jokowi akan melangsungkan shalat
Idul Fitri bersama keluarganya. Kemudian beliau juga berencana akan membagikan
2000 paket sembako untuk warga miskin. (www.kompas.com)
Bagi Presiden
Jokowi hal-hal seperti di atas bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya, Jokowi
memilih tradisi yang berbeda dalam perayaan hari raya keagamaan. Pada perayaan
Natal 2014, Jokowi memilih merayakan Natal bersama warga di Papua. Dalam
pandangan Nurul Ibad MS (2015) dalam
bukunya Jokowi dalam cermin dunia,
hal demikian disebut sebagai politik memanusiakan masnusia. Yaitu sebuah
pendekatan politik yang menyentuh hati, perasaan paling dalam manusia. Gaya
komunikasi dan politk Jokowi memang
sangat berbeda dengan gaya komonikasi dan politik pemimpin-pemimpin lainnya di
negeri ini.
Menorehkan
sejarah, apa untuk pencitraan?
Keputusan
Presiden memilih Aceh sebagai tempat berlebaran pertamanya (baca: setelah menjabat presiden)
sekilas merupakan sesuatu yang biasa saja. Tapi bila kita meneliti dan
melihatnya lebih dalam, itu bukan sesuatu yang biasa. Seperti disinggung
sebelumnya bahwa ini sebuah terobosan yang belum pernah dilakukan oleh seorang
Presiden Indonesia sebelumnya . Saya tertarik dengan logika yang dibangun oleh
Abang Goentanyo dalam tulisannya , Apa
Makna Jokowi Lebaran di Aceh? Beliau menegaskan, jika mengacu pada jumlah
Provinsi yakni 34 Propinsi, Jokowi akan memerlukan waktu 34 tahun untuk berlebaran di seluruh Propinsi. Karenanya, ia
harus menjabat presiden seperti rekor Soekarno atau Soeharto. Tapi hal itu
tentu tidak mungkin terjadi lagi. Sebab, berdasarkan peraturan dan
undang-undang yang berlaku sekarang jabatan presiden dibatasi hanya 2 priode
berarti cuma 10 tahun. Lebih-lebih bila mengacu pada usia, Jokowi saat ini berusia
53 tahun, maka ia baru selesai melakukan safari lebaran pada semua propinsi saat usia 87 tahun. Secara psikis
dan psikologis hal itu menjadi sesuatu yang sulit terwujud. Nah, dengan
demikian dapat disimpulkan, lebaran bersama di Aceh ini bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja kalau tidak mau
menyebutkannya sebagai hal yang luar biasa. (http://www.kompasiana.com)
Seperti
biasa, sebagian orang menuduhnya sebagai upaya pencitraan Jokowi di tengah
krisis kepercayaan rakyat karena dinilai gagal dalam membenahi ekonomi bangsa
selama ini. Tuduhan seperti ini memang selalu diterima oleh Jokowi dalam setiap
langkahnya. Dan Jokowi memahaminya sebagai kritik membangun bagi dirinya
sehingga ia tak merasa perlu membalas atau menjawab tuduhan-tuduhan tersebut.
Dan saya di sini bukan kapasitasnya untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu. Hanya
sebagai rakyat biasa saya berpikir, pertama,
bukan hal yang sederhana bagi kita
meninggalkan kediaman atau kampung halaman untuk sekadar belebaran dengan yang
lain. Itu sebuah pengorbanan besar seperti besarnya pengorbanan orang mudik ke
kampung halaman. Untuk mudik, orang harus mengorbankan banyak hal termasuk
resiko nyawa di jalan raya. Pak Jokowi melakukan sebaliknya, untuk menemui
rakyat yang dipimpinnya.
Kedua, taruhlah itu pencitraan, bagi saya
selagi untuk kepentingan rakyat, mendatangkan kebaikan buat mereka maka hal itu
tidak menjadi masalah. Bukankah bagi
presiden rakyat seharusnya ditempatkan
di atas segala? Pencitraan atau tidak itu urusan politik. Tidak ada urusan bagi
rakyat. Rakyat hanya butuh perhatian dari pemimpinnya. Mereka berharap banyak
dari pemimpinnya. Mereka akan merasakan setiap sentuhan kebijakan sang
presiden. Kemudian hal itu akan diingatnya lima tahun mendatang saat berada di
TPS untuk memilih atau tidak memilih seorang calon presiden.
Ketiga, berbaik sangka lebih baik. Dalam
segala hal sebaiknya jangan cepat
menuduh, beburuk sangka. Berilah
kesempatan orang berbuat sesuatu. Pelajari terlebih dahulu sebelum memberi penilaian
agar penilaian kita tak salah. Pandanglah sesuatu dari berbagai sudut yang
benat, jangan melihatnya dari sudut kita semata.
Pelajaran
buat semua
Sebagai orang bijak sebaiknya kita
mengambil pelajaran dari setiap peristiwa
dan kejadian. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran, pertama, bagi rakyat perhatian pemimpin
itu sesuatu yang istimewa, yang menjadi harapan. Apa yang dilakukan oleh
Presiden Jokowi seharusnya dapat dicontoh oleh pemimpin-pemimpin di daerah.
Kepala-kepala daerah baik Bupati/Walikota atau Gubernur harus lebih serius lagi
dalam mengayomi dan memgurus rakyatnya. Agar energi positif kepemimpinan ini
mengalir dari atas ke bawah dengan baik, dan berdampak positif bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.
Kedua,
besar kecilnya pengaruh dari apa yang diperbuat akan terlihat setelah
berlalunya sang waktu. Sering dijumpai saat ini biasa-biasa saja, tapi di
kemudian hari menjadi sesuatu yang luar biasa. Maka berilah penilaian di saat
yang tepat dengan cara pandang yang tepat pula.
Ketiga,
kepentingan politik kerap kali masuk ke berbagai lini dalam kehidupan berbangsa
kita. Politik seringkali mengaburkan makna. Dalam hal ini, rakyat seyogyanya
belajar memahami. Rakyat kecil seperti saya, diharapkan tidak cepat terpengaruh oleh arus informasi
yang bermuatan politk tertentu. Sebaliknya, setiap informasi harus diteliti,
dipelajari agar kita tidak selalu tertipu.
Akhir kata, semoga terobosan yang
dilakukan Jokowi berlebaran di daerah seperti Aceh ini tidak menjadi yang
pertama dan yang terakhir. Masih banyak daerah yang layak diperhatikan secara
khusus oleh Presiden. Dan yang paling penting semoga hal ini mendatangkan
manfaat dan kebaikan buat rakyat. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar