Setiap
Senin pagi ada saja (bahkan banyak) anak yang berbaris di barisan depan
terpisah dengan barisan peserta upaca bendera lainnya. Barisan ini khusus bagi anak-anak
yang melanggar aturan pakaian dan atrirbut sekolah seperti tidak mengenakan
topi, dasi atau lainnya. Diharapkan setelah mereka dipisah dari teman
sekelasnya, berbaris di depan mengelompok seperti petugas upacara timbul rasa
malu, takut sehingga tidak melanggar lagi di minggu berikutnya. Nyatanya mereka
yang berdiri di depan menghadap siswa-siswi lainya itu justru tidak tampak rasa
malu apalagi takut. Yang ada mereka menikmatinya seperti siswa lain. Artinya
walau mereka berdiri berbeda tetap tidak membebani mereka. Rupanya berbaris di
depan bukan lagi dipandang sebagai hukuman, tapi disikapi seperti hal biasa.
Dalam
paradigma pendidikan tempo dulu, hukuman merupakan salah satu alat pendidikan seperti
penghargaan, pujian, pemberian hadiah atau lainnya. Saya masih ingat, dulu saat saya belajar di bangku sekolah dasar
atau saat mengaji di mushallah, guru atau ustadz selalu membawa kayu panjang.
Kayu itu digunakan disamping untuk menunjuk siswa, tulisan saat membaca juga
digunakan untuk memukul bagi mereka yang keluar dari koridor (melanggar) proses
belajar mengajar. Guru tidak segan memukul
siswa saat yang bersangkutan salah dalam membaca atau salah mengerjakan
perintah. Kemudian siswa pun tidak melawan, menyadari bahwa itu bagian
dari proses pembelajaran dan pendidikan.
Berbeda
dengan keadaan sekarang, hukuman menjadi
sulit digunakan sebagai media atau alat pembelajaran dan pendidikan. Kenapa? Pertama, penghormatan siswa kepada guru
sudah berubah. Dulu guru itu ibarat satu-satunya sumber belajar sehingga posisi
mereka sangat terhormat, juga dibutuhkan. Sedangkan sekarang siswa beranggapan tidak
hanya guru yang bisa mengajari mereka. Televisi, koran, majalah, media
elektronik lainnya pun bisa. Akhirnya posisi guru sejajar dengan media seperti TV. Anggapan seperti ini membuat
penghormatan kepada guru berkurang. Tidak sedikit murid yang berani melawan
gurunya. Bahkan dalam sejumlah kasus mereka berkelahi dengan guru.
Kedua, memahami Hak Asasi Manusia (HAM)
secara berlebihan. Setelah HAM mewarnai dan memasuki hampir semuam gerak dan
ruang kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan, hukuman tidak lagi bisa diterapkan
sebagai media pembelajaran. Tidak jarang guru diperkarakan oleh murid karena
kekerasan yang dari sisi guru itu dianggap sebagi hukuman yang mendidik. Tak
sedikit kasus pula yang berujung ke kepolisian. Dan sedihnya, wali siswa
lebih berpihak kepada anak mereka daripada ke guru. Lain dengan
zaman saya belajar. Ketika saya dipukul oleh guru misalnya, orang tua justru
mendukung guru. Mereka berkeyakinan tak mungkin guru memukul jika anaknya tak
bersalah. Mereka juga memaklumi bahwa hukuman itu bagian dari pendidikan.
Ketiga,
salah memahami kesetaraan. Seiring dengan majunya teori pendidikan, guru
dan peserta didik dianggap setara. Pembelajaran di kelas sudah tak searah lagi,
dari guru ke peserta didik. Pembelajaran dilakukan menjadi dua arah, guru ke
siswa dan sebaliknya. Peran guru tak sedominan dulu. Guru berperan hanya
sebagai fasilitator dan pembimbing. Sumber belajar juga tidak hanya guru
seperti disinggug sebelumnya. Akibatnya guru dipandang tak sepenting seperti
dulu. Sehingga hukuman sebagai media yang diuganakan guru sebagai alat
pembelajaran ditolak oleh peserta didik karena dinilai sudah tak zamannya lagi.
Belakangan menarik apa yang
disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy. Mantan Rektor Muhammadiyah Malang tersebut mengatakan, bahwa sanksi
fisik yang diberikan seorang guru terhadap murid merupakan sesuatu yang bisa
ditoleransi. Menurutnya, sekarang itu banyak orang salah paham dalam memahami
HAM. Jadi tentang HAM melarang tindakan kekerasan itu setuju tapi dalam batas
tertentu sanksi fisik pun bisa ditoleransi dalam pendidikan. Keras dalam bentuk pengajaran dapat
mendidik seorang anak. Menurutnya, hal itu bisa membentuk karakter dan pribadi
siswa yang tangguh. Sebab, pendidikan
bukan hanya memberikan curahan kasih sayang saja. Pendidikan
juga membentuk pribadi anak yang kuat, tangguh dan tahan banting. Dan
itu semua tiidak bisa diwujudkan tanpa pendidikan keras. Harus bisa dibedakan
antara kekerasan pendidikan dan pendidikan dalam kekerasan.(cnnindonesia.com)
Bagaimana menterjemahkan dan
mengimplementasikan pendapat sang Menteri di lapangan? Menurut hemat saya, Pertama, memberi batasan yang jelas
penerpan HAM dalam pendidikan. Dalam memberi batasan tersebut sepantasnya dilibatkan
aktivis, tokoh HAM dan tokoh pendidikan. Mereka mesti duduk bersama, Mereka
wajib mencari kesepakatan-kesepakatan terkait HAM di sekolah. Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) dan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dapat mengambil
inisiatif untuk upaya tujuan tersebut.
Kedua,
menggagas UU HAM dalam pendidikan. Kesepakatan-kesepekatan yang
dihasilkan tentang HAM di sekolah
diwujudkan dalam aturan perundang-undangan, diajukan ke DPR dan Pemerintah. Kemudian Pemerintah dan DPR dapat
mengusulkan, membahas, dan mengesahkannya sebagai undang-undang. UU tentang HAM
di sekolah tersebut nantinya akan dijadikan sebagai acuan guru dalam mendidik
terutama yang terkait dengan sanksi atau hukuman sebagai alat pendidikan.
Ketiga,
sosialisasi. UU tentang HAM di sekolah selanjutnya kudu disosialisasikan ke
masyarakat luas. Sosialisasi bertujuan memberi pemahaman bersama tentang
perlunya sikap keras dalam mendidik. Sehingga masyarakat meyakini kembali bahwa
mendidik itu dalam batas tertentu dibutuhkan sikap keras dari guru sebagai
pendidik. Pemahaman seperti itu diharapkan menghilangkan kesalapahaman dari
wali siswa ketika guru menggunakan hukuman sebagai media pembelajaran dan
pendidikan pada anak-anak mereka.
Walhasil, kesalapahaman guru dan wali
siswa yang berujung ke proses hukum karena perbedaan persepsi tentang kekerasan
dalam pendidikan harus dihentikan. Konflik guru dan peserta didik/wali siswa
hanya meretakan hubungan peserta didik dengan guru. Padahal dalam proses
pembelajaran hubungan kedua bela pihak wajib dibangun secara harmonis.
Maka, saatnya kita semua (dunia
pendidikan, pemerintah dan aktivis HAM) berbuat sesuatu untuk menghentikan
kesalapahan terkait sikap keras dalam mendidik. Kita mesti duduk bersama untuk
menggagas, merumuskan aturan tentang HAM dalam pendidikan. Sehingga para pendidik bisa lebih fokus lagi
menjalan tugas mendidik generasi bangsa, tak lagi direcoki oleh siapa pun
menggunakan isu kekerasan dalam pendidikan. Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar