Seperti
diketahui, kinerja DPR RI periode sekarang
sangat buruk. Mereka dinilai tak produktif terutama dalam hal legislasi.
Buruknya kinerja oleh sebagian pihak diterjemahkan sebagai rendahnya kualitas, SDM
anggota DPR. Namun demkian, faktor SDM tidaklah menjadi satu-satunya sebab. Ada
sebab lain yang membuat kinerja legislatif lamban seperti faktor sosio politk,
integritas anggota atau lainnya.
Menyaksikan
hal di atas, Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI, Ade Komarudin mengutarakan
gagasan dan wacana agar DPR membangun sekolah parlemen. Ia mengatakan sekolah
parlemen dibutuhkan sebab selama ini banyak keluhan dari masyarakat mengenai
kualitas orang-orang yang lolos menjadi anggota dewan. Politikus Partai Golkar
tersebut meyakini, sekolah parlemen akan meningkatkan kualitas anggota dewan.
Akom memperkirakan biaya
untuk sekolah parlemen tidak banyak dan
cukup dengan mengubah anggaran yang sudah ada. Dengan biaya yang minim, kualitas
anggota dapat ditingkatkan. Konsep
sekolah parlemen tersebut direncanakan seperti universitas. Lokasi sekolah
parlemen rencananya berada di Komplek Wisma DPR RI di Kopo, Cisarua, Bogor,
Jawa Barat.
Dalam sekolah parlemen akan
diajarkan fungsi dan tugas pokok seperti
fungsi legislasilasi, anggaran dan pengawasan. Akan diajarkan juga bagaimana cara
membahas dan merancang undang-undang. Diharapkan keberadaan sekolah parlemen
bisa meningkatkan produktifitas dan kinerja anggota dewan.
Gagasan di atas mendapat
tanggapan beragam. Polemik baru pun muncul di tengah masyarakat. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Anggota Komisi III,
Arsul Sani, menilai pembangunan kapasitas anggota dewan memang diperlukan.
Namun, nama dan formatnya perlu dikaji kembali apakah memang berbentuk Sekolah
Parlemen atau bukan.
Berbeda
dengan Asrul Sani, Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay menilai wacana
pembentukan sekolah ini akan tumpang tindih dengan fungsi partai dalam proses
rekrutmen dan pengkaderan. Dia mengambil contoh partainya telah memiliki
sekolah kader politik yang memiliki substansi sama dengan sekolah parlemen. (http://www.merdeka.com/)
Untuk apa?
Menurut hemat saya, sekolah parlemen bukan prioritas.
Banyak masalah bangsa yang lebih penting
yang mesti disikapi dan diselesaikan anggota DPR. Sekolah parlemen tidak
menjamin menjadi solusi jitu mendorong kinerja anggota dewan. Apa ada jaminan,
setelah sekolah kinerja DPR membaik? Namun demikian, bukan berarti kita tak peduli dengan merosotnya
kinerja mereka. Sama sekali tidak. Bila demikian, untuk apa diselenggarakan?
Berikut beberapa argumetasi, pertama,
sekolah parlemen bukan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi ) DPR. Dalam
Uundang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPD, DPR, DPRD Pasal 69
disebutkan fungsi DPR meliputi tiga hal yakni legislasi, anggaran dan
pengawasan. Ketiga fungsi tersebut dijabarkan dalam Pasal 71 tentang tugas dan
wewenang DPR.
Saya berpikir sekolah parlemen itu mestinya dilakukan
sebelum menjadi anggota dewan. Ini menjadi tugas partai politik. Ketika masuk Senayan, mereka harus sudah siap
menjalankan tugas pokok, fungsi dan wewenang yang diembanya sebagai wakil
rakyat. Menjadi lucu, jika sudah berkantor di Senayan baru belajar
(baca:sekolah) menjadi anggota parlamen.
Untuk itu, di masa mendatang Parpol wajib menyikapinya.
Bagaimanapun rendahnya kinerja DPR RI periode ini menunjukkan kegagalan Parpol
dalam melakukan pendidikan politik. Parpol kudu lebih selektif lagi dalam
memilih calon legislatif yang akan dipilih menjadi wakil rakyat. Berdasarkan
pengalaman Pemilu 2014 yang lalu, persaingan menjadi calon legislatif bertumpuh
pada kekuatan modal. Integritas, kualitas, dan SDM caleg menjadi nomor sekian,
tak penting lagi.
Dan
sedihnya lagi, masyarakat pun memilih wakil rakyat hanya berorientasi pada
materi. Siapa yang memberi dipilih. Kualitas, SDM, integritas, pendidikan Caleg
diabaikan. Prilaku pragmatis seperti ini bukan tanpa alasan. Rakyat nampaknya
sudah skeptis, tak percaya lagi. Siapa pun yang terpilih tak ada pengaruhnya
bagi mereka. Toh, para caleg (yang terhormat) itu tak akan memperjuangkan
mereka setelah duduk di kursi dewan. Di sini, Parpol memikul tugas baru dan
berat yaitu meyakinkan rakyat. Dan hanya kerja keras dan bukti nyata yang akan
mengubah keyakinan rakyat terhadap partai politik.
Kedua, menghabiskan
waktu dan anggaran. Sekolah parlemen rencananya diberlakukan pada tahun ini bagi semua anggta dewan. Padahal tugas
anggota DPR semakin menumpuk terutama prihal legislasi. Pada tahun 2016 Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tersisa 40 RUU. Juni 2016 lalu
ditambah 10 RUU lagi sehingga menjadi 50. Itu tugas berat yang ada di depan
mata anggota dewan. Kenapa membuang-buang waktu dan energi dengan wacana
sekolah parlemen? Bukan lebih baik fokus pada penyelesaian Prolegnas?
Selain itu, sekolah parlemen hanya mengabiskan anggaran.
Padahal Pemerintah sekarang sedang mengencangkan ikat pinggang dalam tanda
petik. Artinya, gunakan dana yang ada untuk sesuatu yang lebih penting. Membuat
prioritas program adalah solusinya. Bukankah masih banyak hal yang lebih
penting daripada sekadar sekolah parlemen?
Ketiga, solusi
jangka pendek. Sekolah parlemen dinilai sebagai usaha mencari solusi yang
bersifat jangka pendek. Gagasan dan wacana sekolah parlemen hanya untuk
menyelamatkan muka anggota dewan sekarang dari rasa malu di depan penilaian
rakyat yang memilih mereka. Gagasan dan wacana tersebut sangat instan.
Singkat kata, mengutip saran Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, anggota DPR lebih baik fokus pada tugas
utamanya yang selama ini belum maksimal. Bukankah Ketua DPR RI, Ade Komaruddin
sendiri telah berjanji fokus dalam hal legislasi saat menjabat sebagai Ketua
dewan menggantikan Setya Novanto.
Dalam sambutan pada Penutupan Masa Persidangan III, Tahun
Sidang 2015-2016, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 17 Maret 2016 yang lalu,
Ade Komaruddin mengingatkan anggotanya, terkait legislasi Pimpinan DPR
mengingatkan kepada seluruh Anggota DPR, agar dapat mematuhi ketentuan
kehadiran secara fisik, baik dalam rapat-rapat Alat Kelengkapan DPR maupun
dalam Rapat Paripurna DPR. (http://www.dpr.go.id/)
Nah, jika demikian, untuk apa lagi sekolah parlemen? Wa Allahu Alam