Satu
tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air diwarnai berbagai kasus
menyedihkan juga memilukan. Para pendidik atau guru yang mustinya mendapat
perlakuan baik, penghormatan justru menjadi obyek tindak kekerasan. Dan ironisnya, kekerasan itu dilakukan
peserta didik yang sedang dididiknya. Guru tidak dipandang sebagai orang yang
wajib dimuliakan. Guru tidak lagi dihargai, dihormati. Justru sebaliknya mereka
kerap menerima perlakuan yang tak pantas.
Kasus kekerasan terhadap
guru bermunculan. Belum lama, seorang dosen Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
(UMSU) bernama Nur Ain Lubis (63), tewas setelah ditikam
mahasiswanya, Roymardo Sah Siregar (20), pada Senin (2/5/2016) sekitar pukul
15.00 WIB. Nur
Aini Lubis dibunuh di lingkungan kampus. Ketika ke kamar mandi, ia dibuntuti
oleh pelaku. Saat hendak mengambil air wudhu, sang dosen ditikam dengan pisau
oleh mahasiswa semester akhir tersebut.
Di Sidoarjo, seorang guru
bernama Sambudi dilaporkan polisi karena dituduh mencubit siswanya, SS. Guru
SMP Raden Rahmad Balongbendo itu mencubit karena yang
bersangkutan tidak mengkuti kegiatan shalat duha bersama. SS memilih bermain di
tepi sungai. Tidak terima perlakuan sang guru, orang tua SS Yuni
Kurniawan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Yuni Kuriniawan yang merupakan
anggota Kodim 0817 Gresik berpangkat Serka dari satuan intel itu menilai
tindakan Sambudi sudah keluar dari konteks mendidik.
Paling mutahir, Dasrul, guru di SMK Negeri 2 Makasar
dianiaya oleh murid bersama orangtuanya. Berawal ketika Dasrul diduga menampar muridnya, Muh
Alif (15), karena tidak membawa perlengkapan menggambar dan buku. Muh Alif
kemudian menelpon ayahnya dan menceritakan kejadian tersebut. Setelah itu,
orang tuanya, Adnan Achmad datang ke sekolah dan langsung memukul
sang guru karena tidak terima anaknya dianiaya dan disuruh keluar. Dan lebih
sedih lagi, sang murid ikut memukuli
gurunya.
Saya
teringat ungkapan Imam Ali Bin Abi Thalib ra, aku siap menjadi hamba bagi
mereka yang mengajariku walau satu huruf. Ungkapan tersebut menjelaskan betapa
tinggi kedudukan seorang guru. Guru tidak sekadar wajib dihormati, dihargai dan
dimuliakan. Lebih jauh, guru pantas menerima
pelayanan layaknya seorang tuan. Apa yang ditegaskan Imam Ali Bin Abi Thalib
jauh dari prilaku peserta didik kita sekarang.
Budaya
hormat kepada guru telah terkikis habis seiring berputarnya sang waktu. Murid
sekarang berbeda dengan zaman saya belajar. Dulu anak didik tidak sekadar
menghormati guru, sebagian mereka bahkan hanya untuk bertemu saja merasa takut,
malu. Guru dianggap segalanya. Sekarang
siswa saya tidak sekadar tak takut, tak malu tapi kelewat berani dalam
perkataan dan prilaku. Kedudukan guru sudah tak sakral seperti dulu lagi.
Dalam
berbagai riwayat diceritakan bahwa para sahabat selalu menundukkan wajah ketika
berjumpa Rasulullah SAW. Mereka tak berani menatap wajah sang rasul secara
berlebihan. Saat Rasulullah SAW melakukan pembelajaran (baca:menyampaikan
ajaran agama) di masjid, semua sahabat duduk menunduk seakan di atas pundak
mereka ada burung. Mereka diam, khusu’
dan fokus mendengarkan semua yang disampaikan Rasulullah SAW. Demikian sakral
kedudukan seorang rasul yang tak lain adalah maha guru umat manusia
Kedudukan guru yang mulia nan tinggi
tersebut tak lepas dari peran dan jasa mereka. Mengibaratkan dengan bahasa
agama, guru itu membawa manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya
(ilmu). Dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, sang maha guru Alquran menyebutnya, minadhulumati ilannur.
Konon, setelah mendapat laporan bahwa Jepang takluk kepada Sekutu
setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom, Kaisar Hirohito menanyakan berapa
jumlah guru yang tersisa. Dengan sekitar 250.000 guru yang masih hidup, Kaisar
Jepang menyatakan tekad, dalam satu generasi, Jepang akan lebih maju dari
kondisi sewaktu ditaklukan. Pada 1960-an, Jepang membuktikan dapat lebih unggul
dalam teknologi dan ekonomi daribanyak negara Barat penakluknya. .Jepang
menjadi negara maju. Demikan gambaran peran guru dalam membangun peradaban
manusia.
Sekarang kenapa berubah?Kenapa guru
tak dimuliakan lagi? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatarbelakangi.
Pertama, pergeseran nilai akibat
kebebasan informasi. Arus globalisasi di segala bidang membawa berbagai budaya
asing dalam kehidupan kita. Serangan budaya asing tersebut memporakporandakan
pondasi budaya setempat. Persoalannya adalah ketika kita tak siap membentengi
budaya sendiri. Maka tak bisa dihindari pergesearan
nilai pun terjadi. Apa yang dulu dinilai baik menjadi tak baik lagi. Apa yang
dulu diharuskan tak perlu dilakukan lagi. Begitu seterusnya. Budaya hormat guru
mengalami pergeseran tajam. Guru dinilai
sejajar dengan siswa.
Kedua, guru tak lagi diguguh dan ditiru. Filosofi Jawa itu sangat tepat,
selaras dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran disebutkan, Sesungguhnya
telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap Allah dan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Guru itu idealnya adalah teladan. Guru
kudu menjadi contoh bagi peserta didik
dalam segala hal. Akhlak guru menentukan wibawa dirinya di depan peserta
didik. Ketika guru tak diguguh dan ditiru, maka kedudukan, wibawa,
kehormatannya akan menghilang. Poin ini kudu menjadi bahan interopeksi diri
bagi para guru.
Ketiga,
salah memahami HAM. Di era modern Hak Asasi Manusia (HAM) dijadikan sebagai
sesuatu yang harus dijungjungtinggi. HAM menjadi tolak ukur semua tindakan
manusia. HAM laksana agama baru.
Melanggar HAM sama seperti melanggar agama. Semua harus tunduk pada HAM.
Melawan HAM akan digugat oleh semua pihak. HAM betul-betul menjadi istemewa.
Terkait dengan pendidikan, pemahaman
HAM sering disalahartikan. HAM dijadikan alat legimitasi untuk memojokkan sikap
dan tindakan guru dalam mendidik anak di sekolah. Tindakan guru terhadap
peserta didik dalam beberapa kasus dianggap telah melanggar HAM. Atas nama HAM,
peserta didik juga orang tua mengadukan guru ke aparat hukum. Padahal, ada
solusi lain yang lebih bijak daripada proses hukum, jalur kekeluargaan atau
musyawarah misalnya.
Walhasil, ungkapan aku siap menjadi
hamba bagi mereka yang mengajariku walau satu huruf kudu ditanamkan kembali ke
peserta didik. Ungkapan Imam Ali Bin Abi
Thalib tersebut sepantasnya menjadi pandangan hidup anak didik kita guna meraih
keberkahan ilmu yang diperoleh dari guru mereka. Kemudian guru dituntut untuk menyadari
posisinya sebagai teladan bagi semua, peserta didik atau masyarakat luas. Dan masyarakat
luas diminta arif dan bijak dalam menerapkan pemahaman HAM di dunia pendidikan.
Sehingga di waktu mendatang kasus-kasus kekerasan tidak akan terjadi lagi di sekolah.
Guru menjadi mulia karena jasa dan karyanya.
Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar