Pilkada
serentak tahap kedua akan dilaksanakan 2017 mendatang. Gegap gempita pesta
politik sudah terasa di berbagai daerah.
Pilkada 2017 akan menentukan 7 gubernur, 76 Bupati dan 18 Walikota. Diantara banyak
daerah, DKI Jakarta menjadi primadona dalam pemberitaan di media massa. Berbeda
dengan pemilihan gubernur sebelumnya, Pilkada DKI tahun depan sungguh luar
biasa. Suhu politik memanas sejak dua tahun yang lalu saat daerah lain masih
sunyi senyap.
DKI
Jakarta menjadi sangat spesial, berbeda jauh dengan daerah lain. Sebabnya tak
lain karena faktor Ahok, saya menyebutnya Ahok
efek. Ahok menjadi daya tarik yang luar biasa di pentas politik DKI
Jakarta. Ahok menjadi icon pemimpin jujur, tegas, berani yang didambahkan
rakyat Indonesia. Ahok efek telah meluas
secara nasional. Ahok menjadi topik pemberitaan di berbagai media baik cetak
atau online tidak hanya di DKI Jakarta juga di daerah-daerah lain dua tahun
terakhir. Ahok efek menjadi sempurna ketika muncul gerakan Teman Ahok. Teman Ahok dengan tema sejuta KTP tersebut telah mengukuhkan
fenomena Ahok sebagai sesuatu yang luar biasa.
Kemudian
faktor Jokowi. Membicarakan Ahok rasanya tak mungkin mengabaikan Jokowi. Paling
tidak untuk dua alasan. Pertama, karena keduanya pernah berduet sebagai
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Hubungan Jokowi-Ahok sangat dekat.
Keduanya merasakan banyak kecocokan
dalam berbagai hal. Kecocokan itu tetap
terbina walau Jokowi telah menjadi Presiden, Ahok menduduki jabatan yang
ditinggal Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kedua,
kepentingan Jokowi pada gubernur DKI
Jakarta mendatang. Jokowi menginginkan gubernur Jakarta yang akan datang adalah
orang yang memiliki banyak kecocokan dengan dirinya. Sebab bagaimanapun Jakarta
adalah ibu kota negara. Dalam banyak urusan, pemerintah pusat harus
bersinggungan dengan Pemprop Jakarta.
Selanjutnya
faktor PDI-P atau lebih khusus Ibu Megawati. Tak dapat disangkal sebagai
partai pemenang, pemilik kursi terbanyak
di DPRD Jakata keberadaan PDI-P menjadi pusat perhatian. PDI-P yang memiliki 28
kursi di DPRD merupakan satu-satunya partai yang bisa mengajukan pasangan calon
tanpa harus berkoalisi. Belum lagi PDI-P
memilki kader terbaik yang tak dimiliki partai lain seperti Ganjar Pranowo dan
Tri Rismaharini, gubernur Jateng dan Walikota Surabaya. Keduanya sudah lama
digadang-gadang oleh banyak pihak untuk jadi gubernur Jakarta. Hubungang PDI-P
Ahok yang mengalami pasang surut menguras perhatian publik dalam waktu yang tak
singkat.
Sepertihalnya
Jokowi, PDI-P memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan tersebut pernah
ditegaskan oleh Hasto Kristianto dalam sebuah acara di salah satu TV swasta.
Sekjen PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa PDIP menginginkan keselarasan antara
Pemerintah pusat dan Pemprop Jakarta.
Terakhir,
faktor Pilpres 2019 mendatang.
Perjalanan Jokowi dari Solo ke Jakarta kemudian berakhir menjadi Presiden RI ke
7 itu menjadi catatan khusus bagi sejarah poliitik Indonesia. Pilkada Jakarta akan dijadikan pintu masuk ke istana
merdeka. Artinya, Gubernur Jakarta mendatang diprediksi dan disiapkan untuk
calon Presiden atau Wakil Presiden. Maka pertarungan partai politik memeperbutkan
DKI-1 semakin panas yang menentukan peta konstelasi Pilpres yang akan datang.
Pilpres 2019
Faktor terakhir ini yang menurut hemat
saya sangat menarik. Ini fenomena baru dalam sejarah politik nasional. Fenomena
ini muncul setelah Jokowi sukses menjadi Presiden setelah sebelumnya merebut
kursi Gubernur DKI Jakarta dari Fouzi Bowo. Apa rumus politik yang diyakini
partai-partai sekarang itu rasional? Apa logis Jakarta menjadi pintu masuk
istana negara?
Untuk sekarang adigium politik di atas
menjadi nyata dan rasional. Faktanya adalah Pilkada DKI Jakarta sekarang. Suhu
politik yang panas di Jakarta belakangan menunjukan hal tersebut. Ditambah lagi
banyak tokoh nasional yang turun gunung di Pilkada Jakarta. Sebut saja Yusril
Ihza Mahendra, Adiyaksa Daud, Belakangan juga muncul nama Rizal Ramli dan Anies
Baswedan, dua menteri yang baru saja direshufle Jokowi.
Pengamat Politik
Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, Pilkada DKI Jakarta bisa
menjadi tolak ukur Pilpres 2019. Alasannya Jakarta merupakan miniatur
Indonesia, sehingga bakal calon gubernur DKI bisa menentukan calon presiden ke
depan. Hal
senada diungkapkan Ketua Pemenangan Pemilu PKS Agung Sutiarso Menurutnya,
jabatan Gubernur DKI Jakarta menjadi posisi yang seksi dan banyak diperebutkan.
Ia menganggap, gubernur yang berhasil memimpin Ibu Kota berpeluang maju dalam
kontes pilres nanti. (http://www.republika.co.id/)
Kemudian
dari segi anggaran Jakarta yang sangat besar sekaligus pusat pemerintahan.
Keberhasilan seseorang memimpin dan membangun Jakarta dinilai layak memimpin
Indonesia. Mengukur keberhasilan dari besar anggaran juga dipahami sebagai
kemampuan seorang mengemban amanat dalam mengelola uang negara. Akhirnya,
Jakarta dianggap sebagai tangga terakhir menuju kepemimpinan nasional.
Maka
tak heran jika Pilkada DKI dijadikan pintu masuk persaiangan Pilpres 2019.
Deal-deal politik dalam pentas DKI dihubungkan dengan kepentingan Pilpres yang
akan datang. Partai besar seperti PDI-P dan Golkar berebut pengaruh dan simpati
publik. Pilkada Jakarta yang akan menjadi perhatian rakyat Indonesia itu akan
menjadi panggung politik maha dahsyat. Setiap partai politik akan memerankan,
mempertontonkan permainan politiknya.
Coba
diamati, bagaimana cepatnya Golkar menyatakan dukungan pada Jokowi untuk
Pilpres 2019? Selangkah setelah itu, Golkar merangkul dan mendukung Ahok
saat hubunganya dengan PDI-P sedikit bermasalah. Para pengamat
menilai itu merupakan kepiawaian Partai
Beringin dalam mengambil (baca:merebut) Jokowi dari PDI-P. Dan Ahok disiapkan
sebagai cawapres besutan Golkar. Tentu ini masih pridiksi. Tapi pridiksi
politik tersebut menggambarkan apa yang terjadi dalam pentas politik DKI
Jakarta. Sekarang kecepatan Golkar membaca situasi itu sedang dipelajari,
diantisipasi oleh PDI-P. Kabar terkini, PDI-P bersediah mendukung Ahok dengan
mengajukan Djarot Saeful Hidayat sebagai cawagub. Peta politik DKI dan arah
Pilpres mendatangpun mulai terbaca.
Terlepas
itu semua, rakyat awam seperti saya hanya bisa berharap Pilkada Jakarta
berjalan lancar, berkualitas serta menghasilkan kepemimpinan yang ideal bagi warga
Jakarta. DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia kudu mampu mempertontonkan
pesta demokrasi yang jujur, bersih dan adil. Sehingga Jakarta menjadi contoh
bagi daerah lain. Soal adagium politik, Jakarta pintu masuk istana negara
biarkan rakyat yang menentukan kebenarannya. Bagi rakyat, apapun istilahnya,
kepemimpinan daerah maupun nasional kedepan harus lebih berkualitas lagi. Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar