Di tengah kemerian HUT RI ke 70
beberapa waktu lalu, hubungan Pemerintah-DPR kembali terusik. Pasalnya, Presiden Jokowi batal menandatangani prasasti
Penataan Kompleks Parlemen yang diminta DPR usai pemyampaian pidato kenegaraan tentang nota keuangan RAPBN 2016 pada 14 Agustus 2015. Sebelumnya, Ketua DPR Setya
Novanto dalam sambutannya meminta Presiden meneken prasasti. Tapi, ketika
mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat
proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama
sekitar 15 menit.
Penolakan Jokowi menandatangani prasasti tentu beralasan,
karena mega proyek tersebut baru sebatas wacana, belum menjadi bagian RAPBN
sekalipun. Penolakan tersebut mendapat sambutan dan dukungan khalayak ramai. Paling tidak
untuk dua alasan. Pertama, kondisi ekonomi
Indonesia dan dunia tidak memungkinkan bangsa ini memenuhi keinginan berlebihan
sekaligus mewah para (baca:sebagian) anggota dewan. Karena konsentrasi anggaran negara
bukan untuk kemewahan elite. Tetapi bagaimana ekonomi bangsa dapat selamat dan
rakyat diselamatkan. Kedua, mega proyek DPR dipandang bukan sebagai kebutuhan
tapi lebih tepat sebagai ambisi. Dan sejauh ini belum ada kajian yang dapat
menjadi dasar rasional dari proyek ini.
Sikap
Jokowi menolak penandatanganan ditanggapi oleh anggota dewan beragam. Ada yang
kecewa dengan penolakan tersebut. Mereka menunjukkan kekecewaannya sambil memaparkan
argumentasi di balik mega proyek itu ke
publik melalui media baik cetak atau elektronik. Sebut saja Fahri Hamzah,
poltisi kontroversial asal PKS ini dengan lantang menantang LSM yang menolak
mega proyek. Fahri Hamzah meminta semua Lembaga Swadaya
Masyarakat berhitung dengan benar. Dia berharap, LSM tak hanya menyebut angka,
tapi juga membeberkan variabel dalam sebuah jumlah yang dihitung. Tapi ada juga
yang menyadari sikap presiden. Merekalah yang dari awal tak menyetujui
megaproyek yang digagas teman sejawat mereka, sesama anggota dewan.
Bagi saya, orang awam, mega proyek DPR mencerminkan dan menjelaskan
beberapa hal, pertama, strategi
bergaya premanisme yang dipilih anggota dewan yang terhormat dalam memuluskan
keinginan dan ambisi. Terlihat, saat menjebak presiden untuk menandatangani
prasasti, proyek besar yang baru sebatas wacana sebagian anggota. Padahal,
dalam tata kelola negara hal yang tidak lazim dan tidak mungkin menandatangani
proyek yang tidak ada dalam RAPBN. Mereka menghembuskan isu bahwa pemerintah sudah setuju dengan anggaran
yang diajukan DPR, padahal sama sekali belum.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan bahwa pemerintah baru akan
mengkaji 7 mega proyek tersebut.
Kedua, arogansi anggota (tentu tidak
semua )DPR. Sudah jelas, DPR bukan
lembaga eksekutif, kenapa mereka mengambil peran pemerintah? Mereka seakan
menjelma menjadi kontraktor proyek kemudiam menggiring (baca:menjebak) dengan aroma memaksa pada eksekutif untuk menyetujui.
DPR harusnya mengusulkan ke pemerintah dalam RAPBN kemudian membahasnya bersama
pemerintah. Bila disetujui, baru dilaksanakan oleh pemerintah.
Ketiga, ketergesa-gesaan
DPR. Mega proyek belum menjadi kesepakatan atau keputusan bulat. Anggota dewan
belum satu suara. Partai semisal Nasdem, Demokrat, PDIP mengaku, tak pernah ada
pembahasan resmi dalam rapat-rapat DPR. Bahkan mereka merasa tak pernah
dilibatkan, tidak diajak membicarakannya. Karenanya, Ruhut Sitompul menyebutnya
sebagai jebakan Batman yang telah disirancang segelintir anggota dewan. Dan
Jokowi selamat dari jebakan itu. (http://smeaker.com/)
Lebih gegabah
lagi, DPR telah menyelenggarakan
sayembara desain gedung parlemen modern tersebut dengan total hadiah Rp 500
juta, padahal belum ada kejelasan apakah mega proyek tersebut akan dibangun
atau tidak. Mereka berpikir pokoknya ada desain dulu. Ini aneh sekaligus
mengherankan. Untuk apa itu? Dan menjadi pertanyaan publik, dana siapa yang
dipakai untuk hadiah sayembara tersebut? Ini ironi.
Saran untuk Anggota Dewan Terhormat
Melihat dan menyaksikan kejangggalan-kejanggalan cara
berpikir dan cara kerja anggota dewan, sebagai rakyat biasa saya menyarankan
kepada mereka yang terhormat, pertama, sudahlah,
fokus bekerja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan menghayal terlalu jauh
dengan membayangkan segala fasilitas serba megah dan mewah. Coba berpikir seperti para pendahulu, apa yang
dapat kita berikan kepada bangsa dan negara? Jangan dibalik, apa yang dapat
negara dan bangsa berikan kepada kita?
Kedua, intropeksi
diri. Kejadian ini selayakanya dijadikan momentum untuk intropeksi diri anggota
dewan. Coba mengevaluasi diri. Lihat program legislasi nasional (prolegnas).
Masih banyak RUU yang mengantri, membutuhkan kerja nyata mereka. Kinerja DPR selama 10 bulan
terakhir, baru menghasilkan dua UU yang
mereka bahas bersama pemerintah, itu pun tak sepenuhnya UU, karena salah
satunya cuma mengundang-undangkan Perppu. Mari berkaca dengan Parlemen Korea Selatan
misalnya. Dalam kurun waktu 4 tahun, mereka bisa menghasilkan lebih dari 1.000
UU. Bila dibuat rata-rata berarti 250 UU
per tahun atau 20 lebih UU perbulan. Itu baru luar biasa. Itu baru bekerja.
Ketiga, mari kita
jungjung tinggi moralitas dan etika dan aturan dalam setiap langkah.
Berpolitik, memang sah dan dilindungi oleh konstitusi. Tapi alangka lebih elok
bila kita melakukannya dengan tidak menghalalkan segala cara.
Akhir kata, penolakan penandatangan prasasti oleh Presiden
harusnya menjadi pembelajaran bagi para anggota dewan, juga kita semua. Bahwa
segala sesuatu itu harus kita lakukan dengan taat aturan dan hukum. Lebih bijak
bila dibarengi dengan menjungjung tinggi etika dan moralitas dalam
pelaksanaannya. Apalagi bagi anggota DPR, harus bisa menjadi panutan bagi
rakyat banyak. Bukankah mereka wakil-wakil rakyat? Bukankah mereka rakyat
pilihan? Wa Allau Alam
(Telah dimuat di harian Umum Radar, Senin 24 Agustus 2015)
(Telah dimuat di harian Umum Radar, Senin 24 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar