Kasus
Arcandra dan Gloria Hamel menyadarkan bangsa ini pada dua hal. Pertama,
perlunya merevisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
Kedua, keberadaan diaspora Indonesia di luar negeri. RUU revisi tentang
kewarganegaraan sudah masuk ke Badan
Legislasi (Baleg) DPR RI walaupun belum menjadi prioritas tahun 2016. Dan mengenai diaspora, pemerintah sedang menggagas
untuk merangkul mereka.
Bagi
banyak orang, diaspora bisa jadi sesuatu yang baru. Apa
diaspora itu? Diaspora adalah orang-orang Indonesia yang
menetap di luar Indonesia.
Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah
Indonesia yang menjadi warga negara tetap ataupun menetap sementara di negara
asing. Sebagai aset bangsa yang potensial, kaum diaspora merupakan golongan
yang mempunyai karakteristik tersendiri karena mereka adalah orang-orang yang
terbiasa dalam kompetisi global. (Wikipidia
Bahasa Indonesia)
Kasus Arcandra menyadarkan kita semua
bahwa banyak orang Indonesia yang berkualitas, berprestasi yang tinggal di luar negeri. Pada tahun 2012,
Dubes RI di Amerika Serikat pernah berinisiatif mengumpulkan diaspora Indonesia
di Amerika dalam kongres Diaspora Indonesia. Kegiatan tersebut, seperti dikatakan Dubes RI
Dino Pati Jalal saat itu bertujuan
untuk menghubungkan komunitas diaspora Indonesia
di seluruh dunia. Dengan koneksi ini maka akan muncul pemberdayaam dan
kesempatan yang menciptakan keuntungan untuk semua.
Ribuan orang datang.
Dari
kongres diaspora pertama tersebut terungkap fakta bahwa ada sekitar 150 ribu
orang Indonesia yang tinggal di Amerika. Diperkirakan dari 250
juta total penduduk Indonesia, 8 juta orang tinggal di luar negeri tersebar 35
negara. Angka ini cukup fantastis, betapa besar potensi sumber daya manusia
(SDM) Indonesia yang ada di luar negeri. Kongres
Diaspora Indonesia Ke-3 dilaksanakan di Jakarta pada Agustus 2015 lalu.
Fakta di atas mendorong pemerintah untuk merangkul diaspora.
SDM Indonesia di luar negeri tersebut
diminta berpartisipasi dalam membangun negeri. Pemerintah berencana memulangkan para diaspora tersebut
ke Tanah Air. Dengan pemulangan aset-aset bangsa tersebut, daya saing Indonesia
di tengah persaingan global diharapkan bisa meningkat.
Seperti ditegaskan Presiden
Jokowi, banyak putra-putri terbaik
bangsa Indonesia yang memiliki karier cemerlang di berbagai belahan dunia. Di
'Negeri Paman Sam', misalnya, terdapat 74 profesor yang berkecimpung di
universitas-universitas terkemuka. Jumlah tersebut belum termasuk yang tersebar
di negara lain, seperti di Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Belum lagi
doktornya ada berapa ratus. Di Silicon Valley, ada ratusan WNI yang bekerja di
sana. Kenapa mereka tidak bekerja di
Indonesia? (mediaindonesia.com)
Terkait
rencana pemerintah, Ketua
DPR RI, Ade Komarudin, mengapresiasi rencana tersebut secara positif.
Menurutnya, kasihan
negeri ini. Banyak putra-putri terbaik
yang mengabdikan diri bukan kepada bangsanya tapi kepada negeri orang. Kita
jangan terlalu picik dalam membaca dan memahami permasalahan. Nasionalisme
dalam era globalisasi berbeda definisi dengan nasionalisme pada jaman
penjajahan dulu. Jangankan yang dididik oleh bangsa
kita, dididik oleh bangsa lain pun kalau bagus kenapa tidak jadi warga negara
Indonesia, daripada mengisi negara ini oleh orang-orang yang tidak berkualitas.
(www.antaranews.com)
Perlukah?
Merangkul atau
mengembalikan diaspora Indonesia ke tanah air telah digagas oleh pemerintah
seperti disinggung sebelumnya Pertanyaan kita, apa itu perlu? Menurut hemat
saya, mengembalikan mereka tidak sekadar perlu tapi sebuah kebutuhan bagi
bangsa ini. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama,
diaspora adalah aset dan potensi bangsa yang wajib digali. Kita tak boleh
mengabaikan. Tak boleh merasa tak membutuhkan. Dalam membangun negeri, semua
potensi kudu bisa berpartisipasi. Belum lagi, berdasarkan fakta para diaspora
Indonesia mayoritas adalah orang-orang sukses secara ekonomi. Potensi ekonomi yang berada di luar negeri
tersebut dapat dikembalikan ke tanah air. Kepala BKPM Franky Sibrani pernah
menegaskan, nilai remitansi dari diaspora telah mencapai 8 miliar dolar AS
pertahun.
Potensi lain
dapat dilihat pada diaspora Indonesia di Amerika misalnya. Berdasarkan data
yang dipublikasikan mediaindonesia.com, 48
persen warga diapora berpendidikan di atas sarjana. Pendapatan rata-rata mereka
US59 ribu dolar di atas rata-rata pendapatan pendapatan warga Amerika sendiri
yakni US45 ribu pertahun. Ini potensi besar, sekaligus menggiurkan. Tak logis
jika kita mengabaikannya.
Kedua, alasan nasionalisme. Banyak
diantara para diaspora yang ingin kembali ke tanah air. Mereka ingin berkarya,
berinvestasi, bekerja di tanah air. Mereka ingin berbaigi dengan anak bangsa
lainnya. Sayang, rasa nasionalisme yang masih tertanam kuat dalam jiwa para
diaspora tersebut selama ini tak mendapat respon atau tanggapan yang baik dari
pemerintah, kita semua yang ada di tanah air.
Saya pernah
menyaksikan keluhan seorang doktor dalam sebuah acara salah satu TV swasta
nasional. Doktor diaspora itu telah mengajukan lamaran kerja ke 30 lebih
perusahaan/intansi di Indonesia. Tak satu pun yang menerimanya. Kalau mereka
memilki nasionalisme seperti itu kenapa kita tak merangkulnya. Bukankah mereka
adalah anak bangsa seperti kita?
Ketiga, Indonesia butuh dana besar.
Dalam membangun ekonomi, saat ini Indonesia membutuhan suntikan dana besar. Apalagi
komitmen Jokowi-JK dalam mengejar ketertinggalan dalam infrastruktur. Kebijakan
Tax Ammnesty merupakan salah satu upaya menggali dana tersebut. Dan diaspora
merupaka potensi sumber dana lain yang
dapat ditarik dari luar, masuk ke Indonesia.
Walhasil,
diapora adalah potensi. Mereka anak bangsa layaknya yang lain. Merangkul mereka
adalah hal wajar dan logis. Menjadi tugas pemerintah bagaimana cara merangkul
mereka. Pemerintah bisa memberikan hak kewarganegaraan bagi mereka yang
berwarga negara asing. Bisa juga memberlakukan dwikewarganegaraan seperti yang
ditempuh banyak negara menyikapi kaum diaspora.
Atau menarik mereka dalam berinvestasi di tanah air.
Langka-langka
tersebut melibatkan banyak pihak, kementerian, instansi. Kerja sama di antara
mereka dibutuhkan untuk sukses merangkul diaspora. Kasus Arcandara mesti jadi
pelajaran bagi semua. Sepantasnya kita semua mengulurkan tangan, menyambut
saudara sebangsa setanah air, para diaspora.
Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar