Beberapa waktu lalu mungkin banyak
guru terkejut dengan statemen Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Saya
sendiri terkejut mendengar pemberitaan di media tentang hal tersebut. Saya
membaca di tempo.com, Kementerian Keuangan mengumumkan
rencana pemangkasan tunjangan profesi guru sebesar Rp 23,4 triliun pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Pemangkasan ini
merupakan bagian dari penghematan transfer ke daerah sebesar Rp 70,1 triliun.
“Saya harap ini bukan berarti kami tidak memihak mereka. Dana itu berlebihan (over budgeting),” kata
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis,
25 Agustus 2016.
Menurut
Sri Mulyani, pemotongan tunjangan profesi bagi guru dilakukan
menyesuaikan dengan data jumlah guru di lapangan. Sebab, jumlah guru
yang berhak menerima tunjangan profesi tak sesuai dengan jumlah saat
penganggaran. Gurunya memang tak ada, atau ada gurunya tapi belum bersertifikat
profesi sehingga tak bisa diberi tunjangan.
Langkah
tersebut diambil karena target penerimaan negara meleset, pemerintah memangkas
belanja Rp 137,6 triliun. Pemangkasan terdiri atas penghematan belanja pusat Rp
64,7 triliun, dan transfer ke daerah serta dana desa sebesar Rp 72,9 triliun.
Membaca
pemberitaan di atas, guru seperti saya pasti bingung, heran. Kenapa bisa ada
kelebihan? Apa ada salah hitung? Malah, saya berpikir dana tunjangan profesi
guru itu kurang. Sebab, pengalaman saya demikian. Saya guru bidang studi Pendidikan
Agama Islam (PAI) bersertifikasi di Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun
2014 yang lalu, tunjangan prosfesi guru (TPG) saya belum terbayarkan hingga
sekarang sebanyak 6 bulan.
Yang ramai
jadi pemberitaan memang TPG yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud). Apa di Kemenag sebaliknya? Justru kekurangan dana? Sebab
guru PAI seperti saya walau mengajar di lingkungan Kemendikbud, TPG-nya
dikelolah oleh Kemenag. Sistem pengelolaannya bisa jadi berbeda.
Problematika
terkait TPG memang selalu ada. Guru serigkali menjadi korban. Seperti dalam
masalah di atas, guru tentu merasa cemas. Meraka khawatir TPG tak terbayarkan.
Walau Kemendikbud telah menjamin hal itu tidak akan terjadi. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata
memastikan tunjangan guru tak akan turun meski ada penurunan anggaran tunjangan
profesi.
Menurut Pranata, penurunan terjadi paling tidak karena ada
guru yang pensiun dan pindah kerja. Setiap tahun, ada guru yang pensiun atau
pindah kerja, sehingga alokasi anggarannya tidak terserap. Akibatnya, ada dana
sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Dana sisa tersebut berada di khas daerah. (tempo.com)
Problem
Selama ini memang ada permasalahan yang
kerap terjadi dalam proses pembayaran TPG.
Paling tidak itu yang dirasakan oleh para guru. Pertama, prosedur yang rumit. Guru setiap semester diwajibkan
melakukan pemberkasan. Pemberkasan dari waktu ke waktu berkisar persoalan yang
sama. Pemberkasan berupa pengisian data dengan melampirkan berkas sebagai
bukti. Mulai identitas, pangkat atau jabatan, jam mengajar, pendidikan, gaji
pokok, daftar hadir dan lainnya. Pemberkasan dilakukan pada bulan Januari dan
Juli. Di Kementerian Agama (Kemenag), ada pemberkasan tambahan di bulan Maret dan
September, walau tak selengkap sebelumnya.
Pemberkasan menjadi persoalan sendiri
bagi guru. Sebab, disamping membutuhkan perhatian khusus juga memiliki konsekuensi
pada pembayaranTPG. Bisa saja TPG kita tak terbayarkan jika dalam pemberkasan
terdapat kesalahan. Apalagi kalau tak melakukan, mengabaikannya. Selain
pemberkasan, guru kudu mengapdute data pokok pendidik (dapodik). Dapodik mesti
dipantau terus. Jika ada point yang tak terisi, maka pembayaran TPG tidak
terbayarkan.
Kedua,
pembayaran telat. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 41/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer
Ke Daerah dan Dana Desa Pasal 21, 22 dinyatakan bahwa pencairan tunjangan
profesi guru disalurkan secara triwulam yaiitu pada bulan Maret, Juni,
September, dan Desember. Guru harus
menunggu tiga bulan sekali untuk menerima haknya, satu kali gaji pokok.
Pembayaran triwulan tersebut terkadang terlambat. Keterlambatan dikarenakan
alasan teknis yang sulit dipahami dan dimengerti oleh para guru.
Ketiga, sorotan tajam publik. TPG
awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan meningkatnya
kesejahteraan, kualitas dan kinerja guru diharapkan dapat membaik serta
meningkat. Sehingga masyarakat luas memberi perhatian khusus pada kinerja guru.
Berdasarkan banyak penelitian, kinerja guru ternyata belum banyak mengalami
perubahan. Ini menjadi problem internal guru. Di tengah soratan publik, mereka
merasa dilarang untuk hidup lebih sejahtera.
Walhasil,
TPG merupakan perhatian dan keberpihakan pemerintah pada para guru. TPG
idealnya mensejahterakan guru. Guru layak hidup lebih baik. Bukankah peran,
fungsi dan jasa mereka pada pembangunan manusia Indonsia sangat besar?
Keberpihakan pemerintah mestinya tidak setengah hati dengan mempersulit
pencairan TPG.
Alangkah bijaknya, jika ke depan
pemberkasan ataupun teknis pencairan TPG lainnya dipermudah. Nampaknya, bangsa
kita masih berpegang teguh dengan ungkapan, kalau bisa dipersulit kenapa
dipermudah? Ungkapan ini menjadi ciri khas dunia birokrasi di tanah air. Lebih
membahagiakan lagi bila pembayaran TPG disatukan dengan gaji seperti usulan
Pegurus PGRI selama ini.
Akhirnya, guru sepantasnya
meningkatkan profesionalitas dengan mengembangkan kompetensi yang dimiliki.
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 10, guru wajib memiliki empat
kompetensi yakni kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dengan demikian, TPG
akan mengantarkan guru menjadi sejahtera plus prosfesional dalam mencerdaskan
anak bangsa. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar