Di awal tahun pelajaran 2015-2016,
Mendikbud membuat terobosan yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi para
guru atau dunia pendidikan pada umumnya. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Permendikbud tersebut seperti penegasan kembali pentingnya penanaman
nilai-nilai luhur, budi pekerti, karakter. Sebab apa yang yang ditegaskan dalam
permendikbud sebenarnya telah dilakukan oleh guru dan sekolah, tentu tidak
semua. Artinya ada juga yang belum dilaksanakan.
Namun demikian, upaya Kemendikbud
dalam penumbuhan budi pekerti pada siswa harus diapresiasi oleh semua pihak
terkait. Kalangan pendidik harus lebih serius memperhatikan, menyikapi hal-hal yang ditekankan, ditegaskan dalam
permendikbud tersebut. Ini dapat dijadikan evaluasi bersama bahwa apa yang
telah dilakukan selama ini seperti upacara bendera, berdoa sebelum belajar,
bersalaman saat masuk dan keluar kelas, dan lainnya belum terlihat hasilnya
secara maksimal. Alasan ini yang barangkali melatar belakangi lahirnya Permendikbud
Nomor 21 tahun 2015 itu.
Kemudian Permendikbud juga harus
dimaknai sebagai peringatan untuk semua, terutama pendidik dan orang tua bahwa penanaman
nilai-nilai, karakter, budi pekerti membutuhkan waktu panjang. Yakni sebuah
proses yang terus menerus dilakukan, berupa pembiasaan yang diharapkan menjadi karakter peserta didik. Pembiasaan memerlukan
lingkungan. Nah, menjadi tanggung jawab semua (di sekolah, di rumah, di
masyarakat) untuk menciptakan lingkungan yang baik serta kondusif bagi berkembangnya
pembiasaan-pembiasaan nilai-nilai positif. Lingkungan yang mendukung akan
mempercepat pembiasaan nilai, budi pekerti menjadi karakter.
Terobosan,
Permasalahan dan solusi
Di samping sesuatu yang biasa dilakukan seperti upacara bendera,
berdoa sebelum dan sesudah belajar, bersalaman saat masuk dan pulang sekolah,
dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, ada juga hal-hal baru yang dapat
dikategorikan sebagai sebauh terobosan di dunia pendidikan kita saat ini.
Terobosan ini menjadi istimewa karena diberlakukan di awal tahun pelajaran
2015-2016 ini. Berikut terobosan-terobosan itu. Pertama, keharusan orang tua mengantar anaknya di awal masuk
sekolah. Ini berlaku buat semua peserta didik, tidak hanya siswa baru. Kalau
bagi peserta didik baru kita sudah sering melihatnya, terutama di sekolah dasar
atau sebagaian siswa baru pada tingkat menengah pertama. Untuk SLTA, kita
jarang menemukannnya. Dalam peraturan Menteri tersebut semua peserta didik
(baru atau lama) di semua tingkatan (SD, SLTP, SLTA) saat hari pertama sekolah
harus diantar oleh orang tua mereka. Tidak cukup hanya itu. Mereka (orang tua)
juga diminta menitipkan anak-anaknya pada guru di sekolah. Seperti serah terima
tanggung jawab, masing-masing dari mereka (orang tua-guru) harus memahami
kewajiban dan hak masing-masing baik saat anak-anak di sekolah atau di rumah.
Kedua belah pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing, mengajar, dan
mendidik mereka.
Kaitan
dengan hal di atas, Menteri Anis Baswedan pernah menegaskan bahwa wajah masa depan kita
memang berada di ruang-ruang kelas. Akan
tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu
hanya berada dipundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan.
Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara
moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Mengembangkan
kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama.
Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan
kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan. (Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI, di hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2015)
Hanya menjadi pertanyaan
kita semua, bisakah hal ini dilakukan oleh wali siswa? Di tengah kesibukan, apa
mereka mau melakukannya? Sebab selama ini partisipasi langsung mereka sangat
minim kalau tidak mau menyebutnya tidak ada. Mereka mempercayakan begitu saja
pada pihak sekolah. Mereka seakan tidak
mau pusing. Apalagi bila anak mereka beranjak dewasa (SLTP-SLTA), orang tua
dengan tanpa ragu berlepas diri. Mereka mempercayakan pada anak-anak mengurus
urusan sekolah mereka sendiri
Menyikapi hal di atas, pemerintah
hendaknya segera melakukan sosialisasi yang cukup. Sosialisasi dapat di lakukan
melalui televis, radio, media cetak.
Sosialisasi diharpakan bisa menumbuhkan kesadaran akan perlunya
kebersamaan (baca:gerakan bersama) dalam mendidik anak. Orang tua selayaknya
menyadari bahwa perkembangan pendidikan anak mereka tidak boleh diserahkan
begitu saja pada guru di sekolah.
Kedua,
menyanyikan lagu nasional di awal pelajaran dan lagu daerah di akhir
pelajaran setiap hari. Lagu nasional meliputi lagu wajib seperti Indonesia Raya
atau lagu perjuangan, juga lagu kebangsaan. Untuk lagu daerah tentu
masing-masing daerah berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk menamkan kecintaan
pada tanah air, membangkitkan semangat kebangsaan, menumbuhkan rasa
nasionalisme dan memperkenalkan keragaman daerah. Dari nyanyian tersebut peserta
didik ditanamkan kesadaran diri sebagai warga negara yang harus mampu mengisi
kemerdekaan dengan membangun bermodalkan keragaman potensi daerah. Ini makna
bineka tunggal ika yang diupayakan tertanam dan tumbuh berkembang sejak dini.
Dan menjadi tantangan bagi setiap guru
untuk dapat melantunkan lagu-lagu tersebut dengan baik. Guru harus hapal
lagu-lagu baik lagu nasional maupun lagu daerah. Selama ini masih ada (bahkan
mungkin banyak) guru yang belum hapal
lagu-lagu dimaksud. Paling guru kesenian yang biasa banyak menguasai lagu-lagu
itu. Guru mestinya menguasai sepenuhnya lagu-lagu itu sebagai contoh dan
teladan buat anak didik mereka. Nah, untuk tujuan ini guru tak perlu merasa
malu mempeelajari kembali lagu-lagu, bila perlu pemerintah memfasilitasi
melalui diklat misalnya. Ini penting, agar tujuan permendikbud tersebut
tercapai.
Ketiga,
menggunakan waktu 15 menit sebelum pembelajaran berakhir dengan membaca buku
bebas, bukan pelajaran. Ini upaya menanamkan kecintaan pada buku dan membaca.
Karenanya, di setiap kelas harus disediakan buku-buku bacaan. Bisa juga kliping
dari surat kabar, majalah, atau lainnya. Bagi sekolah yang tidak banyak
memiliki buku bacaan atau tidak mempunyai perpustakaan, guru dituntut lebih
kreatif lagi menghadirkan bacaan bagi
anak. Misalnya, dengan gerakan sedekah buku, infaq bacaan. Usaha seperti ini
dapat melibatkan wali siswa, intasnsi terkait, atau masyarakat luas.
Akhirnya, kita semua harus memaknai
penanaman budi pekerti sebagai serangkaian kegiatan non kuirkuler di sekolah
yang bertujuan untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan bagi seluruh
warga sekolah dan menumbuhkan budi
pekerti anak bangsa. Dan semoga langkah ini menjadi sebuah terobosan yang
memajukan pendidikan di Indonesia. Amin.SELAMAT MEMASUKI TAHUN PELAJARAN
2015-2016 (Dimuat di Harian Radar, Senin 27 Juli 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar