Membicarkan pendidikan di Indonesia tak
mungkin lepas dari keberadaan madrasah. Dalam bahasa Arab, madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti
“tempat duduk untuk belajar”. Di negeri asalnya, madrasah diratikan sebagai
sekolah baik sekolah umum atau sekolah keagamaan. Dalam bahasa Indonesia
madrasah diartikan lebih khusus untuk sekolah yang mengajarkan keilmuan agama Islam. Madrasah
merupakan perpanjangan dari sistem pesantren di tanah air.
Dalam
dunia Islam madrasah berkembang sejak abad ke 5 Hijriyah, sekitar abad ke 10
atau 11 Masehi. Lahirnya madrasah seiring dengan perkembangan peradaban Islam.
Madrasah lahir sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam Islam yang melahirkan madzhab-madzhab. Saat itu keilmuan keislaman berada pada masa
keemasan. Berbagai disiplin ilmu telah lahir seperti ilmu kalam, ilmu fiqhi,
ilmu ushul fiqhi, ulumul hadist, tafsir,
kedokteran, matematika bahkan tasawuf.
Pada masa tersebut lahir madrasah-madrasah. Ada madrasah Safi’iyah,
Hanafiyah, Malikiyah, Ja’fariyah dan masih banyak lagi. Madrasah-madrasah
tersebut masih sebatas halaqoh ilmiah (pertemuan ilmiah). Dalam halaqoh ilmiah
terebut para tokoh madzhab seperti Syafi’i menyampaikan pemikiran atau ajaranya.
Di
Indonesia, madrasah bukan sesuatu yang baru. Madrasah ada sejak sebelum
kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua
warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatera yaitu
madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun
1908. Pada tahun 1910, Syekh M Taib Umar
mendirikan Madrasah Schoel di Batusangkar. Kemudian pada tahun 1918, Prof
Mahmud Yunus mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan Madrasah Schoel. Di
padang panjang, Syekh Abdul Karim Amrullah medirikan Madrasah Tawalib pada
tahun 1907. Kemudian Madrasah Nurul Iman didirikan H. Abdul Samad di Jambi.
Di
Jawa, perkembangan madrasah tercatat sejak 1912. NU mendirikan model madrasah
pesantren dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin
Wustho dan Mualimin Ulya pada tahun 1919. Tahun 1912 Muhamadiyah mendirikan
madrasah dengan mengapropriasi sistem pendidian Belanda Plus. Al Irsyad (1913)
mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin dan Tahasus.
Kemudian di Jawa Barat PUI mendirikan model madrasah pertanian.
Setelah
kemerdekaan, pada 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus keberagamaan
di Indonesia termasuk pendidikan Islam, khususnya madrasah. Secara instansional
departemen agama diserahi kewajiban dan bertangung jawab terhadap pembinaan dan
pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut.
Dalam upaya
meningkatkan madrasah, pemerintah melalui Kementerian Agama memberikan bantuan
dalam bentuk material dan bimbingan. Untuk itu, Kementerian Agama mengeluarkan peraturan
Menteri Agama No 1 Tahun 1946 dan disempurnakan dengan peraturan Menteri Agama
No 7 Tahun 1952. Di dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan jenjang
pendidikan pada madrasah yang terdiri dari : Madrasah Rendah ( Madrasah
Ibtidaiyah), Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah), Madrasah
Lanjutan Atas ( Madrasah Aliyah). Sejak itu madrasah dijadikan sebagai sekolah
formal oleh pemerintah.
Haidar Daulay (2009)
dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
pemerintah mengeluarkan SKB 3 Mentri (menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan)
pada tanggal 24 Maret 1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan
pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Kebijakan ini
membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai
nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan
sekolah madrasah dapat melanjutkan kesekolah umum yang setingkat lebih tinggi. Ketiga, siswa madrasah dapat pindah
ke sekolah umum yang setingkat.
Namun tak semua madrasah beralih fungsi
sebagai sekolah formal. Ada madrasah yang bertahan sebagai madrash diniyah yang
dalam masyarakat dikenal dengan sebutan sekolah sore. Madrasah-madrasah Diniyah
masih eksis hingga saat ini. Di berbagai daerah bahkan belajar di sekolah sore
(baca:madrasah diniyah) diwajibkan. Di madrasah-madrasah tersebut peserta didik
diajarkan pendidikan Al Quran dan ilmu agama lainnya. Madrasah Diniyah
Takmiliyah (MDT) diharapkan mampu mencetak karakter anak didik. Di madrasah
akhlak mulia ditanamkan sejak dini.
Menurut data EMIS
Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2015), jumlah lembaga Pendidikan
Keagamaan Islam cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang.
Sementara Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) berjumlah 76.566 dengan jumlah
santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ tempat anak-anak pra sekolah dan sekolah
dasar berjumlah 123.271 lembaga memiliki santri berjumlah 7.121.304 orang.
FDS membubarkan madrasah
Perjalanan panjang madrasah menjadi tak bermakna ketika
beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muhadjir Efendy berencana
menerapkan sistem Ful Day School (FDS). Sebab itu, tak heran ketika gagasan dan
wacana itu ditolak banyak pihak. Kemedikbud seakan buta sejarah. Sang Menteri
baru itu seakan menutup mata atau tak membaca keberadaan ribuan Madrasah
Diniyah Takmiliyah (MDT). Padahal MDT telah memberi kontribusi besar dalam
mencetak siswa-siswi berakhlak mulia. Kalau Pak Muhadjir Efendy mengkawatirkan
peserta didik sepulang sekolah, MDT sudah menjadi solusinya. Mustinya,
Kemendibud memberi perhatian lebih kepada MDT seperti yang dilakukan oleh
banyak pemerintah daerah sehingga di waktu mendatang peran MDT lebih dapat
dirasakan.
Menurut
Ruchman Basori (2016), gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi
masyarakat perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi
jalan yang macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter,
moral dan akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren,
MDT dan TPA. Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia
utamanya pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku
menyeluruh di semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif. (http://www.nu.or.id/)
Tapi
faktanya, di perkotaan MDT bermunculan bak jamur di musim hujan. Masyarakat
perkotaan menyadari kebutuhan pada MDT. Tantangan mendidik anak di perkotaan
terutama dalam menghadapi derasnya arus globalisasi membuat para orangtua
melirik MDT. MDT dipilih sebagai tempat yang tepat pada sore hari untuk anak.
Di MDT anak kita belajar Alquran, salat, dan memperdalam pengetahuan dan
pengamalan agama.
Di
samping itu, sekolah di perkotaan juga tak semuanya siap. Banyak sekolah yang
secara tegas menolak FDS karena fasilitas yang tak memungkinkan. Sekolah yang
ruang kelasnya terbatas sehingga melaksanakan pembelajaran menjadi dua tahap
(pagi-sore) apa mungkin memberlakukan FDS? Jelas, tak bisa. Belum lagi terkait keterbatasan
tenaga pendidik, sarana dan lainnya.
Akhir
kata, gagasan FDS masih terlalu dini untuk diterapkan. Indonesia belum siap
menjalankan sistem FDS. Masih seabreg permasalahan yang wajib diselesaikan
terlebih dulu seperti prasarana, keterbatasan tenaga pendidik juga lainya. Dan
yang paling penting, pemberlakuan FDS akan membubarkan Madrasah Diniyah
Takmiliyah. Apa kita rela mengorbankan MDT yang telah berjasa membekali anak
didik dengan akhlak mulia? Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar