Dari tujuh daerah yang awalnya memiliki calon tunggal kepala
daerah dalam pilkada 2015 yaitu
Surabaya, Pacitan, Blitar, Tasikmalaya, Samarinda, Timor Tengah Utara, Mataram,
kini setelah perpanjangan waktu
pendaftaran berakhir kemaren, 11 Agustus 2015 tersisah empat daerah. Keempat
daerah yang dinyatakan diundur pelaksanaan pilkadanya pada tahun 2017 karena
hanya ada calon tunggal itu adalah Timor Tengah Utara, Mataram, Blitar, dan
Tasikmalaya.
Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah merupakan fenomena baru. Dan menariknya,
muncul pada saat pilkada akan dilaksanakan secara serentak. Keadaan ini membuat
gelisah berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, dalam hal ini KPU. Pasalnya,
karena hal itu penyelenggaraan pilkada serentak kembali dipertanyakan
kesiapannya oleh beberapa pihak. Wacana pengeluaran Perpu sempat bergulir.
Sampai akhirnya, memutuskan memperpanjang waktu pendaftaran.
Fenomena bakal calon tunggal di beberapa daerah saat ini,
menurut Ardi Winangun (2015) dilatar
belakangi oleh empat hal, pertama,
karena faktor trauma. Seperti kita ketahui bersama sebelumnya, pemilukada selalu
meninggalkan masalah bagi yang kalah juga yang menang. Biaya besar yang
dihabiskan untuk modal pemilukada adalah masalah utamanya. Baik yang menang
apalagi yang kalah sama-sama dililit hutang akibat pencalonan. Bedanya, yang
menang bisa sedikir lega, dengan memutar otak bagaiman caranya modal bisa
kembali. Berbeda dengan yang kalah, mereka harus gigit jari kehilangan harta
dalam jumlah yang cukup banyak. Karena itu, tak sedikit dari mereka yang stres
bahkan gila. Biaya besar dihabiskan untuk logistik kampanye, sosialisasi,
menggerakan massa, sampai money politik atau membeli suara. Menegok hal itu, banyak
bakal calon yang berpikir ulang. Mereka merasa takut. Ketakutan itu tak hanya
dirasakan oleh bakal calon dari jalur independen, tokoh-tokoh partai pun
merasakan hal serupa.
Kedua, karena susahnya mencari kata sepakat antara gabungan partai
politik yang akan mengusung. Kata sepakat akan sulit dicapai saat menentukan
siapa kepala daerah dan siapa yang menjadi wakilnya. Tidak ditemukannya kata
sepakat sampai detik akhir pendaftaran menyebabkan gagalnya pencalonan.
Ketiga, faktor
incumbent yang berprestasi yang mencalonkan kembali. Pencalonan mereka yang
telah nyata-nyata dicintai rakyat karena prestasi dan keberhasilannya dalam
memimpin dan mensejahterahkan mereka membuat calon lain berpikir ulang untuk
berhadapan melawannya. Dalam hal ini, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini
contohnya.
Keempat, calon tunggal, bisa juga dikarenakan adanya kepala daerah yang
dominan dan kuat. Partai politik dan DPR sepertinya tak berdaya atau ewuh
pakewuh menghadapai
kepala daerah semisal itu, yang hendak maju kembali dalam Pemilukada. Tokoh
sentral nan kuat di sebuah daerah membuat tokoh-tokoh lain mati kutu, tak bisa
berbuat banyak, termasuk mencalonkan diri.
Kelima, saya
menambahkan, fenomena calon tunggal juga disebabkan lambatnya regenerasi kepemimpinan di partai politik. Itu terjadi
tidak hanya di daerah bahkan di pusat. Keterlambatan itu karena keengganan
kader senior untuk memberi kesempatan lebih luas pada generasi muda. Mereka
kekeh mempertahankan diri di posisinya, termasuk dalam kaitan perebutan bakal
calon kepala daerah. Dan saat mereka tumbang di awal laga saat pendaftaran,
junior mereka belum atau tidak siap mengantisipasinya.
Bagaimana ke depan?
Mengatasi permasalahan di atas, menurut hemat saya ada
beberapa hal yang bisa diupayakan agar fenomena calon tunggal tak terjadi lagi
di waktu yang akan datang pertama, regenerasi
kepemimpinan yang baik dan cepat. Regenerasi adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan
untuk menghindari terputusnnya kepemimpinan. Regenerasi biasanya dihambat oleh
keengganan senior memberi kesempatan yang lebih longgar pada junior. Mustinya,
senior bersikap bijak, tahu diri, jangan memaksa kehendak. Faktor lain yang
menghambat regenerasi menurut Asrinaldi
A (2015) adalah pertimbangan pragmatis
justru menjadi dominan dalam menentukan pemimpin di partai politik. Karena itu,
mendudukan kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan mudah.
Bahkan, tidak jarang kelompok yang mendukung status qua di kepengurusan tetap
ingin memperjuangkan ketua lama kerena pertimbangan keuntungan yang mereka
dapatkan (print Kompas.com, 11, April
2015) Hal demikian tidak hanya terkait pada persoalan kepemimpinan di
internal parta, juga saat menyiapkan pemilukada. Di sisi lain, pragmatisme
seperti itu menunjukkan keengganan generasi muda (baca:junior) mengambil alih
kepemimpinan. Mereka lebih memilih berada pada zona nyaman dalam ketiak
seniornya. Ke depan, kedua belah pihak (senior-junior) harus siap bekerja sama.
Senior siap dan legowo untuk lengser. Junior siap mengambil alih kepemimpinan.
Kedua, meminimalisir biaya. Dalam
pimilukada, menjadi rahasia umum, anggaran terbesar yang harus siap
digelontorkan oleh calon kepala daerah adalah memenuhi kebutuhan money politic,
atau bagi-bagi uang pada pemilih. Bagi-bagi uang menjadi kebiasaan buruk para
calon kepala daerah untuk meraih simpati dan suara. Money politk sebenarnya
dilarang, dapat dijerat oleh hukum. Pasal
73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999
menyebutkan, barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum
menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik
supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia
menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara
paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima
suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu. Namun
demikian, pembuktiaannya sangat sulit. Karena kedua bela pihak
(pemberi-penerima) sama-sama saling membutuhkan. Para pemilih memilih cara
pragmatis karena menurut mereka memilih dalam setiap pemilihan baik kepala
daerah maupun calon legeslatif tidak berpengaruh apa pun bagi kehidupan mereka.
Ke depan, penegakan hukum dalam pencegahan dan penindakan money politik harus
lebiih tegas. Ketegasan akan menghadirkan efek jerah sehingga diharapkan dapat
meminimalisir praktek money politic.
Walhasil, regenerasi yang baik dan pelaksanaan pemilukada
yang efesien, efektif sangat berpengaruh dalam menghadirkan calon-calon
pemimpin daerah yang siap tarung, berkompetisi dengan sehat. Sehingga, insya
Allah, kita tidak akan terjebak lagi pada persoalan calon tungggal dalam setiap
pemilukada di masa yang akan datang. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar